Ethicaldigest

Terapi Anti Mual untuk Ketaatan Terapi Kanker

Kanker merupakan penyakit yang rumit dan perlu penanganan secara komprehensif serta multidisiplin. Terapi tidak hanya diberikan untuk mengatasi kanker. Perlu pemberian terapi suportif, dengan harapan dapat meningkatkan keberhasilan terapi, serta kualitas hidup pasien yang lebih baik.

Salah satu kendala terbesar yang dihadapi pasien kanker adalah mual muntah. Kondisi ini merupakan masalah yang perlu diatasi, dalam penanganan pasien kanker, terutama yang mendapat kemoterapi. Jika tidak teratasi, sasaran pengobatan sangat mungkin tidak tercapai.

Ada sejumlah faktor predisposisi terjadinya mual muntah, di antaranya pasien yang lebih muda (<50 tahun), wanita, tidak pernah mengkonsumsi alkohol, pengalaman kemoterapi sebelumnya, dan rejimen kemoterapi atau dosis yang digunakan.

Rasa mual dan muntah diatur oleh titik atau area di otak kecil, yang bernama chemoreceptor trigger zone (CTZ). Obat anti muntah yang digunakan dalam penyakit kanker terutama bekerja di daerah ini, dengan harapan dapat lebih kuat dalam menekan rasa mual dan muntah.

Dr. dr. Abidin Widjanarko, SpPD, KHOM, dari Rumah Sakit Pusat Kanker Nasional Dharmais, Jakarta, jika dokter bisa menutup reseptor di CTZ, maka reaksi muntah akan jauh berkurang. Bahkan pasien bisa tidak mengalami muntah atau mual sama sekali.

Dengan terkontrolnya mual dan muntah yang tercetus akibat kemoterapi, ketaaan terhadap pengobatan akan semakin baik, yang tentunya akan berdampak positif terhadap hasil pengobatan. Tolerabilitas pasien terhadap kemoterapi meningkat, dan besar kemungkinan pasien dapat menyelesaikan seluruh regimen pengobatan.

Ada beberapa golongan obat anti emetik, yang dianjurkan bagi pada pasien yang mendapat kemoterapi. Obat diberikan sebelum kemoterapi dimulai sebagai pencegahan. “Di antaranya, yang paling sering adalah golongan antagonis serotonin (5-HT3). Lainnya adalah golongan steroid dan antagonis neurokinin-1,” jelasnya.

Dari golongan antagonis reseptor 5-HT3, yang terbaru adalah Palonosetron. Obat ini merupakan satu-satunya antiemetik antagonis 5-HT3 yang dianjurkan, untuk rejimen MEC non-AC (Moderately Emetogenic Chemotherapies).

Menurut Dr. Abidin, Palonosetron merupakan antagonis reseptor 5-HT3 generasi kedua, dengan waktu paruh yang panjang, mencapai 40 jam. Juga memiliki afinitas yang lebih kuat, dibanding antagonis 5-HT3 generasi pertama. Dengan demikian, Palonosetron memberikan efek inhibisi yang lebih panjang. Juga memiliki properti internalisasi reseptor, dan efek cross-talk inhibisi antara reseptor 5-HT3 dengan NK-1, sehingga dapat digunakan untuk mencegah mual muntah tipe delayed.