Ethicaldigest

Dr. dr. Peter Ian Limas, SpB-KBD

Jumlah penderita obesitas semakin banyak. Riskesdas 2018 mencatat penduduk berusia >18 tahun dengan kegemukan atau obesitas 21,8%, meningkat dibanding Riskesdas 2013 (14,8%). Penanganan obesitas bisa dengan bedah bariatrik.

“Tren obesitas sulit turun. No where to go, but up.  Kecuali suatu saat ditemukan hormon yang bisa membuat orang tidak lapar lagi, bariatrik tidak dibutuhkan lagi. Tetapi, dalam 50 tahun belum tentu ketemu,” ujar  Dr. dr. Peter Ian Limas, SpB-KBD, dari RS Pondok Indah, Jakarta. 

Kelahiran 27 November 1968 ini belajar teknik bedah bariatrik sampai ke India; tepatnya di Center of Obesity and Diabetic Surgery dan Institute Advanced Endoscopy, India. “Memang kiblat saya India. Saya senang di India, karena mirip-mirip dengan kita. Kasusnya banyak, dan masih mungkin melakukan tindakan langsung.”

Kedokteran di sana semakin maju. Ia belajar di sana sekitar satu tahun. “Saya sarankan, kalau tidak suka nari jangan ke India, ha ha ha,”  kata dokter yang juga praktek di RS Gading Pluit ini. Obesitas bisa berdampak gawat, bedah bariatrik merupakan tindakan terakhir setelah upaya diet, obat-obatan dan olahraga tidak berhasil menurunkan berat badan.

Pria 21 tahun dengan obesitas tingkat 3, harapan hidupnya berkurang sampai 12 tahun, dan 9 tahun pada wanita. Mortalitas 12 kali lebih tinggi jika obesitas pada usia 25-34 tahun, dan lebih tinggi 6 kali pada usia 35-44 tahun.

“Jika sudah perlu penurunan berat badan secara ekstrim, bedah bariatrik mampu menurunkan bobot dengan cepat dan relatif menetap. Penderita obesitas berbobot 120 kg, sulit turun sampai 50 kg. Keberhasilan gizi dan obat-obatan hanya 3%.” 

Dengan bedah bariatrik, berat badan pasien bisa turun 60-80% dalam 6-12 bulan. Penurunan  berat badan biasanya di kisaran 50%, dalam satu tahun.  Namun, “Bariatrik bukan peluru emas, tindakan ini hanya sebatas pendukung. Faktor utama keberhasilan bariatrik adalah komitmen dan konsistensi  kuat dari pasien, untuk mengubah gaya hidup.”(jie)