Ethicaldigest

“Pada Uveitis Tekan Inflamasi Segera dan Semaksimal Mungkin”

Uveitis sering tidak disadari oleh pasien, karena manifestasi klinisnya tidak terlalu nyata, meski prevalensinya cukup banyak. Padahal, menurut dr. Fatma Asyari, SpM (K), uveitis yang tidak ditangani sesegera mungkin akan mengakibatkan komplikasi, yang pada akhirnya pasien dapat kehilangan penglihatan.

Yang lebih kompleks dari uveitis adalah tingkat rekurensinya yang tinggi karena berbagai sebab, termasuk faktor psikologis. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai uveitis, ETHICAL DIGEST mewawancarai dr. Fatma Asyari, SpM(K) di tempat prakteknya, Klinik Mata Mayestik, Jakarta.

Berdasarkan terminologi medis, apa definisi dari uveitis?

Uveitis merupakan inflamasi di dalam bola mata yang mengenai jaringan uvea, yang terdiri atas iris, corpus ciliaris dan koroid. Inflamasi dapat mengenai jaringan uvea di bagian depan saja (iris dan corpus ciliaris), dinamakan uveitis anterior. Atau mengenai jaringan uvea di bagian dalam mata (koroid), yang disebut uveitis posterior.

Berapa prevalensi kasus uveitis di Indonesia?

Tidak diketahui persis angka prevalensinya. Namun, dalam praktek sehari-hari sering dijumpai pasien uveitis, baik dengan gejala yang ringan mau pun berat. Umumnya, sekitar 90% kasus uveitis adalah berupa uveitis non infeksi (imunogenik).

Apa saja manifestasi klinis dari uveitis?

Uveitis umumnya mengenai satu mata, meski pun bisa juga mengenai kedua mata sekaligus atau bergantian. Gejala uveitis anterior antara lain, mata merah ringan hanya di sekeliling kornea, rasa pegal di sekitar bola mata atau nyeri kepala ringan, silau, dan penurunan ketajaman penglihatan (bisa ringan atau berat). Sedangkan pada uveitis posterior, mata tidak merah, namun tampak bayangan bintik atau bercak terbang di mata (floaters) dan penglihatan kabur.

Bagaimana etiopatogenesis dari uveitis?

Inflamasi terjadi akibat adanya stimulus yang dapat ditimbulkan oleh faktor infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit, protozoa, dsb), yang disebut uveitis infeksi. Uveitis infeksi yang sering ditemukan pada klinik sehari-hari, antara lain uveitis akibat toksoplasma, virus herpes, cytomegalovirus dan tuberkulosis.

Selain itu, uveitis juga dapat dicetuskan oleh stimulus bukan kuman, disebut antigen yang bahkan berasal dari tubuh penderita sendiri (autoantigen). Inilah yang menimbulkan kelainan autoimun, sehingga menyebabkan terjadinya uveitis imunogenik.

Autoantigen apa yang paling sering berhubungan dengan uveitis?

Karena jaringan uvea banyak mengandung pembuluh darah, maka semua antigen yang berasal dari bagian tubuh mana pun (asalkan terdapat dalam sirkulasi darah) akan melewati mata. Nah, pada individu tertentu yang sensitif terhadap antigen tertentu, dapat mencetuskan uveitis. Karena terlalu banyak antigen yang dapat menjadi pencetus, sulit untuk menentukan antigen mana  yang menjadi penyebab.

Pada 80% penderita dengan kelainan sendi seperti rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis yang memiliki antigen HLA-B27 dapat mengalami uveitis. Sedangkan pada uveitis tertentu seperti sindrom Voght Koyanagi Harada(VKH), penyakit Behcet dan oftalmia simpatika, diketahui bahwa autoantigen penyebab adalah pigmen yang berada pada sel retina dan uvea.

Bagaimana prognosis uveitis?

Prognosa tidak selalu baik. Pada uveitis anterior, bila diagnosis cepat serta pengobatan tepat dan maksimal, umumnya hasilnya baik. Tetapi, pada uveitis yang kronis dan rekuren, apalagi melibatkan mata bagian dalam seperti kekeruhan vitreous, kerusakan retina dan saraf mata, prognosa biasanya lebih buruk. Terlebih lagi bila pengobatan terlambat diberikan, bisa mengakibatkan komplikasi seperti katarak atau glaukoma, kerusakan fungsi retina dan saraf mata, fibrosis subretinal, atropi koroid, bahkan kebutaan.

Bagaimana diagnosis differensial dari uveitis?

Pemeriksaan mata harus menggunakan alat yang dinamakan Slit-Lamp Biomicroscopy,  mikroskop yang dapat melihat struktur mata dari depan sampai ke dalam mata, secara detail.

Diagnosa uveitis yang hanya mengenai bagian depan mata, secara klinis mudah terdeteksi. Dengan bantuan alat pemeriksaan khusus lainnya, seperti funduskopi, dapat dilihat apakah ada kekeruhan vitreus, keterlibatan koroid, serta kelainanan retina atau saraf mata.

Dignosa diferensial uveitis adalah semua kelainan yang menyebabkan mata merah, disertai penurunan ketajaman penglihatan. Antara lain: ulkus kornea, endoftalmitis, glaukoma akut. Atau, mata tidak merah tetapi disertai penurunan ketajaman penglihatan, seperti kekeruhan atau perdarahan vitreous dan kelainan retina, ablasi retina, retinopati diabetik, radang atau atrofi saraf optik mata.

Pada uveitis imunogenik, umumnya tidak ditemukan agen yang bertanggung jawab. Bagaimana tatalaksanya?

Memang sulit menemukan agen penyebab. Meski pun pada pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi di dalam darah penderita terhadap antigen tertentu, belum tentu uveitisnya disebabkan oleh antigen tersebut. Jadi, diagnosis hanya berdasarkan “kemungkinan”, yang  diperkuat dengan gambaran klinis.

Prinsip pengobatan adalah menekan inflamasi, yang terjadi sesegera dan semaksimal mungkin dengan obat anti inflamasi steroid atau imunosupresan, tergantung kondisi klinis pasien. Bila diketahui jelas ada faktor penyebab infeksi, maka dikombinasikan dengan anti infeksi.

Steroid merupakan antiinflamsi yang kuat, diberikan pada fase uveitis akut, dengan dosis inisiasi 1mg/kgBB dan dosis diturunkan secara bertahap. Pada dosis ini, steroid tidak hanya bertindak sebagai antiinflamsi, tapi juga sebagai imunosupresan.

Imunosupresan lain diberikan bila berupa uveitis progresif dan rekuren, pasien yang tidak responsif atau tidak tahan terhadap steroid, dan pada uveitis syndromes seperti VKH, Behcets, dan Oftalmia Simpatika.