Diabetes melitus, tipe 1 atau tipe 2, berisiko merusak makro dan mikrovaskuler. Pada pembuluh darah besar menyebabkan serangan jantung atau stroke. Pada pembuluh darah kecil merusak organ-organ seperti ginjal, mata atau saraf.
“Diabetes pada anak, komplikasi lebih banyak terjadi pada mikrovaskuler. Dapat menyebabkan kasus kebutaan atau gagal ginjal. Komplikasi makrovaskuler bisa terjadi saat mereka dewasa,” terang Prof. Dr. dr. Sidartawan Soegondo, SpPD-KEMD, FACE.
Selain komplikasi mikro dan makrovaskuler, ketoasidosis menjadi momok khususnya pada diabetes melitus tipe 1 (DM 1). “Dimulai dari asidosis, kemudian ketoasidosis dan koma,” tambah Prof. Sidartawan.
Ketoasidosis
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah komplikasi akut yang berbahaya, banyak dialami pasien DM 1. Ketoasidosis merupakan suatu kondisi defisiensi absolut atau relatif, yang diperburuk oleh terjadinya hiperglikemia, dehidrasi dan gangguan pembentukan asidosis dalam metabolisme.
Penyebab paling umum akibat infeksi yang mendasari atau terjadi bersamaan (40%). Misalnya infeksi saluran kemih, atau akibat infeksi bakteri Klebsiella pneumonie. Atau akibat gangguan terapi insulin (25%), dan onset baru diabetes yang sebelumnya tidak diketahui (15%). Sisanya (20%) akibat sebab – sebab lain, seperti sumbatan pada kateter infus insulin, gangguan alat pompa insulin dan idopatik.
Menurut catatan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), sejak tahun 2006 sampai 2017 sebagian besar pasien mengalami KAD saat terdiagnosis. “Pasien masuk IGD dengan koma ketoasidosis. Awalnya dikira usus buntu, asma atau abses. Selama masa itu, ada 396 pasien anak yang mengalami KAD sekali dalam hidupnya,” terang Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, SpA(K), FAAP, Ketua Umum IDAI. Kejadian KAD lebih dari dua kali (2-5 kali dan >5 kali) dialami oleh <50 pasien.
Hilang/berkurangnya insulin, sebagai hormon anabolik utama, berarti jaringan seperti otot dan lever tidak mendapat serapan glukosa. Hormon konterregulator, seperti glukagon, growth hormone dan katekolamin, meningkatkan pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas dan glukoneogenesis, yang merupakan penyebab utama peningkatan kadar serum glukosa pada kasus KAD. Beta-oksidasi dari asam lemak bebas tersebut, menyebabkan peningkatan pembentukan keton dalam tubuh.
Metabolisme tubuh saat KAD berubah dari mode normal – tubuh mengolah karbohidrat – menjadi ke mode ‘kelaparan’; menggunakan lemak sebagai sumber energi. Konsekuensi sekunder dari gangguan metabolik primer KAD termasuk asidosis metabolik, terjadi karena keton yang dihasilkan beta-oksidasi dari asam lemak bebas menguras penyangga ekstraseluler dan asam seluler. Kondisi hiperglikemia yang diinduksi oleh diuresis osmotik akan menguras sodium, potasium, fosfat dan air.
Kondisi hiperglikemia biasanya meningkatkan ambang batas penyerapan glukosa oleh ginjal, dan menyebabkan keadaan glukosuria yang signifikan. Konsekuensinya, terjadi peningkatan kehilangan air lewat urin akibat diuretik osmosis yang terjadi akibat glukosuria; ada kehilangan air sekitar 6 L atau 100 mL/kg berat badan. Hal ini menyebabkan dehidrasi, hipoperfusi jaringan, bahkan mungkin asidosis laktik atau gangguan fungsi ginjal.
Gejala klinis
Secara klinis, kondisi KAD awal menunjukkan gejala seperti poliuria, polidipsia dan nokturia. Malaise dan kelelahan hadir sebagai gejala KAD. Mual muntah biasanya terjadi, mungkin berhubungan dengan nyeri perut dan penurunan nafsu makan. Pasien mengalami napas cepat dan dalam, sebagai konpensasi hiperventilasi akibat asidosis metabolik, disertai bau aseton (ketotik) dari napasnya. Kulit cenderung kering dan kemampuan refleks berkurang.
Berkurangnya produksi keringat, disorientasi atau kebingungan ringan mungkin terjadi. Pasien berisiko koma, bila kondisi tersebut diabaikan atau bila mengalami dehidrasi/asidosis berat. KAD berdampak pada organ-organ vital, dan bisa menyebabkan takikardi, hipotensi, hipotermia, atau demam jika disertai infeksi. Tanda lain KAD dengan infeksi antara lain disuria, batuk, malaise, menggigil, nyeri dada, sesak napas dan arthralgia.
Menurut Wolfsdore J, dkk., dalam jurnal Diabetes Care (2006), pada anak yang lebih besar (remaja), kondisi klinis tersebut mesti dibedakan dengan status hiperglikemi hiperosmolar (SHH) atau yang dulu disebut hiperglikemi-hiperosmolar non-ketotik. Pada SHH menunjukkan tanda klinis seperti hiperglikemi hingga >600 mg/dL, tanpa ketosis (atau hanya ringan), asidosis non-ketotik, dehidrasi berat, gangguan kesadaran berat, kejang, hipertemia disertai napas Kussmaul. Osmolitas serum sering melebihi 350 mOsm/kg.
Riset oleh Crossen et al., (jurnal Pediatrics 2016) yang melibatkan 5263 pasien pediatrik dengan DM1 tercatat, pasien yang telah menjalani perawatan dalam periode yang lama (tanpa mengunjungi ahli endokrin), lebih mungkin mengalami KAD. Pada studi prospektif oleh Jessup et al., diketahui pada pasien DM1 anak onset baru yang parah, namun tanpa komplikasi, KAD cenderung mempengaruhi fungsi kognitif. Peneliti menyatakan bahwa KAD dan/ atau terapi pengobatan, menyebabkan defisit kognitif akut, mungkin juga jangka panjang.
Pemeriksaan KAD
Tes laboratorium awal atau berulang, perlu untuk menegakkan diagnosa KAD. Beberapa pemeriksaan penunjang yang perlu diperiksa antara lain kadar glukosa serum, kadar elektrolit serum (kalium, natrium, klorida, magnesium, kalsium atau fosfor), level bikarbonat, amilase dan lipase, kadar keton.
“Pada anak-anak, kadang bau ketonnya belum keluar tapi kondisinya sudah parah,” terang dr. Aman Pulungan. “Kalau ada pasien anak dengan gula darah >300 mg/dl, langsung cek keton darah. Kalau keton darahnya positif, berikan insulin sebelum menjadi ketoasidosis. Keton darah harus positif dulu sebelum menimbulkan gejala seperti sesak, atau sakit perut.”
Selain itu, pada pemeriksaan hemoglobin glikosilat kadarnya meningkat 2-4 kali dari normal. Pemeriksaan gas darah arteri menunjukkan, pH rendah dan penurunan pada HCO3 (asidosis metabolik) dengan kompensasi alkalosis respiratorik. Penanda osmolitas serum meningkat, tetapi biasanya kurang dari 330 mOsm/L.
Diagnosis KAD didasarkan atas adanya trias biokimia, yakni: hiperglikemia, ketonemia dan asidosis. Kriteria diagnosis yang telah disepakati antara lain: hiperglikemia bila kadar glukosa darah >11 mmol/L (>200 mg/dL), asidosis bila pH darah <7,3 dan kadar bikarbonat <15 mmol/L. Asidosis dianggap ringan bila pH darah 7,25 – 7,3 dengan bikarbonat 10 -15 mmol/L. Asidosis derajat sedang saat pH darah 7,1 – 7,24 dan bikarbonat 5-10 mmol/L. Derajat berat bila pH darah <7,1 dan bikarbonat <5 mmol/L.
Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan KAD adalah memperbaiki sirkulasi dan perfusi jaringan (resusitasi dan rehidrasi), menghentikan ketogenesis, koreksi gangguan elektrolit, mencegah komplikasi, mengenali dan menghilangkan faktor pencetus.
Penting diperhatikan adanya faktor yang memperberat/terjadi bersamaan seperti infeksi, trauma serebrovaskular, infark miokard, sepsis atau trombosis vena dalam (DVT). Penting untuk segera mengoreksi kehilangan cairan dan elektrolit. Adanya tanda-tanda dehidrasi ditunjukkan dengan setidaknya kehilangan 3 L cairan tubuh. Kemudian ikuti dengan koreksi kondisi hiperglikemia dan asidosis secara bertahap.
Konsensus The International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes (ISPAD) menyarankan, penggantian cairan awal pada pasien anak 10-20 mL/kg larutan garam normal (0,9%) selama 1-2 jam pertama tanpa bolus awal. Setelah 1-2 jam insulin harus dimulai untuk menghindari edema serebral.
Insulin kerja pendek digunakan untuk koreksi hiperglikemia. Karena penyerapan insulin subkutan berkurang pada KAD karena dehidrasi. Lebih disarankan menggunakan insulin intravena. Savage MW, Dhatariya KK, dkk., dalam Diabet Med (2011) merekomendasikan pemberian insulin intravena pada tingkat tetap, berdasarkan berat badan sampai ketosis mereda. Jika glukosa darah turun <14 mmol/L (250 mg/dL), glukosa 10% harus ditambahkan untuk memungkinkan kelanjutan infus insulin laju tetap (fixed-rate).
Pada pasien yang sudah terdiagnosa diabetes, insulin kerja panjang (glargine, Detemir) harus dimulai pada dosis yang digunakan sebelum manifestasi KAD. Jika sebelumnya menggunakan insulin NPH (neutral protamine hagedorn), mulai kembali pada dosis biasa hanya saat pasien makan dengan baik, dan tanpa muntah. Jika tidak, dosis harus dikurangi untuk menghindari hipoglikemia selama periode puncak insulin. Sementara pada pasien yang baru terdiagnosa DM1, pemakaian insulin kerja panjang harus dipertimbangkan. Dimulai dari dosis lebih kecil, untuk menghindari risiko hipoglikemia.
Volume insulin yang lebih besar dan campuran larutan isotonik natrium klorida dapat digunakan, dengan ketentuan dosis infus insulin serupa. Misalnya, 60 U insulin dalam 500 mL larutan isotonik natrium klorida dengan laju 50 mL/jam.
Tingkat penurunan glukosa yang optimal adalah 100 mg/dL/jam. Hindari penurunan glukosa darah <200 mg/dL selama 4-5 jam pertama pengobatan. Hipoglikemia dapat berkembang cepat selama tindakan koreksi ketoasidosis, karena peningkatan sensitivitas insulin.
Membiarkan glukosa darah turun sampai mendekati hipoglikemia, biasanya akan menghasilkan rebound ketosis. Kondisi inimembutuhkan durasi perawatan yang lebih lama. Bahaya lainnya adalah koreksi hiperglikemia dan hiperosmolaritas, secara cepat akan menggeser air ke ruang intraseluler hiperosmolar dan dapat menyebabkan edema serebral. (jie)