Neuropati perifer derajat ringan sampai berat merupakan penyakit yang kerap dikeluhkan. Tercatat satu dari dua penderita diabetes di Indonesia, mengalami keluhan neuropati.
Data dari National Institute of Neurological Disorders and Stroke Amerika Serikat memperkirakan, sekitar 20 juta penduduk AS menderita neuropati dengan berbagai derajat. Di Indonesia, satu dari dua pasien diabetes diketahui menderita neuropati.
Kontrol dan kerja organ tubuh, dari kulit sampai jantung diatur oleh sistem saraf. Perintah melakukan ‘aksi’ diinisiasi oleh saraf pusat, diteruskan sampai organ-organ tubuh lewat sistem saraf tepi/perifer. Kerusakan pada sistem saraf tepi (neuropati perifer), akan mengganggu proses pengiriman sinyal informasi dari otak ke organ tubuh.
Penyakit ini bisa terjadi di tiga jenis saraf yang berbeda atau bersama-sama; sensorik, motorik dan otonom. “Regenerasi sel saraf sangat lambat, yakni 1mm/hari. Jika kerusakan serabut sel saraf >50%, sudah tidak bisa dikembalikan. Melakukan pencegahan dan pengobatan dini lebih baik,” papar dr. Manfaluthy Hakim, SpS(K), Ketua Kelompok Studi Neurofisiologi dan Saraf Tepi PERDOSSI Pusat.
Lebih 100 tipe neuropati perifer yang sudah teridentifikasi, dengan prognosis dan gejala masing-masing. Secara umum, neuropati perifer dikategorikan menurut jenis kerusakan pada saraf. Beberapa jenis neuropati hanya melibatkan kerusakan di satu saraf (mononeuropati). Sementara, yang lebih sering terjadi, adalah mengenai multi saraf (polyneuropati).
Beberapa jenis neuropati berhubungan dengan rusaknya axon, lainnya di selubung mielin saraf; bisa pula terjadi pada keduanya. Neuropati kranial adalah penyakit yang mirip neuropati perifer, bedanya karena melibatkan saraf-saraf kranial. Salah satu penyebab umum neuropati kranial adalah hilangnya aliran darah di arteri mata ke saraf optik, menyebabkan optik neuropati. Amyloidosis merupakan penyebab paling umum kondisi langka ini.
Neuropati bisa bermanifestasi dengan gejala yang berlainan, mulai dari kesemutan atau kram berulang tanpa sebab, kelemahan anggota gerak, kehilangan keseimbangan bahkan kesulitan bernapas, tergantung jenis saraf yang rusak. Kerusakan pada saraf otonom, bisa menyebabkan masalah pada kontrol tekanan darah, proses pengosongan atau pembuangan feses (diare atau konstipasi), detak jantung atau pengeluaran keringat.
“Kalau saraf otonom terganggu, kualitas hidup akan turun jauh. Bayangkan jika tahu-tahu buang air kecil (BAK), tidak bisa menahan BAB (buang air besar), atau menderita impotensi. Pasti depresi,” tegas dr. Luthy dalam seminar media.
Gejala neuropati bisa terasa dalam hitungan hari, minggu atau tahun; bersifat akut atau kronis. Pada neuropati akut, seperti akibat penyakit sindroma Guillain-Barre, gejala dirasakan mendadak dan memburuk dengan cepat. Pada kasus kronis, pasien mungkin merasakan gejala yang hilang timbul, atau gejala tidak bertambah buruk (plateau) selama beberapa tahun.
Penyebab
Secara fisiologis proses penuaan menyebabkan fungsi saraf menurun. Mereka yang berusia > 40 tahun, 26 % lebih rentan mengalami neuropati. Risiko bertambah besar pada penderita diabetes. Pada kelompok usia yang lebih muda, neuropati dipicu karena kurangnya asupan vitamin B atau karena trauma. Aktivitas gerakan berulang seperti bermain gawai atau posisi tangan saat menggunakan mouse komputer terlalu lama dapat menyebabkan gejala neuropati spesifik, yakni carpal tunnel syndrome. Ditunjukkan dengan jari tangan mengalami sensasi kesemutan, mati rasa atau nyeri, akibat peradangan saraf di terowongan karpal pada pergelangan tangan.
Neuropati bisa juga berhubungan dengan penyakit lain, seperti gangguan metabolik dan endokrin. Studi oleh Olsen (1999) menunjukkan, 50-70 % penderita diabetes >10 tahun mengalami neuropati sedang – berat. Gangguan lever bisa pula menyebabkan neuropati, akibat ketidakseimbangan kimiawi tubuh. Demikian pula dengan hipotiroid.
Pasien gagal ginjal yang harus melakukan hemodialisa (HD), tergolong berisiko tinggi mengalami neuropati. “Dibuktikan dengan kerap merasa baal dan kram. Sudah menjadi standar, pasien gagal ginjal saat melakukan HD diberi injeksi vitamin B. Selanjutnya dianjurkan minum satu tablet sehari suplemen vitamin B,” terang dr. Luthy.
Penyebab lain adalah tumor jinak (neuroma), kanker dan infeksi virus (herpes varicellazoster, virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, atau herpes simplex) dan penyakit autoimun seperti lupus, rheumatoid arthritis, sindroma Sjogren dan Guillain-Barre syndrome.
Mutasi gen SPTLC1 (serine palmitoyltransferase long chain base subunit 1), teridentifikasi menyebabkan neuropati herediter tipe IA. Normalnya enzim serine palmitoyltransferase (SPT) terlibat dalam pembuatan lemak sphingolipid; komponen penting di sel membran. Mutasi SPTLC1 mengurangi jumlah produksi SPTLC1, yang akhirnya menghasilkan enzim SPT dengan aktivitas yang berubah. Pasien tak hanya mengalami kerusakan saraf. Terjadi penurunan masa otot di area sendi, tangan, bahu dan perut. Akibatnya, pasien mengalami kesulitan berjalan dan harus menggunakan kursi roda.
Neuropati dan impotensi
Dalam studi yang dilakukan di the Hospital Universitario Central de Asturias, Spanyol (2011) terbukti neuropati bisa menyebabkan impotensi. Responden adalah 90 pria, usia 40-70 tahun yang mengalami disfungsi ereksi (DE); 30%-nya penderita penyakit kardiovaskular, 16% memiliki faktor risiko neurogenik, 16% diabetes dan 11% tanpa faktor risiko apapun.
Studi mendapati bahwa 69% responden, memiliki masalah pada sistem saraf. Dari jumlah ini 61% disebabkan oleh neuropati perifer dan 8% memiliki myelopati. Kurang dari 38% responden memiliki polyneuropati. Dari jumlah tersebut, 14% mengalami pudendal neuropati, yang mempengaruhi persarafan di daerah panggul. Disimpulkan, neuropati erat hubungannya dengan DE. Penelitian ini pernah dimuat dalam British Journal of Urology International.
Jika sudah demikian, menurut dr. Luthy, yang bisa dilakukan adalah mempertahankan sisa kemampuan ereksi. “Kalau sudah kena fungsi otonom, berarti semua saraf sudah rusak, sudah tidak bisa diperbaiki. Obat kuat sudah tidak ada manfaatnya,” katanya.
Neuropati pada ibu hamil
Riset oleh Massey EW, dkk., yang dimuat dalam jurnal Continuum menyatakan, kehamilan bisa memicu kondisi mononeuropati atau polyneuropati. Ditunjukkan dengan gejala kesemutan bahkan kram, pada bulan-bulan menjelang persalinan. Kerap terjadi di malam hari, sehingga membuat pasien terbangun dari tidur.
Penyebabnya berbagai faktor. Pertama, perubahan hormon atau perubahan bentuk tubuh yang turut mempengaruhi aliran darah. Kedua, secara alamiah terjadi peningkatan kebutuhan vitamin B. Dan jika ibu hamil mengalami hipermesis gravidarum, berisiko menderita defisiensi vitamin.
Pada masa kehamilan, ibu membutuhkan tambahan vitamin B1 sekitar 1,4 mg/hari. Vitamin B6 selain berperan pada kesehatan saraf, di masa kehamilan dapat mengatasi keluhan mual/muntah dan anemia. Dosis yang dianjurkan antara 25-50 mg. Untuk vitamin B12, penambahannya sampai 2,6 mcg (mikrogram).
Khususnya neuropati sensorimotor biasanya terjadi karena kekurangan vitamin B1 (tiamin), tanpa adanya encefalopati. Pada kondisi ini, pasien bisa mendapat injeksi tiamin intravena dan setelah pasien mampu, diberikan tiamin oral.
Pemakaian terapi medikamentosa perlu kehati-hatian, untuk meminimalkan risiko paparan janin di uterus. Salah satu alternatif terapi yang direkomendasikan adalah repetitive transcranial magnetic stimulation (rTMS). Menggunakan stimulasi gelombang magnetik, untuk mengubah cara kerja saraf di otak. Galhardoni R, dkk., dari Departmen of Neurology, University of Sao Paulo, Brazil, meneliti 33 riset yang dipublikasikan tahun 1996-2014, yang menyatakan penerapan rTMS pada korteks motorik mampu meredakan nyeri neuropatik, fibromyalgia dan sindroma nyeri regional kompleks. Efek pereda sakit yang terasa adalah >30% dibandingkan kelompok kontrol.
Neuropati diabetik
Tingginya kadar gula dalam darah, mengganggu kemampuan saraf menghantarkan sinyal. Ini juga melemahkan dinding pembuluh darah kapilar, yang mensuplai saraf dengan oksigen dan nutrisi. Akibatnya, kualitas sirkulasi darah yang buruk dalam jangka panjang akan merusak jaringan saraf.
Kaki adalah yang pertama terganggu pada pasien diabetes. Ditandai rasa kesemutan, kehilangan sensasi (mati rasa) atau nyeri di jari-jari kaki, kemudian naik secara bertahap hingga tungkai. “Saraf di kaki adalah saraf panjang. Semakin panjang saraf, semakin rentan terjadi gangguan fungsi, karena semakin sedikit suplai nutrisi sampai ke ujung saraf,” kata dr. Luthy.
Kerusakan saraf ini juga dapat menyebabkan gangguan pencernaan, berupa gastroparesis, konstipasi atau diare. Gastroparesis menyebabkan rasa mual yang terus-menerus, muntah, kembung dan hilang nafsu makan. Kondisi gastroparesis berisiko menyebabkan gula darah berfluktuasi.
Tatalaksana neuropati diabetik adalah dengan menjaga kadar gula darah, untuk mencegah kerusakan saraf atau mengurangi saraf yang sudah rusak menjadi tidak bertambah parah. Juga dibantu obat-obatan tertentu, yang berfungsi pengurang rasa sakit. Antara lain menggunakan obat-obatan antidepresan sebagai analgesik.
Obat-obatan antidepresan bekerja dengan cara menghambat reuptake noradrenalin dan 5-hydroxytryptamime. Obat-obatan ini memiliki efek langsung dan tidak langsung pada reseptor opioid, menghambat reseptor histamin, kolinergik, 5-hydroxytryptamin dan N-metyl-D-aspartate, serta menghambat aktifitas kanal ion dan menghambat uptake adenosin.
Sebuah penelitian oleh Gary McCleane, dilakukan dengan pemberian topikal 3,3% doxepin hydrochloride, 0,025% capsaicin dan kombinasi dari 3,3% doxepin dan 0,025% capsaicin, pada penderita neuropati kronik. Dilakukan dengan metode double-blind, pada 200 orang dewasa.
Responden menerima plasebo, doxepin, capsaicin atau kombinasi krim doxepin/capsaicin selama 4 minggu. Tercatat ada keluhan rasa sakit, terbakar dan kebas. Hasilnya, dalam 2 minggu terjadi penurunan rasa sakit pada kelompok yang mendapat doxepin, capsaicin dan/atau kombinasi keduanya, tapi tidak pada kelompok plasebo.
Rasa terbakar dapat ditekan dengan pemberian krim kombinasi doxepin/capsaicin. Tercatat efek samping yang biasa ada dalam pemberian antidepresan seperti mulut kering, mengantuk dan pusing minimal. “Pemberian vitamin neurotropik (vitamin B1, B6 dan B12) juga terbukti bisa memperlambat timbulnya neuropati dan meringankan gejala neuropati pada pasien diabetes,” kata. dr. Luthy. (jie)