Ethicaldigest

Konsensus Penanganan DM

Strategi pengobatan diabetes akan mengalami perubahan, seiring dengan berkembangnya pengetahuan dan ditemukannya obat-obatan baru yang lebih efektif mengatasi masalah utama diabetes. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni)  baru-baru ini meluncurkan Konsensus Penanganan Diabetes tahun 2015.

Ada perbedaan siginifikan dalam konsensus baru ini. Penempatan incretin based treatmen, seperti GLP-1 receptor agonist dan DPP-4 inhibitor, sebagai pilihan yang lebih baik  dibanding sulfonylurea menjadikan konsensus ini berbeda dari sebelumnya. Atas dasar pertimbangan apa menempatkan incretin based treatmen di atas sulfonylurea?

Untuk mengetahuinya, Vitra Hutomo dan Yulianto dari ETHICAL DIGEST mewawancarai dr. Dante Saksono Herbuwono Sp.PD-KEMD, salah seorang perumus konsensus. Berikut petikannya:

Dalam konsensus PERKENI terbaru (2015), pengobatan berbasis inkretin menjadi pilihan kedua setelah metformin. Sedangkan sulfonylurea turun. Atas dasar pertimbangan apa?

Sebetulnya, urutan itu tidak menunjukkan prioritas, hanya kemungkinan-kemungkinan yang bisa diambil. Dalam penggunaan sulfonylurea jangka panjang, kita menghadapi beberapa kendala. Sulfonilurea tidak bisa mengatasi kelainan utama diabetes. Kelainan utama pada diabetes tidak hanya kadar gula darah yang tinggi, tapi juga menghambat penurunan fungsi pankreas. Dan, itu gagal dilakukan oleh sulfonylurea. Sehingga modalitas pengobatan baru mulai dikembangkan.

Misalnya, kalau kita kasih sulfonylurea terhadap orang dengan kadar gula darah tertentu, kadar gula darahnya bisa normal. Tapi, dalam jangka waktu tertentu, kadar gula darah akan naik lagi sehingga dosisnya perlu disesuaikan. Ketidakmampuan sulfonylurea mempertahankan kadar gula darah menunjukkan bahwa sebenarnya fungsi pankreas mengalami penurunan. Nah itu adalah salah satu kegagalan pengobatan diabetes yang sekarang kita kerjakan.

Karena itu, kita sekarang mencari alternative lain pengobatan diabetes yang tidak hanya mengandalkan sulfonylurea. Salah satu pendekatan baru adalah incretin based treatment. Incretin base treatment adalah GLP-1 receptor agonist dan DPP4 inhibitor.

Pengobatan-pengobatan seperti itu tidak saja merangsang pancreas secara langsung dari efek stimulasi reseptor sel beta, tetapi juga merangsang jumlah hormone lain yang ikut berperan dalam metabolisme sirkulasi insulin. Hormone lain itu bernama incretin. Sehingga obat-obatan tadi dimasukkan dalam salah satu alternative, yang kira-kira setara dengan stage penggunaan sulfonilurea.

Dalam guideline AACE, pilihan pengobatan sangat ketat. Obat distratifikasi berdasarkan efikasi dan efek sampingnya. Di konsensus PERKENI tidak. Mengapa?

Kita tidak bisa memungkiri bahwa tantangan yang kita hadapi dalam pengobatan diabetes, selain masalah distribusi obat dan ketersediaan obat, juga masalah biaya. Saat ini, obat yang paling terdistribusi dengan baik secara merata dan ada di setiap Puskesmas adalah obat golongan sulfonylurea. Padahal, sulfoniurea bukan obat diabetes yang paling bagus. Beda dengan di Negara Eropa yang sudah membuat kebijakan yang lebih bagus dari kita.

Kalau kita masukkan sama seperti AACE dan ADA, di mana obat-obatan yang baru berada di atas obat-obatan yang lama, kita masih berhadapan dengan masalah teknik di lapangan. Masalah teknis ini konsekuensinya banyak. Salah satunya adalah payung hukum.

Jika dalam konensus ini anjuran pilihan pengobatan dibuat secara ketat, sementara di lapangan obat tidak tersedia, jika ada tuntutan hokum dokter bisa disalahkan. Kenapa tidak diberi GLP-1 receptor agonist? GLP-1 receptor agonistnya tidak ada atau harganya mahal, atau tidak dikover BPJS. Jadi,. pembuatan konsensus dengan pilihan pengobatan yang banyak, seperti konsensus PERKENI merupakan pilihan bijaksana.