Ethicaldigest

Obat Generasi 3 Kanker Paru

Kanker paru masih menjadi salah satu penyebab kematian utama akibat kanker, di seluruh dunia. Obat generasi ketiga EGFR-TKI terbukti efektif mengatasi mutasi sekunder (T790M) sel kanker bukan sel kecil, yang resisten dengan pengobatan EGFR-TKI generasi pertama dan kedua.

Data GLOBOCAN International Agency for Research on Cancer (IARC) terakhir (2012) menyatakan, terdapat 14,1 juta kasus kanker baru dengan angka kematian sampai 8,2 juta jiwa. Itu adalah jumlah kematian nomor 2 terbanyak, akibat penyakit tidak menular. Khusus kanker paru, menyebabkan kematian pada 1,6 juta orang/tahun di seluruh dunia. Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa kanker paru merupakan penyebab kematian utama akibat kanker pada pria (30%), dan kedua pada wanita (11,1%). Lebih dari separuh (51%) kasusnya terjadi di Asia.

“Prevalensinya di Indonesia sekitar 25,8 per 100.000 penduduk pria, dengan rata-rata kematian 23,2 per 100.000,”  papar dr. Niken Wastu Palupi, MKM, dari Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan RI. “Sebagian besar pasien datang dalam stadium lanjut. Biasanya pasien hanya mampu bertahan hidup sekitar 6 bulan, setelah terdeteksi.”

Penyakit jantung dan kanker adalah dua penyakit katastropik teratas, dengan pembiayaan yang sangat banyak. Sampai dengan September 2017, menurut dr. Niken, total beban biaya dalam satu tahun untuk dua penyakit tersebut mencapai Rp. 6,5 trilyun dan Rp. 2,1 trilyun. “Penyakit jantung karena jumlah pa­siennya sangat banyak. Sementara kanker, menurut BPJS, adalah yang beban biaya yang harus ditanggung per individunya tinggi,” paparnya dalam acara AstraZene­ca dan Mitra Bekerja Sama dalam Melawan Kanker Paru.

Yang tak kalah memprihatinkan, berdasar studi di RS. Moewardi, Surakarta, sebanyak 28,7% pasien kanker paru mengalami salah diagnosa dengan TB pulmonary, dan memiliki sejarah peng­obat­an anti-TB. Riskesdas (Riset Kese­hat­an Dasar) 2013 menyatakan, 73,4% dari pasien tersebut telah menjalani pengo­bat­an anti-TB selama lebih dari satu bulan. Hanya 2,5% yang terdiagnosa ganda; menderita kanker paru dan TB pulmonary.

Dari fakta tersebut dr. Niken menje­las­kan, meningkatkan deteksi, penemuan dan tindak lanjut dini kanker paru menjadi program yang sedang digiatkan pemerin­tah. Tujuannya adalah meningkatkan kualitas hidup pasien kanker dan menu­runkan angka kematian akibat kanker.

Deteksi dini dengan balon

Salah satu metode deteksi dini yang berhasil dikembangkan adalah menggu­nakan balon karet, sebagai “perangkap” DNA. Metode ini dikembangkan oleh Dr. dr. Achmad Hudoyo, SpP(K). Pada diser­tasi doktoral Ilmu Biomedik FKUI, Ia me­ngatakan metode tersebut diilhami dari penelitian tentang kemampuan anjing dalam melacak keberadaan kanker paru dalam tubuh seseorang. Anjing pelacak yang sudah terlatih dapat membedakan napas pasien kanker paru. Tingkat akurasi cara ini mencapai 93%.

“Ini mengindikasikan, ada suatu zat tertentu yang hanya terdapat pada napas penderita kanker paru,” ujarnya dalam pre­sentasi disertasinya di Auditorium Gedung IMERI FKUI Salemba. 

Balon karet diisi napas/hembusan pa­si­en terduga kanker paru, kemudian di­di­nginkan dalam lemari es atau direndam da­lam air es. Tahap berikutnya, napas hem­busan tersebut disemprotkan ke ker­tas saring khusus, untuk menyimpan DNA.

Proses di laboratorium akan melacak gen yang mengalami metilasi dan ada tidaknya senyawa kimia, yang umumnya hanya ditemukan pada pasien kanker (2-metil pentane, dimetilhidrazon-3-penta­non, atau metil benzene). Beberapa gen seperti APC (adenomatous polyposis coly) dan RASSF1A (Ras Association Domain Family 1-isoform A) adalah yang mengalami metilasi.

Metilasi merupakan mekanisme epigenetik, tanpa mengubah rangkaian DNA; terjadi di awal proses penyakit. Suatu penanda sebelum terjadinya mutasi DNA. Metilasi sel DNA berarti sel kanker belum terbentuk, walau tetap berpotensi menjadi kanker.

Studi dilakukan dr. Hudoyo di RS Per­sa­habatan, Jakarta, pada 40 pasien kanker paru, berusia 23-86 tahun. Terde­teksi lima senyawa penanda kanker, namun gen APC dan RASSF1A tidak terdeteksi. “Itu menunjukkan gen penanda kanker paru di Indonesia, berbeda dengan negara lain. Artinya masih membutuhkan riset lanjut­an untuk mengetahui gen-gen yang me­ng­alami metilasi,” tambah dr. Hudoyo.

Walau begitu, metode balon ini tetap bi­sa dipakai untuk deteksi dini kanker pa­ru. Tingkat keakuratan metode ini men­capai lebih dari 70%.

EGFR

Sebagaimana diketahui, kanker paru melibatkan banyak gen (multi gen) dan multi proses, sehingga tidak gampang menghambat perkembangan sel kanker. Metode deteksi gen yang sudah berkem­bang di Indonesia – salah satunya dilaku­kan oleh PT. Astra Zeneca Indonesia – adalah metode deteksi biomarker EGFR (epidermal growth factor receptor). Yang perlu dipahami, pemeriksaan EGFR ber­arti sudah terjadi mutasi genetik, alias kanker sudah menyebar.

“Biomarker EGFR digunakan untuk me­ngidentifikasi pasien kanker paru, khu­susnya jenis adenokarsinoma bukan sel kecil, yang mana dalam populasi Asia angka kejadian mutasi EGFR ini sebesar 40-60%,” papar dr. Elisna Syahruddin, PhD, SpP(K), dari Departemen Pulmo­no­logi dan Respiratori FKUI.

Dibandingkan dulu, di mana pengo­bat­an belum spesifik, harapan hidup pa­sien sangat pendek sekitar 6 bulan. Saat ini, perkembangan tatalaksana dan pengo­bat­an yang bersifat individual memung­kin­kan pasien kanker paru mampu berta­han hidup hingga lima tahun. 

Aktivasi EGFR-tyrosine kinase (TK) merupakan kunci progresi kanker paru bukan sel kecil. Perkembangan terapi untuk melemahkan perkembangan sel kanker paru, adalah melalui pengobatan EGFR-TKI (tyrosine kinase inhibitor), seperti erlotinib dan gefitinib, atau mene­tral­kan antibodi EGFR (cetuximab dan bevacizumab).   

Keuntungan utama erlotinib dan gefi­ti­nib adalah perannya dalam pengobatan lini kedua dan ketiga, setelah kemoterapi. American Journal of Cancer Research (2017) menyatakan, dalam studi klinis fase II/III menunjukkan bahwa kombinasi terapi penghambat tyrosine kinase dan kemoterapi seperti docetaxel dan peme­tre­xed, meningkatkan progression-free survival dan harapan hidup keseluruhan (overall survival).

Studi fase I dan II juga menyatakan bah­wa kombinasi penghambat tyrosine kinase dan EGFR, efektif dalam pengo­bat­an kanker paru. Sayangnya pasien yang su­dah menjalani terapi lini pertama de­ngan EGFR-TKI generasi 1 dan 2, biasanya pada bulan ke 8-14 akan mengalami pemburukan. Dua dari tiga pasien dengan pemburukan tersebut mendapat mutasi sekunder, yang disebut T790M.

Mereka yang mengalami mutasi se­kun­der T790M kebal pada erlotinib dan gefitinib. Beruntung saat ini obat EGFR-TKI generasi ketiga (osimertinib) sudah disetujui BPOM dan sudah bisa diguna­kan di Indonesia. “Obat ini menghambat mutasi T790M. Lebih baik diberikan sebagai terapi lini pertama, jika mutasinya banyak, atau jika mutasinya rendah dijadikan lini kedua,” kata dokter yang praktek di RSUP Persahabatan, Jakarta ini.

The New England Journal of Medicine edisi Januari 2018 menulis penelitian, yang membandingkan osimertinib dengan obat standar EGFR-TKI pada pasien kanker paru. Pada studi klinis fase ke 3 tersebut diteliti secara acak, 556 pasien kanker paru bukan sel kecil dengan mutasi EGFR positif untuk mendapat osimertinib (dosis 80 mg 1x sehari, atau obat standar (gefitinib 250 mg 1x sehari / elotinib 150 mg 1x sehari).

Studi yang dilakukan Jean-Charles, MD, PhD, dkk., ini mendapati, kelang­sung­an hidup (median progression-free survival) pasien signifikan lebih lama jika mendapat osimertinib, dibanding standar EGFR-TKI; yakni 18,9 bulan: 10,2 bulan. Rata-rata tingkat respon obyektif dikedua kelompok obat serupa, yakni 80% : 76%. Durasi rata-rata respon adalan 17,2 bulan pada pasien yang mendapat osimertinib, berbanding 8,5 bulan dengan obat standar EGFR-TKI.

Didapati rerata tingkat kelangsungan hidup dalam 18 bulan adalah 83% dengan osimertinib, sementara pada pengobatan standar hanya 71%. Efek samping sampai grade 3 lebih jarang terjadi, jika menggu­nakan osimertinib. Peneliti berkesimpulan bahwa efikasi osimertinib sebagai pengo­bat­an lini pertama mutasi kanker paru bu­kan sel kecil lebih tinggi, dibanding obat standar EGFR-TKI.

Maret 2017 lalu, FDA (Food and Drug Administration) menyetujui osimertinib sebagai pengobatan pasien kanker paru dengan mutasi EGFR T790M. (jie)