Ethicaldigest

Kendala ASI Eksklusif

Manfaat ASI eksklusif tak terbantahkan. Dalam prakteknya, banyak kendala dihadapi oleh ibu yang ingin memberikan makanan terbaik itu bagi bayinya.

Sebagai dokter, kita tentu tahu bahwa ASI (air susu ibu) merupakan sumber nutrisi terbaik bagi bayi. Ini bukan hanya sekedar urusan makan, melainkan melibatkan asah, asih, dan asuh yang diperlukan bayi untuk mencapai tumbuh kembang secara optimal. Rekomendasi pemberian ASI secara eksklusif selama enam bulan, menjadi harga mati bagi seorang dokter. Kenyataannya, pencapaian jumlah ibu dan bayi yang mendapat ASI eksklusif masih jauh dari memuaskan. Salah siapa? Haruskah kita mempersalahkan seorang ibu yang memberikan susu formula atau makanan padat sebelum bayinya berusia enam bulan?

Peduli bayi, peduli ibu menyusui

Bagi mereka yang tidak atau belum pernah memiliki pengalaman menyusui, memberikan ASI dapat tampak seperti perkara yang mudah. Dalam literatur seringkali dikatakan bahwa ASI bersifat steril, dapat dengan mudah dan cepat diberikan begitu bayi merasa lapar. Ternyata, dalam prakteknya tidaklah sesederhana itu. Hambatan dan rintangan dapat datang silih berganti, sehingga target enam bulan ASI eksklusif bisa tidak tercapai. Menurut dr. I Gusti Ayu Pratiwi, Sp.A, hal itu bukan hanya karena ketidaktahuan ibu serta kurangnya informasi, namun juga karena kurangnya dukungan dari lingkungan sosial, keluarga, pemerintah, serta petugas kesehatan; termasuk juga dokter.

Menyusui bukan hanya mengenai bayi/anak. Bukan sekedar mengenai berapa kali bayi menyusu dalam sehari, apakah dicampur dengan susu formula atau makanan padat, bagaimana proses menyusui berlangsung atau bagaimana peningkatan berat badan bayi. Menyusui juga adalah tentang ibu; bagaimana psikologis ibu selama menyusui, apakah ibu bisa mengonsumsi makanan bergizi, apakah mendapat istirahat yang baik meski harus mengurus bayi. Apakah ibu dapat kembali bekerja namun tetap menyusui, dan bagaimana ia menyikapi ‘kewajiban’ untuk menyusui secara eksklusif.

Banyaknya informasi yang beredar dan dorongan untuk menyusui, dapat mengakibatkan ibu yang menyusui mau pun tidak menjadi tertekan. Padahal, semua tentu ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Namun tekanan yang ada, termasuk dari petugas kesehatan, tanpa mempertimbangkan kendala yang mungkin dihadapi, dapat membuat ibu ‘terpaksa’ menyusui karena takut merasa bersalah dan menganggap dirinya sebagai ibu yang buruk, karena tidak memberikan ASI eksklusif.

Kurang informasi & Mitos

Menurut dr. Pratiwi, berdasarkan studi-studi yang ada, ASI memiliki sejumlah manfaat yang tidak diragukan lagi terhadap pertumbuhan dan perkembangan bayi. Oleh karena itu, pemberian ASI harus dianggap sebagai problem kesehatan dan bukan sekedar pilihan gaya hidup. Kenyataannya banyak ibu dengan masalah menyusui, tidak mendapat bantuan dan konsultasi mengenai masalah menyusui. Atau mereka diam saja dan tidak berusaha bertanya kepada petugas kesehatan. Masalah yang dihadapi cukup beragam dan biasanya bersifat sederhana, namun jika tidak diidentifikasi dan segera diatasi dapat berujung pada dihentikannya pemberian ASI.

Kurangnya informasi dari petugas kesehatan mengenai perbedaan pemberian ASI dan susu formula, juga dapat menyebabkan ibu beralih ke susu formula. Nyeri payudara saat awal masa menyusui, biasanya berlangsung hanya sementara dan dapat dengan mudah diatasi. Ketidaktahuan ibu terhadap informasi ini, akan menimbulkan keengganan untuk menyusui.

Susu formula memiliki partikel yang lebih besar dan memerlukan waktu lebih lama bagi bayi untuk menyerapnya dibanding ASI. Oleh karena itu, bayi yang mendapat susu formula tampak jarang menyusui. Sedangkan ASI bersifat mudah diserap, sehingga ibu seolah harus terus menerus menyusui, terutama pada masa growth spurt di usia 4 minggu, 6 minggu, dan 3 bulan.

Pada minggu-minggu pertama, bayi juga akan sering menangis. Hal ini akan mencetuskan sinyal ke otak, agar tubuh menghasilkan lebih banyak prolaktin dan meningkatkan produksi ASI. Dengan demikian, produksi akan baik dan sesuai dengan kebutuhan bayi. Terkadang, tangisan bayi yang sering ini dapat disalahartikan bahwa bayi tidak kenyang-kenyang. Sehingga kemudian kepada bayi diberikan susu formula atau makanan padat sebelum waktunya. Yang lebih buruk lagi, dengan suplementasi ini, produksi ASI akan menurun.

Kepercayaan masyarakat, juga dapat mempengaruhi preferensi ibu terhadap pemberian makanan terhadap anak. Bayi seringkali disamakan dengan orang dewasa, sehingga segera diberi makanan padat. Belum lagi mitos yang menghalangi ibu untuk menyusui seperti saat sedang sakit, minum obat, merokok, hamil lagi, atau mitos bahwa menyusui akan mengganggu hubungan seksual dengan pasangan.

Untuk ibu bekerja, penghalang utama diberikannya ASI eksklusif adalah cuti melahirkan yang hanya selama 3 bulan. Artinya, banyak ibu yang awaknya menyusui, akhirnya berhenti memberikan ASI setelah kembali bekerja. Ini umumnya terjadi karena ketidaktahuan mengenai ASI perah (ASIP), atau keengganan untuk memberikan ASIP karena kurangnya dukungan. Misal, tidak adanya tempat untuk memerah ASI di tempat kerja, tidak tersedia kulkas atau tempat menyimpan ASI selama bekerja, tidak diberikannya waktu khusus untuk memerah ASI dari perusahaan, kurangnya dukungan pengasuh di rumah, dan sulitnya menjaga suplai ASI agar tidak menurun meski tidak menyusui secara langsung.