Ethicaldigest

Pemeriksaan HbA1c

HbA1c merupakan pemeriksaan gula darah yang menjadi acuan dalam penanganan diabetes. Selain target HbA1c, dokter harus mengetahui dasar mekanisme pemeriksaan ini.

HbA1c yamh disebut juga glikohemoglobin, merupakan pemeriksaan gula darah yang merefleksikan keadaan gula darah 8-12 minggu sebelum pemeriksaan dilakukan. Pemeriksaan ini merupakan komponen pemantauan yang penting pada pasien diabetes. Bagaimana relevansi penggunaannya kini,  dan apa yang perlu diketahui dokter terkait pemeriksaan HbA1c?

Prof. dr. Marzuki Suryaatmadja, SpPK (K), dari Departemen Patologi Klinik FKUI/RSCM menjelaskan tentang penggunaan HbA1c, dan apa saja kondisi pasien yang perlu diperhatikan saat melakukan pemeriksaan ini.

Sekilas HbA1c

HbA1c merupakan hasil penambahan glukosa pada hemoglobin rantai beta asam amino valin. Glukosa dapat menembus membran sel eritrosit, dan berikatan dengan hemoglobin melalui proses glikasi. Glukosa dapat bereaksi dengan hemoglobin membentuk hemoglobin terglikasi. Setelah sebuah molekul hemoglobin terglikasi, molekul akan tetap seperti itu. Karena itu, penumpukan hemoglobin terglikasi dalam sel darah merah, merefleksikan banyaknya paparan gula darah terhadap sel darah merah selama masa hidupnya. Berdasarkan studi UKPDS, penurunan HbA1c sebesar 1% menurunkan risiko mortalitas  21% dan infark miokard sebesar 14%.

Penggunaan HbA1c pada diabetes, diperkenalkan oleh Samuel Rahbar pada tahun 1969. Menurut Prof. Marzuki, sejarah pemeriksaan HbA1c di Indonesia dimulai tahun 1978. “Peran awal HbA1c adalah sebagai pemantauan diabetes. Sejak tahun 1990-an, pemeriksaan HbA1c mulai dijadikan sebagai target pengelolaan diabetes,” ujarnya. “Mulai tahun 2010an, HbA1c bahkan sudah dijadikan acuan diagnosis dan skrining diabetes.”

Interval pemeriksaan HbA1c, juga patut diketahui. Berdasarkan konsensus pengelolaan diabetes PERKENI, pemeriksaan HbA1c dilakukan setiap tiga bulan sekali atau minimal dua kali setahun.

Prof Dr. dr. Sidartawan Soegondo, SpPD-KEMD menambahkan informasi terkait penggunaan klinis dari HbA1c.

 “Walau pun pemeriksaan HbA1c disarankan setiap tiga bulan, namun pemeriksaan setiap bulan memiliki alasan klinis. Pemeriksaan setiap bulan karena 50% dari tiga bulan adalah hasil bulan lalu. Dengan melakukan pemeriksaan HbA1c setiap bulan, kita dapat melihat trend gula darah pasien,” ungkapnya. “Jika Anda melakukan pemeriksaan HbA1c setiap 3 bulan dan nilainya masih tinggi, Anda kehilangan waktu tiga bulan.”

Kendala pemeriksaan HbA1c        

Terlepas dari kelebihan HbA1c, pemeriksaan ini memiliki kekurangan. Berbagai kondisi medis pasien, dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan HbA1c. Beberapa contoh kondisi umum yang dapat mempengaruhi hasil HbA1c, adalah gangguan eritropoesis (defisiensi besi, vitamin B12, penyakit ginjal kronis), penghancuran eritrosit (splenektomi, splenomegali, rheumatoid arthritis, penggunaan obat antiretroviral seperti ribavirin), perdarahan akut, transfusi darah dan gangguan hemoglobin (hemoglobinopathy, fetal hemoglobin).

“Salah satu hal yang menjadi kendala dalam pemeriksaan HbA1c, khususnya adalah kelainan hemoglobin, seperti Thalasemia. Prevalensi Thalasemia di Indonesia kurang lebih 5-15%,” tutur Prof. Marzuki. Mengenai masalah keakuratan HbA1c pada Thalasemia, Prof. Marzuki menyarankan melakukan pemeriksaan hapusan darah tepi. “Dianjurkan, setiap pasien diperiksa dulu apakah ada kondisi tertentu yang dapat mempengaruhi pemeriksaan HbA1c, setidaknya satu kali untuk mengeksklusi kelainan darah,” ujarnya.