Ethicaldigest

Pedoman Baru Tatalaksana Supraventrikular Takikardi

Pada Kongres ESC 2019 di Paris, European Society of Cardiology (ESC) mener­bit­kan Pe­do­man Penanganan Takikardia Supraventrikular. Dokumen “2019 ESC Guidelines for the management of patients with supraventricular tachycardia”, dikerjakan bersama antara ESC dan European Paediatric and Congenital Cardiology (AEPC).

Dokumen ini menyatakan, supraventricular tachycardia (SVT) adalah suatu kondisi di mana denyut jantung lebih dari 100x permenit (melebihi normal sekitar 70 – 90x per menit). SVT terjadi karena ada gangguan generasi impuls dan transmisi melalui saraf jantung, yang berperan mempertahankan irama jantung normal.

Sekitar 0,2 persen dari populasi didiag­no­sis menderita SVT, menjadikannya sa­lah satu bentuk aritmia jantung yang umum di masyarakat. Usia adalah faktor ri­siko terbesar dalam berkembangnya SVT. Mereka yang berusia di atas 65 ta­hun, berada pada risiko lima kali lebih besar. Perempuan berisiko 2x lipat meng­alami SVT, dibanding laki-laki.

Takikardia atau detak jantung cepat, biasanya dimulai di atrium atau bilik jantung yang lebih kecil dan tidak menyeberang ke ventrikel. SVT biasanya terjadi dan berhenti secara tiba-tiba. Para penulis menyatakan bahwa SVT tidak mengancam jiwa, tidak seperti ventrikel takikardia. Namun, jika tidak diobati, SVT dapat meningkatkan risiko terkena sera­ngan jantung dan stroke. Selain itu pasien mungkin menderita gejala seperti palpitasi, nyeri dada, sesak napas, pingsan, vertigo dan sebagainya.

Pedoman terakhir untuk pengobatan SVT diterbitkan tahun 2003. Tim menulis, “ESC menerbitkan pedoman manajemen untuk supraventricular takikardia (SVT) tahun 2003. Dalam pedoman 2019 ini, terapi obat untuk SVT tidak berubah secara signifikan. Ablasi kateter  dimasukkan dalam modalitas pengobatan. Pedoman tersebut juga mencantumkan manajemen SVT pada wanita hamil, karena SVT pada ibu hamil berisiko pada ibu dan bayi.

Profesor Josep Brugada, Ketua Gu­gus Tugas pembuat guideline ini dan profesor Universitas Barcelona, Spanyol, mengata­kan, “Kami memiliki lebih banyak data tentang manfaat dan risiko potensial yang terkait dengan beberapa obat. Kami tahu ca­ra menggunakannya dengan lebih aman. Selain itu, ada beberapa obat anti­aritmia baru.”

Para penulis pedoman menulis, “Pedo­man sebelumnya tentang SVT diterbitkan 16 tahun yang lalu. Banyak obat yang direkomendasikan pada waktu itu tidak dimasukkan dalam Pedoman 2019. Selain itu, teknik dan indikasi teknik ablasi telah berubah.” Menurut Tim,  perubahan uta­ma dalam pedoman baru adalah dimasuk­kan­nya obat-obatan dan pendekatan yang baru, untuk mengobati SVT. Ablasi ka­teter, misalnya, adalah perkembangan baru selama 16 tahun terakhir. Metode ini digunakan untuk membekukan daerah yang terkena jaringan jantung, dan dengan demikian mencegah aritmia.

Profesor Demosthenes Katritsis, Ke­tua Satuan Tugas pembuat Pedoman dan Direktur Departemen Kardiologi Rumah Sakit Hygeia, Athena, Yunani, mengata­kan, “Teknik dan teknologi ablasi kateter te­lah berkembang sedemikian rupa, se­hingga kami sekarang dapat menawarkan modalitas perawatan ini ke sebagian besar pasien dengan SVT.”

Mengenai manajemen SVT pada wanita hamil, Prof. Katritsis mengatakan bahwa semua obat antiaritmia harus dihindari, terutama pada kehamilan trimester pertama. Dia menambahkan, “Wanita hamil dengan aritmia persisten yang tidak memberi respon terhadap obat-obatan, atau mereka yang berkontraindikasi de­ngan obat-obatan, sekarang dapat diobati dengan ablasi kateter menggunakan tek­nik baru, yang menghindari paparan ra­diasi yang berbahaya.”