Ethicaldigest

Harapan Baru Obat DAA

Pengobatan hepatitis C bisa mencapai >95% dengan hadirnya obat DAA generasi baru. Waktu terapi relatif pendek dan efek sampingnya minimal.

Virus hepatitis C bisa meng­ubah diri atau bermutasi sangat cepat, tak ubahnya seperti penyamar ulung. Hal ini membuatnya sulit dikenali oleh sistem imun tubuh, sehingga sulit dibasmi. Hasil pemeriksaan anti-HCV po­sitif menandakan antibodi terhadap he­patitis C, yang berarti orang terse­but pernah terpapar HCV. Namun anti­bodi yang terbentuk tidak bisa me­lindungi, karena virus ini bisa menge­coh sistem imun dengan “penyamar­an”. Vaksin jadi sulit dibuat. Dengan de­mikian, yang bisa diandalkan hanya­lah pengobatan, di samping skrining dan pemeriksaan.

Dulu, tatalaksana hepatitis C dila­ku­kan dengan interferon, yang disun­tik­kan tiga kali seminggu. Lalu ditam­bah obat ribavirin oral, setiap hari. Ke­mu­dian muncul peglytated interferon- ± yang disuntikkan cukup satu kali seminggu, tetap kombinasi dengan ribavirin. Namun angka keber­ha­sil­an­nya  hanya sekitar 65%.

Kombinasi interferon dan ribavirin dila­kukan selama 6 – 12 bulan. “Lama pengobatan satu tahun untuk genotype 1, dan 6 bulan untuk genotype 2 dan 3,” terangnya. Pada genotype 1 yang me­rupakan genotype terbanyak di Indonesia, angka keberhasilannya lebih ren­dah. Pengobatan dinyatakan ber­ha­sil, bila HCV RNA tidak terdeteksi da­lam darah pasien 6 bulan setelah pengobatan selesai.

Interferon sudah masuk BPJS, sehingga bisa didapat secara gratis. Namun, umumnya dokter enggan meresepkan interferon karena efek sampingnya cukup berat.  Atas alasan ini pula, cukup banyak pasien yang menghentikan pengobatan. “Di zaman interferon, ada aturan kalau fibrosis­nya belum berat, dianjurkan tidak dio­bati, karena pengorbananannya sa­ngat besar. Nyerinya, efek samping, har­ga obat, dan penyuntikannya. Se­men­tara, keberhasilannya cuma seki­tar 65%,” papar dr. Irsan.

Sofosbuvir

Sejak ditemukannya DAA (direct-acting antiviral) generasi terbaru pa­da 2011, tingkat kesembuhan naik menjadi 67-75%. Diikuti dengan munculnya simeprefir yang diberikan bersama interferon dan sofosbuvir. Kedua obat ini disetujui FDA pada 2013. Sofosbuvir merupakan lompatan besar dalam pengobatan hepatitis C, karena diberikan tanpa kombinasi dengan interferon. “Tidak perlu suntik, cuma minum. Efek samping hampir tidak ada, dan angka keberhasilannya di atas 95%,” jelas dr. Irsan.

Dengan sofosbuvir, target pengo­bat­an hepatitis C sekarang adalah sembuh. Aktris Pamela Anderson termasuk yang sembuh dengan obat ini. Sekitar 20 tahun lalu, ia didiagnosis hepatitis C, dan dinyatakan hidupnya mungkin tinggal 10 tahun lagi. Pada akhir 2015, ia dinyatakan sembuh total, berkat terapi dengan sofosbuvir.

Pasien diobati dalam bentuk kom­bi­nasi obat, “Tapi back bone-nya ada­lah sofosbuvir.” Misalnya sofosbuvir de­ngan simeprefir, atau sofosbuvir de­ngan ribavirin. Daclatasvir kini sudah mendapat ijin edar BPOM, sehingga bisa digunakan. Kombinasi sofosbuvir dengan  daclatasvir disebut sebagai obat pan-genotipe, yang mampu meng­hambat semua genotype HCV. Kom­bi­nasi kedua obat ini juga bisa diguna­kan, untuk pasien koinfeksi hepatitis C dan HIV.

Berbeda dengan interferon yang lama pengobatan ditentukan berdasar­kan genotype, dengan DAA dilihat apa­kah sudah ada sirosis. “Bila sirosis pengobatannya 6 bulan, kalau belum maka cukup 3 bulan,” lanjut dr. Irsan.

Sofosbuvir tampak seperti obat yang ideal: durasi terapi singkat, ter­sedia, efek samping rendah, dan da­lam bentuk oral. Sayangnya, sofos­buvir sangat mahal. Harga per tablet mencapai US$ 1.000 atau Rp. 13 juta. Hanya segelintir orang yang bisa meng­aksesnya. Padahal, penderita he­patitis C banyak di negara miskin dan berkembang. Maka, pasienpun “berte­riak” menuntut agar obat ini bisa diakses oleh seluruh golongan ekonomi.

Berdasarkan peraturan, hak paten obat berlangsung 10 tahun; selama rentang waktu tersebut, tidak boleh dibuat versi generiknya. Mempertim­bangkan kebutuhan akan sofosbivur sangat mendesak, khsuusnya di ne­gara berkembang, produsen sofos­bu­vir Gilead Sciences, Inc., membuat perjanjian lisensi dengan 7 pabrik obat di India, untuk memroduksi sofosbuvir versi generik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membolehkan sekitar 100 negara yang dinilai miskin, ter­masuk Indonesia, untuk mengedarkan sofosbuvir versi generik.

Pasien dan keluarga pasien hepatitis C, gencar melakukan demonstrasi sejak 2015. Mereka mendesak BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)  untuk segera meregistrasi sofosbuvir, sehingga bisa diakses dengan mudah oleh pasien di Indonesia. Saat ini sudah ada setidaknya 5 obat DAA generasi baru yang diregis­trasi BPOM yaitu sofosbuvir,  sime­previr,  sofosbuvir + ledipasvir,  grazo­previr + elbasvir dandaclatasvir.

DAA sudah bisa dibeli di apotek atas resep, dengan harga sekitar Rp 4 juta/botol. Semua orang yang positif hepatitis C bisa segera diobati. Tidak seperti dulu, di mana pengobatan ha­rus dipertim­bangkan, apakah man­fa­atnya lebih besar daripada efek sam­pingnya. “Di masa DAA, banyak ahli yang menga­takan bahwa pengobatan hepatitis C adalah hak asasi pasien. Begitu terbukti positif hepatitis C, ha­rusnya diobati karena kesembuhannya hampir 100%. Buat apa lagi diulur-ulur,” tegas dr. Irsan.

Better, faster, cheaper. Tiga krite­ria inilah yang dicari agar obat bisa dimasukkan ke program BPJS. “Ka­lau obat sangat diperlukan, maka harus tersedia,” ujar dr. Wiendra. Sudah di­masukkan tiga DAA  dalam formu­la­rium nasional, untuk masuk ke BPJS. Ketiga obat yang dimaksud yak­ni sofosbuvir, simeprevir dan ribavirin.

Sedang diupakan agar obat ini bisa diresepkan tidak hanya oleh sub spesialis KGEH, karena jumlah KGEH di Indonesia sangat terbatas, dan terkonsentrasi di Indonesia bagian barat. “Bila bisa diresepkan oleh spesialis penyakit dalam atau bahkan dokter umum, tentu akan menjangkau seluruh penderita hepatitis C di Indonesia,” tutur dr. Wiendra.

Kemenkes RI menargetkan 6.000 pasien hepatitis C yang bisa dibiayai pengobatannya oleh BPJS. Pada 2016, Kemenkes telah menyediakan 18.000 botol sofosbuvir, 1.029 botol simepre­vir, dan 37.800 ribavirin. Untuk me­ka­nisme pendistribusiannya, dipriori­tas­kan pada provinsi dengan jumlah pengguna narkoba banyak terutama penasun (pengguna napza suntik). Juga RS yang memiliki KGEH, serta berkoordinasi dengan PPHI.

“Munculnya obat-obat baru hepati­tis dengan tingkat kesembuhan sampai di atas 95%, sangat spekta­ku­ler dan ditunggu-tunggu kita semua,” tandas dr. Wiendra. (nid)