Ethicaldigest

dr. Ni Retno Setyoningrum, SpM(K)

Melihat ekspresi anak yang untuk pertama kalinya bisa melihat dengan jelas, bagi  dr. Ni Retno Setyoningrum, SpM(K), “Merupakan kebahagiaan tak ternilai.” Kebahagiaan seperti itu pernah dirasakan, jauh sebelum menjadi dokter spesialis mata, bahkan sebelum menjadi atlet cilik marathon.

“Waktu saya masih di SD,” ujarnya di sela perayaan HUT Jakarta Eye Center ke 34. 

Ketika itu, ayah, ibu dan semua orang di rumah merasa ada yang aneh pada diri adiknya, terutama saat menggambar. Ia tidak bisa menggambar pintu. Menggambar orang tidak ada hidungnya. Bisa  menggambar rumah, “Ternyata dia menjiplak.”

Di TK, si adik kerap ditegur ibu guru. Belakangan guru curiga, jangan-jangan adiknya itu memiliki gangguan penglihatan. Sang ibu segera membawa adik ke dokter mata. Benar, dia memiliki kelainan refraksi.  “Kami tidak tahu, kenapa matanya minus tinggi. Tapi, bukan karena keturunan.”

Setelah memakai kacamata, adiknya tahu bahwa hidung manusia punya dua lubang. “Ibu menangis. Selama ini kami tidak tahu, adik tidak bisa melihat jelas. Sesampai di rumah, dia begitu gembira bisa melihat gagang pintu. Dia tidak tahu, ada benda semacam itu. Ibarat nasi goreng, kita mengira yang paling enak adalah buatan pembantu di rumah. Padahal, nasi goreng di restoran jauh lebih enak,” tutur dokter yang hobi renang ini.

Peristiwa dalam  keluarga itu tertanam dalam diri dr. Retno; inilah alasan mengapa ia ingin  menjadi dokter spesialis mata anak. Belum puas, dokter yang pernah gabung dalam klub atletik Bob Hasan ini mendalami sub-spesialis oftalmologi paramedik dan starbismus. 

Kini, kewaspadaan orangtua pada katarak anak semakin tinggi. Antara lain dipicu kejadian katarak pada mata anak artis Asri Welas, akibat infeksi rubella. “Mosok harus nunggu ada artis kena musibah, baru kita menjadi aware. Sebaiknya jangan.” (jie)