Ethicaldigest

Mengelola Lupus Eritematosus, Dokter dan Pasien adalah Mitra

Mengelola Lupus Eritematosus/LE tak cukup hanya dengan obat-obatan dan terapi. Modifikasi pola hidup pasien menjadi kunci, yang bisa dilakukan sendiri oleh pasien. Dokter bisa menganalisis berdasarkan catatan harian pasien.

Merupakan penyakit kronis, penanganan LE berjangka panjang. Tidak bisa terpaku hanya pada terapi sesuai algo­rit­ma. “Justru, modifikasi pola hidup adalah dasarnya; itu yang bisa dilakukan oleh pasien,” tutur Dr. dr. Windy Keumala Budianti, Sp.KK, dari FKUI/RSCM.

Pertama kali, pasien harus paham bahwa LE kutan yang diderita mungkin melibatkan gangguan sistemik. “Meski pasien ‘hanya’ mengalami diskoid lokal, tetap harus diedukasi. Kita tidak tahu apakah penya­kitnya berhenti di kulit saja, atau akan berkembang menjadi sistemik,” lanjutnya.

Yang terpenting, pasien harus meng­hin­dari pajanan UV. Secara teori, penga­ruh UV paling besar terhadap kekam­buh­an dan/atau progresivitas penyakit LE. Pemilihan jenis sunblock disesuaikan de­ngan kenya­manan pasien, yang efektif melindungi kulit. Tentu tidak nyaman, bila tabir surya terlalu lengket atau berminyak, atau terlalu putih hingga tampak seperti to­peng saat digu­nakan. Tabir surya de­ngan warna kulit bisa menjadi pilihan. Yang pasti, tabir surya harus berspektrum lu­as, mengandung SPF untuk melindungi dari UVB dan PA untuk melin­dungi dari UVA.

Tabir surya atau sunblock harus dipakai dengan baik. Jumlahnya harus cukup (2 mg/cm3) atau sekitar 2,4 gr untuk wajah. “Pemakaiannya diulang tiap tiga jam, dan dipakai setengah jam sebelum keluar rumah,” ucap Dr. dr. Windy.

Pada pasien dengan fotosensitif berat, tabir surya tetap harus dipakai di dalam ruangan, sekalipun ruangan berpendingin udara. “Bila bisa membaca dengan jelas karena cahaya matahari dari luar, artinya UV sangat kuat menembus jendela. Tabir surya harus dipakai,” tegasnya.

Perlindungan dari UV juga diperlukan secara fisik. Misalnya dengan pemakaian payung, kaca mata hitam, pakaian lengan panjang dan celana panjang, hingga jendela mobil dengan filter UV.

Perawatan kulit

Pasien harus sadar untuk menjalankan PHBS (pola hidup bersih sehat). Namun di masyarakat, masih banyak salah per­sep­si dan ketakutan lesi akan menyebar bila kena air, sehingga pasien takut mandi. “Ada pasien yang berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan tidak mandi. Takut kelainan kulitnya akan menyebar,” ungkap Dr. dr. Windy.

Padahal, di negara tropis di mana produksi keringat tinggi, kulit harus dibersihkan secara rutin. Pasien diajurkan mandi dua kali sehari; mandi terlalu sering tidak disarankan karena bisa membuat kulit kering. Penggunaan air hangat untuk mandi perlu dihindari, karena akan meluruhkan semen kulit, membuat antar sel kulit renggang dan kulit kering.

Untuk pemilihan sabun, terutama pada jenis LE kutan akut, pasien sebaik­nya menghindari sabun dengan kan­dungan antiseptik karena bersifat kasar dan membuat kulit lebih kering. Disaran­kan sabun yang berpelembap, tidak terlalu banyak busa, dan pH seimbang sesuai pH kulit (4,2 – 5,6).

Untuk menjaga kelembapan kulit, disa­rankan menggunakan losion sehabis mandi. “Pemilihan losion bebas. Prinsip­nya hindari yang wangi dan berwarna. Dan yang penting, harus nyaman dipakai. Percuma kita bilang krim tertentu bagus, tapi terlalu lengket; tidak akan dipakai,” papar Dr. dr. Windy.

Pola makan

Secara umum, pasien LE perlu diet seimbang, seperti orang pada umumnya. Penelitian yang dihubungkan langsung ke penyakit tertentu memang belum ba­nyak, sehingga belum bisa dikatakan dengan jelas bahwa makanan tertentu memperburuk LE. Makanan yang ditengarai ada yang bisa menjadi faktor, yang memperberat kondisi pasien LE.

Salah satunya, daging merah. “Daging merah dianggap dapat memicu sitokin proinflamasi dalam tubuh sehingga timbul peradangan. Tidak bisa kita hubungkan langsung dengan perburukan atau kekam­buhan LE. Namun ada baiknya semua faktor yang bisa memperberat LE, dihindari,” papar Dr. dr. Windy.

Pertimbangan lain, LE maupun pengo­batannya bisa mengganggu profil koles­terol. Hal ini makin buruk dengan kon­sumsi tinggi daging merah, yang cen­derung berlemak. Sedangkan, beberapa obat penurun kolesterol bisa merugikan pasien LE karena memicu fotosensitivitas pada kulit. Untuk itu, ada baiknya mempertimbangkan diet rendah daging merah kepada pasien.

Bahan pangan lain yang perlu diperha­tikan yakni gluten. Meski belum dibukti­kan melalui penelitian, gluten bisa memicu kekambuhan atau progresivitas LE. Prof. Dr. dr. Iris Rengganis, Sp.PD-KAI, dari Divisi Alergi dan Imunologi FKUI/RSCM, termasuk yang percaya bahwa diet bebas gluten menguntungkan pasien LE.

“Gluten merusak dinding usus se­hing­ga timbul kebocoran usus atau leaky gut. Ini menyebabkan toksin dan patogen lebih mudah masuk ke aliran darah dan memicu peradangan,” jelas Prof. Iris. Ber­dasarkan pengamatannya, pasien yang menjalani diet bebas gluten menunjukkan perbaikan nyata. “Meski ‘hanya’ LE kutan, saya sarankan agar pasien mengu­rangi konsumsi gluten,” imbuhnya.

Terkait kebocoran usus, Prof. Iris ke­rap menyarankan konsumsi probiotik. Keseimbangan bakteri di usus mencipta­kan ekosistem usus yang sehat dan mem­per­baiki dinding usus. Menurut peneliti­an, probiotik juga membantu menurunkan peradangan dalam tubuh.

Prof. Iris juga menekankan perlunya pasien menghindari makanan dengan 3P: pewarna, pengawet, penyedap. Secara umum, bahan-bahan ini memang perlu dibatasi konsumsinya oleh semua orang. Terlebih oleh pasien LE, karena bisa me­mi­cu berbagai efek yang tidak meng­untungkan.

Perawatan secara umum

“Pada dasarnya, sistem imun pasien lupus tidak seimbang dan kacau. Apapun yang bisa memicu sistem imun menjadi hiperaktif, harus dihindari. Termasuk infeksi,” tegas Dr. dr. Windy. Pasien harus diedukasi untuk lebih mengenal dan perhatian terhadap diri sendiri, dan waspada terhadap infeksi.

Infeksi ringan seperti selesma, batuk, dan keputihan, tidak boleh disepelekan. Pa­sien perlu periksa ke dokter gigi, minimal enam bulan sekali. “Kalau ada gigi ber­­lu­bang, harus segera diatasi,” lanjutnya.

Ia menyarankan pasien untuk mem­buat catatan. “Saya minta mereka menulis­kan segala sesuatu yang tidak biasa di kehi­dupan mereka. Misalnya, ke luar kota. Saya minta mereka mencatat bagaimana kondisi cuaca di sana, apa saja yang mere­ka makan, dan bagaimana pengaruh peru­bah­an-perubahan tersebut terhadap kon­disi tubuh,” tuturnya.

Pasienlah yang paling memahami, kondisi apa saja yang membuat mereka nyaman, dan apa yang membuat penyakit kambuh. Dokter perlu menganalisis catatan pasien, tidak sekadar memberi obat dan terapi. “Dokter dan pasien itu mitra dalam penanganan LE,” tandas Dr. dr. Windy.

Pasien perlu menjaga jangan sampai terlalu capek, dan belajar mengelola stres. Kelelahan dan stres merupakan pemicu kakekambuhan LE.

Jangan bosan mengedukasi dan mengingatkan pasien, untuk memeli­hara diri sendiri. Tidak jarang, pasien lupa memakai tabir surya secara rutin, ketika merasa keluhannya sudah hilang. Ingat­kan pula untuk kontrol rutin. Awalnya, pasien kontrol tiap dua minggu. Sebulan sekali bila mulai stabil, lalu tiga bulan sekali. Dengan menjaga pola hidup dan pemantauan rutin, diharapkan pasien bisa remisi. Saat remisi pun pasien tetap harus kontrol rutin, setidaknya setahun sekali.

Komunikasi, informasi, dan edukasi harus dilakukan sejak awal. “Tidak hanya kepada pasien, tapi juga keluarganya,” ujar Prof. Iris. Merawat pasien LE kutan lebih mudah, tapi tetap tidak boleh disepelekan, karena selalu ada potensi penyakit berkembang menjadi sistemik.

Begitu gangguan sistemik muncul, tantangannya lebih besar. Di titik ini pasien merasa hidupnya hancur. “Mera­wat pasien autoimun harus sabar. Kita harus memiliki empati tinggi, tapi jangan membuatnya cengeng. Beri dia semangat untuk bangkit,” pungkas Prof. Iris. (nid)