Radang sendi (artritis), osteoartritis maupun reumatoid artritis, berhubungan dengan kondisi mikrobioma usus. Modifikasi bakteri dengan suplementasi probiotik, terbukti bisa membantu mengatasi peradangan dan keluhan akibat artritis.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menyebutkan, prevalensi penyakit sendi di Indonesia usia >15 tahun sekitar 7,3%. Di masyarakat, penyakit sendi masih kerap disebut rematik. Rematik adalah istilah kuno, yang dulu digunakan untuk menyebut berbagai penyakit yang mengenai sendi, tulang, otot, tendon, tulang rawan, dan ligamen. Rematik meliputi sekitar 200 penyakit. termasuk di antaranya radang sendi (artritis) dan lupus.
Dari sekian banyak artritis, osteoartritis (OA) termasuk yang paling banyak terjadi. Kondisi ini dulu dikaitkan dengan usia tua. Dengan meningkatnya angka obesitas dan gaya hidup sedenter, OA makin banyak terjadi di usia produktif. Ditambah lagi dengan maraknya tren lari; berlari dengan cara yang salah, berisiko mengalami cedera lutut. Sebagian penelitian menyebutkan, berlari bisa meningkatkan risiko OA, meski sebagian riset lain menunjukkan sebaliknya.
Artritis rematoid (AR) relatif jarang dibandingkan OA, tapi tak boleh disepelekan. Ditengarai, prevalensi radang sendi autoimun yang lebih banyak mengenai perempuan ini sekitar 0,1 – 0,3% di Indonesia. Dengan jumlah penduduk hampir 270 juta, angka RA pun besar.
Secara umum artritis tidak menimbulkan kematian, tapi sangat menurunkan kualitas hidup. Mobilitas terhambat dan bisa berujung pada disabilitas. Bila mengenai usia produktif, akan berdampak besar pada performa kerja. Belum ada obat yang bisa menyembuhkan kedua jenis radang sendi kronis ini. Obat-obatan hanya untuk meredakan keluhan nyeri dan/atau memperlambat perjalanan penyakit.
Menariknya, penelitian menemukan bahwa OA maupun AR turut dipengaruhi oleh mikrobiota usus. OA kini banyak mengenai mereka yang obes, karena menimbulkan beban berat pada sendi, terutama lutut. Selain itu, juga berhubungan dengan inflamasi. Obesitas menimbulkan inflamasi sistemik derajat rendah; dengan dimediasi oleh endotoksin bakteri yang bermigrasi dari usus ke sirkulasi darah, muncul peradangan pada sendi-sendi.
Obesitas diketahui memengaruhi kondisi mikrobiota usus, dan sebaliknya. CG Boer, dkk (Osteoarthritis and Cartilage, 2017) meneliti komposisi mikroba usus pada 1.444 partisipan Studi Rotterdam III. Komposisi bakteri diteliti menggunakan 16 S ribosomal RNA-sequencing. Fenotipe OA radiografik dipastikan dengan skor Kellgren-Lawrence (skor KL), sedangkan keparahan OA pada lutut, panggul, dan nyeri sendi diukur berdasarkan skor WOMAC (Western Ontario and McMaster Universities Arthritis Index).
Hasilnya, tidak ada hubungan yang signifikan antara keseluruhan variasi inter-individual komposisi mikrobioma gastrointestinal dan OA pinggul (48 kasus, 891 kontrol), OA lutut (124 kasus, 826 kontrol), atau dengan nyeri dan keparahan OA (n=1.425). Namun, ketika diperiksa kelimpahan relatif (relative abundance) dari taksonomi mikroba tunggal untuk OA, ditemukan 35 asosiasi signifikan nominal dengan fenotipe OA lutut dan pinggul.
Terdapat dua famili bakteri dalam orde Clostridiales, yang terasosiasi signifikan dengan OA pinggul skor WOMAC dan skor KL. Untuk OA lutut skor WOMAC, ditemukan empat asosiasi signifikan pada level taksonomi berbeda (Kelas – Orde – Famili – Genus), yang mengarah ke genus bakteri Streptococcus. Peneliti menyimpulkan bahwa terdapat asosiasi yang sangat signifikan, antara taksonomi mikrobioma individu dengan skor nyeri OA lutut dan pinggul.
Hasil ini tampak independen dari IMT (indeks massa tubuh), bisa jadi menunjukkan peranan independen obesitas yang lebih besar terhadap mikrobioma pada OA. Hasil ini bisa menjadi validasi yang potensial, mengenai hubungan antara mikrobioma usus, inflamasi derajat ringan, dan OA.
Hubungan antara mikrobiota usus dengan AR mungkin lebih dekat lagi, dan lebih banyak diteliti. Antara lain oleh Maeda dan Takeda (Journal of Clinical Medicine, 2017), yang mengulas berbagai studi pada hewan dan manusia, mengenai peranan mikrobiota usus pada AR. Ditemukan bahwa IgA ACPA (anti-citrullinated protein antibody), terdeteksi sebelum kemunculan artritis. Ini menunjukkan bahwa AR berasal dari mukosa, seperti rongga mulut dan usus.
Penyebab utama penyakit periodontal Porphyromonas gingivalis, ditengarai berkorelasi dengan perkembangan AR. Berbagai penelitian juga menunjukkan, terjadi peningkatan populasi bakteri gram negatif Prevotella copri, pada beberapa kasus AR awal. Namun, tidak semua spesies Prevotella bersifat artritogenik. Spesies lain seperti Prevotella histicola, justru menekan perkembangan artritis. Yang jelas, pasien AR umumnya mengalami disbiosis. Kondisi ini sebagian membaik setelah pasien menjalani pengobatan dengan obat-obatan pemodifikasi penyakit.
Harapan dari probiotik
Pemanfaatan probiotik untuk membantu mengatasi OA dan AR, mulai diteliti. Misalnya yang dilakukan Lei M, dkk (Beneficial Microbes, 2017). Sebanyak 537 pasien OA lutut disertakan dalam studi tersamar ganda dan terkontrol plasebo ini. Secara acak, pasien dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok mendapat susu skim dengan kandungan L. casei Shirota strain, kelompok lain mendapat susu plasebo, selama enam bulan. Luaran primer yakni perubahan pada skor WOMAC dan VAS (visual analog scale), sedangkan luaran sekunder berupa perubahan pada kadar serum hs-CRP (high sensitivity C-reactive protein).
Setelah enam bulan perlakuan, skor WOMAC maupun VAS membaik secara signifikan pada kelompok probiotik dibanding kelompok plasebo. Kadar serum hs-CRP juga jauh lebih rendah pada pasien yang mendapat probiotik, ketimbang yang mendapat plasebo. Terlihat korelasi linear yang kuat antara kadar serum hs-CRP dengan skor WOMAC dan VAS. Disimpulkan, konsumsi L. casei Shirota strain bisa menjadi pilihan terapeutik baru dalam tatalaksana klinis OA lutut, kemungkinan melalui penurunan kadar serum hs-CRP.
Sandra Luz Ruiz-Quezada, dkk (Annals of Rheumatic Diseases) meneliti efek L. casei Shirota strain terhadap manifestasi klinis, gejala gastrointestinal, serta kadar serum sitokin proinflamasi dan antiinflamasi (TNF-a, IL-1b and IL-10) pada pasien AR aktif. Percobaan klinis ini melibatkan 19 pasien perempuan usia >18 tahun, tanpa rematik peradangan lain atau penyakit infeksi, dan dalam pengobatan yang stabil (DMARD dan prednisone <10 mg/hari) dalam setidaknya 3 bulan terakhir. Pasien-pasien ini secara acak dibagi menjadi dua kelompok. Selama 6 minggu, satu kelompok (n=11) mendapat susu fermentasi dengan L. casei Shirota strain, kelompok lain (n=8) mendapat plasebo. Pemeriksaan dilakukan pada minggu 0,6, dan 9; pemeriksaan terakhir dilakukan setelah periode washout, untuk melihat apakah efeknya masih ada.
Hasilnya, pasien di kelompok probiotik menunjukkan perbaikan pada kuesioner penilaian AR (HAQ-DI); nilainya turun dari 1 pada minggu 0 menjadi 0,58 (minggu 6) dan 0,51 (minggu 9). Tampak pula tren penurunan pada DAS 28 (Disease Activity Score). Perbaikan gejala gastrointestinal terlihat melalui skor GSRS; dari 8,4 saat baseline menjadi 3,8 pada minggu 9. Adapun kadar sitokin proinflamasi menurun, dan sitokin antiinflamasi meningkat dibandingkan saat baseline, meski tidak signifikan.
Tidak ada laporan efek samping dari pasien. Disimpulkan, probiotik L. casei Shirota strain memiliki efek tambahan yang menguntungkan, saat digunakan untuk mengatasi AR. Diperlukan lebih banyak studi dengan dosis lebih tinggi, periode lebih lama, dan jumlah pasien lebih banyak, untuk memastikan efek L. casei Shirota strain.
L. casei Shirota strain telah dibuktikan dalam berbagai penelitian memiliki efek antiinflamasi. Misalnya studi oleh S. Matsumoto (International Journal of Probiotics and Prebiotics, 2008), yang menguraikan efek L. casei Shirota strain pada penyakit usus inflamasi kronis, serta menjelaskan mekanisme efeknya dalam pathway IL-6. Secara in vitro, L. casei Shirota strain menghambat sintesis IL-6 dan LPS yang distimulasi LPMC (lamina propia mononuclear cells) usus besar.
Asupan L. casei Shirota strain memperbaiki kolitis pada hewan percobaan, dengan represi IL-6 sintetis oleh LPMC. Disimpulkan, L. casei Shirota strain bisa menjadi probiotik yang bermanfaat untuk pengobatan kelainan inflamasi kronik pada manusia.