Ethicaldigest

Bell’s Palsy: Penyebab, Diagnosa dan Pengobatan

Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer  yang  bersifat  unilateral, penyebabnya  tidak diketahui  (idopatik),  akut. Tidak  disertai  oleh gangguan  pendengaran,  kelainan  neurologi  lain atau kelainan  lokal. Diagnosis  biasanya  ditegakkan  bila semua kemungkinan penyebab lainnya sudah disingkirkan. Kondisi ini dapat menyebabkan kelainan permanen pada bagian wajah yang terkena.

Saraf  fasialis  (N.VII)    mengandung  sekitar  10.000 serabut  saraf  yang  terdiri  dari  7.000  serabut  saraf  motorik  untuk  otot-otot  wajah,  dan  3.000  serabut  saraf lainnya  membentuk  saraf  intermedius  (Nerve  of Wrisberg)  yang  berisi  serabut  sensorik  untuk pengecapan 2/3 anterior lidah, dan serabut parasimpatik untuk  kelenjer  parotis,  submandibula,  sublingual  dan lakrimal.  Saraf fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu :

  1. Segmen supranuklear
  2. Segmen batang otak
  3. Segmen meatal
  4. Segmen labirin
  5. Segmen timpani
  6. Segmen mastoid
  7. Segmen ekstra temporal 

Insiden  Bell’s  palsy  dilaporkan sekitar 40-70% dari  semua  kelumpuhan  saraf  fasialis  perifer  akut. Prevalensi  berkisar  antara  10–30 pasien per 100.000  populasi  per  tahun  dan  meningkat  sesuai pertambahan  umur.  Insiden  meningkat  pada  penderita diabetes  dan  wanita  hamil.  Sekitar  8-10%  kasus berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini.

Gejala Bell’s palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot  wajah pada  satu  sisi,  yang  terjadi  secara  tiba-tiba beberapa  jam  sampai beberapa  hari  (maksimal  7  hari). Pasien  juga  mengeluhkan  nyeri  di  sekitar  telinga,  rasa bengkak  atau  kaku  pada  wajah  walau pun  tidak  ada gangguan  sensorik.  Kadang-  kadang  diikuti  oleh hiperakusis,  berkurangnya  produksi  air  mata, hipersalivasi dan berubahnya pengecapan. Kelumpuhan saraf fasialis  dapat  terjadi  secara  parsial  atau  komplit. Kelumpuhan  parsial  dalam  1–7  hari , dapat  berubah menjadi kelumpuhan komplit.

Etiologi

Bell’s palsy sering disebut sebagai kondisi yang idiopatik. Meski demikian, berbagai bukti terbaru memberi bukti adanya keterlibatan infeksi virus dalam patogenesis Bell’s palsy, terutama infeksi virus herpes simplex type 1 (HSV-1). Analisa molekuler terbaru dengan melakukan pemeriksaan reaksi rantai polymerase, menunjukkan adanya genom HSV laten pada ganglia genikulat, dan adanya segmen HSV aktif  dalam cairan endoneural dari saraf fasial.

Karenanya diyakini bahwa pasien yang mengalami inflamasi karena teraktifasinya HSV, menyebabkan kompresi mekanis dan kemungkinan demielinasi dan iskemia saraf fasial (kranial ketujuh), dalam ganglion genikulat. Hal ini mengakibatkan paralisis pada semua otot, yang terlibat di dalam ekspresi wajah pada sisi wajah yang terkena. Saraf kranial ketujuh menginervasi kelenjar ludah dan lakrimal, dan terlibat dalam menimbulkan sensasi rasa di dua pertiga lidah.

Tujuan penatalaksanaan Bell’s palsy adalah mempercepat  penyembuhan,  mencegah  kelumpuhan parsial  menjadi  kelumpuhan  komplit,  meningkatkan angka  penyembuhan  komplit,  menurunkan  insiden sinkinesis  dan  kontraktur  serta mencegah kelainan pada mata.  Pengobatan  seharusnya  dilakukan   sesegera mungkin,  untuk  mencegah  pengaruh  psikologi  pasien terhadap  kelumpuhan  saraf  ini.  Disamping  itu,  kasus Bell’s palsy membutuhkan kontrol  rutin  dalam  jangka waktu lama.

Prognosis  pasien  Bell’s  palsy  umumnya  baik, terutama  pada  anak-anak. Penyembuhan  komplit dapat tercapai pada 85% kasus, penyembuhan dengan asimetri otot  wajah  yang  ringan  sekitar  10%  dan  5% penyembuhan dengan gejala sisa berat. Bell’s  palsy  biasanya  dapat  sembuh  tanpa deformitas.  Hanya  5%  yang  mengalami  deformitas.

Deformitas pada Bell’s palsy dapat berupa :

  1. Regenerasi motorik  inkomplit. Ini  merupakan  deformitas terbesar dari kelumpuhan saraf  fasialis.  Dapat  terjadi  akibat  penekanan  saraf motorik  yang  mensarafi  otot-otot  ekspresi  wajah. Regenerasi  saraf  yang  tidak  maksimal, dapat menyebabkan kelumpuhan semua atau beberapa otot wajah.  Manifestasi  dari  deformitas  ini  dapat  berupa inkompetensi oral,  epifora dan hidung tersumbat.
  2. Regenerasi sensorik inkomplit . Manifestasinya  dapat  berupa  disgeusia,  ageusia  atau disesthesia. 
  3. Regenerasi  Aberrant. Selama  regenerasi  dan  perbaikan  saraf  fasialis,  ada beberapa serabut saraf yang tidak menyambung pada jalurnya, tapi menyambung dengan serabut saraf yang ada  di dekatnya.  Regenerasi  Aberrant  dapat menyebabkan  terjadinya  gerakan  involunter,  yang mengikuti gerakan volunter (sinkinesis).

Terapi farmakologis

Saat ini, tidak ada obat yang disetujui FDA, untuk pengobatan bell’s palsy. Tapi dua pilihan pengobatan yang paling dianjurkan, adalah kortikosteroid dan antiviral. Perdebatan yang berlangsung saat ini adalah seputar penggunaan kortkosteroid saja versus kombinasi kortikosteroid dan antiviral.

Saat ini, bukti-bukti menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid saja memiliki manfaat. Sementara penggunaan antiviral ,tidak lebih efektif dibanding plasebo. Tapi ketika antiviral dikombinasikan dengan kortilksteroid, lebih banyak pasien yang dapat rekoveri secara penuh dibanding hanya menggunakan kortikosteroi.