Ethicaldigest

Menilai Status Nutrisi Pasien Rawat

Pasien rawat inap yang dalam pengobatan, akan mengalami proses yang dinamakan proses penyembuhan. Proses ini merupakan reaksi, karena tubuh sedang memanfaatkan pengobatan untuk penyembuhan. Proses penyembuhan secara garis besar digolongkan menjadi 3 bagian, meliputi;

  1. Proses penyesuaian tubuh; tubuh menyesuaikan sistem metabolisme untuk bisa memanfaatkan pengobatan yang diberikan. Dalam kondisi ini, reaksi yang mungkin muncul dapat berbeda-beda pada tiap individu, misal: pusing, mual, sakit perut.
  2. Proses detoksifikasi; tubuh mengeluarkan racun atau zat-zat berbahaya ketika /setelah menerima pengobatan. Reaksi yang mungkin muncul meliputi batuk-batuk, pilek, demam, gatal-gatal, borok, banyak berkeringat, buang air kecil dan besar.
  3. Proses regenerasi; setelah menerima pengobatan, tubuh mengganti sel-sel lama dengan  sel-sel baru untuk memperbaiki sel, jaringan atau organ yang rusak. Dalam kondisi ini, beberapa reaksi yang mungkin muncul di antaranya rasa sakit pada bagian tubuh tertentu, kulit pecah-pecah, badan lemas, demam, dan lain-lain.

Malnutrisi merupakan masalah umum, yang dijumpai pada kebanyakan pasien yang masuk ke rumah sakit. Di sisi lain, ditemukan bahwa pasien mengalami malnutrisi sebelum masuk ke rumah sakit. Ini dimungkinkan karena keparahan penyakit dan terapi, yang selanjutnya dapat mengganggu asupan makanan normal dalam jangka waktu cukup lama.

Menilai Status Nutrisi pada Pasien

Status nutrisi adalah fenomena multidimensional, yang memerlukan beberapa metode penilaian, termasuk indikator-indikator yang berhubungan dengan nutrisi, asupan nutrisi dan pemakaian energi, seperti body mass index (BMI), serum albumin, prealbumin, hemoglobin, magnesium dan fosfor. Jenis protein yang paling sering diukur adalah albumin serum. Level albumin yang rendah merefleksikan status nutrisi penderita, yang dihubungkan dengan proses penyakit dan atau proses pemulihan.

Pada pasien kritis terjadi penurunan sintesa albumin, pergeseran distribusi dari ruangan intravaskuler ke interstitial, dan pelepasan hormone yang meningkatkan destruksi metabolisme albumin. Level serum pre albumin juga dapat menjadi petunjuk yang lebih cepat, dari adanya suatu stres fisiologik dan sebagai indikator status nutrisi.

Kadar serum hemoglobin dan trace elements, seperti magnesium dan fosfor, merupakan tiga indikator biokimia tambahan. Hemoglobin digunakan sebagai indikator kapasitas angkut oksigen, sedangkan magnesium dan fosfor sebagai indikator gangguan pada jantung, saraf dan neuromuskular. Selain itu delayed hypersensitivity dan total lymphocyte count (TLC) adalah dua pengukuran, yang dapat digunakan untuk mengukur fungsi imun, yang sekaligus berfungsi sebagai skrining.

Subjective global assessment (SGA) juga dapat digunakan sebagai alat penilai status nutrisi, karena mempertimbangkan kebiasaan makan, kehilangan berat badan yang baru atau yang sifatnya kronis, gangguan gasterointestinal, penurunan kapasitas fungsional dan diagnostik yang kemudian dihubungkan dengan asupan yang buruk. Penilaian jaringan lemak subkutandan penyimpanannya dalam otot skelet, juga merupakan bagian dari SGA, dan bersama dengan evalkuasi edema dan ascites, membantu menegakkan kemungkinan malnutrisi sebelumnya. Level stres pada pasien sakit juga harus dinilai, karena bisa memperburuk status nutrisinya secara keseluruhan.