Pada lupus eritematosus kutan akut, kemungkinan terjadi kelainan sistemik lebih besar. Pada jenis diskoid, ada kemungkinan 5-10% kelainan sistemik. Pasien membutuhkan monitoring berkesinambungan untuk menilai aktivitas penyakit.
Disebut penyakit 1.000 wajah, manifestasi lupus bisa bermacam-macam. “Lupus eritematosus atau LE itu spektrum; dari yang paling ringan di kulit, sampai yang mengenai sistemik,” ungkap Dr. dr. Windy Keumala Budianti, Sp.KK, dari FKUI/RSCM, Jakarta.
Hingga kini, misteri yang melingkupi lupus belum tersingkap sepenuhnya. Belum diketahui apa penyebabnya, meski ditengarai berkaitan dengan kerentanan genetik, induksi autoimun, kerusakan sistem imun, hormon infeksi, hingga faktor lingkungan.
Intinya terjadi kesalahan regulasi pada sistem imun. “Antibodi yang harusnya melindungi tubuh, tidak mengenali mana lawan mana kawan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri,” ujar Prof. Dr. dr. Iris Rengganis, Sp.PD-KAI, dari FKUI/RSCM, Jakarta.
Lupus eritematosus kutan atau CLE (cutaneous lupus erythematosus) relatif lebih ringan, ketimbang lupus eritematosus sistemik atau SLE (systemic lupus erythematosus). Bukan berarti bisa disepelekan, karena merupakan tanda awal gangguan sistemik.
Sering kali pasien lupus datang pertama kali dengan keluhan kulit. “Misalnya rambut rontok, foto sensitif, atau kelainan kulit yang lain. Baru kita eksplorasi, kelainan apa lagi yang terlibat. Apakah, misalnya, ada nyeri sendi dan lain-lain,” ucap Dr. dr. Windy. Nyeri sendi sendiri banyak penyebabnya. Harus digali apakah nyeri sendi yang dikeluhkan pasien berhubungan dengan LE.
Akut, subakut, kronik
Secara umum, LE kutan dibagi menjadi dua, spesifik dan non spesifik. Pada LE kutan spesifik, gambaran biopsi menunjukkan sel-sel yang khas LE, misalnya banyak sel radang dan endapan kompleks imun. Adapun yang non spesifik, keluhan pada kulit tidak spesifik ke lupus, misalnya rambut rontok dan sariawan.
LE kutan spesifik dibagi lagi menjadi tiga. Yakni tipe akut atau ACLE (acute cutaneous lupus erythematosus), sub akut atau SCLE (sub acute cutaneous lupus erythematosus), dan kronik atau CCLE (chronic cutaneous lupus erythematosus). Istilah akut dan kronik biasanya menggambarkan, berapa lama penyakit berlangsung. “Tapi tidak demikian pada LE. Di LE, istilah akut dan kronis menggambarkan jenis dan bentuk peradangan yang terjadi. Pada LE kutan akut, justru kemungkinan kelainan sistemiknya lebih besar,” terang Dr. dr. Windy.
Tanda yang paling khas dari ACLE yakni butterfly rash (malar rash), lesi kemerahan berbentuk seperti kupu-kupu di kedua pipi. “Kalau ada kemerahan di pipi sampai melewati batang hidung, kita curigai sebagai malar rash,” ujar Dr. dr. Windy. Lesi juga bisa muncul di bagian tubuh lain seperti lengan. Biasanya muncul pada bagian tulang (misalnya tulang pipi hingga tulang hidung) karena bagian ini lebih menonjol, sehingga lebih banyak terpajan sinar ultraviolet (UV).
SCLE antara lain meliputi anular dengan lesi bulat-bulat, dan papuloskuamosa /psoriasiforma yang tampilannya seperti alergi obat, dan lebih banyak muncul di area yang terpapar UV. Adapun CCLE paling banyak berupa diskoid. Lesi berbentuk seperti koin, atrofi, berwarna merah hingga kecoklatan, dan ada tanda khas berupa plak keratotik. “Bila dilihat dengan dermoskopi, terlihat seperti ada sumbatan-sumbatan coklat di pori-pori kulit,” ucap Dr. dr. Windy.
LE kutan dan SLE bisa saling berarsiran. Lauren G. Okon dan Victoria P. Werth dalam studinya (Best Practice & Research: Clinical Rheumatology, 2013) menulis, CLE bisa merupakan manifestasi dari gejala lupus. Bisa pula berdiri sendiri tanpa adanya penyakit sistemik. “Mungkin saja pasien sebenarnya mengalami lupus sistemik, tapi lesi kulitnya muncul duluan,” ujar Dr. dr. Windy. Meski bisa pula sebaliknya; SLE sudah bekembang tapi tidak muncul gejala apapun di kulit.
LE kutan yang hanya muncul di kulit (lokal) yakni tipe diskoid. “Namun 5-10% pasien diskoid ternyata sistemik. Jadi, tidak selalu reaksi inflamasinya di kulit, melainkan bisa ke sistemik juga,” lanjutnya.
Menegakkan diagnosis
Pada SLE, masih cukup sering terjadi misdiagnosis karena memang gejalanya begitu beragam, dan menyerupai penyakit lain. Namun pada LE kutan, misdiagnosis jarang terjadi karena tampilannya khas. Terutama sekarang ini, di mana kesadaran dokter dan pasien mengenai autoimun khususnya lupus, semakin baik. “Dokter umum pun sudah bisa mendiagnosis LE dengan fasilitas yang dimiliki. Untuk memastikan diagnosis, barulah dirujuk ke spesialis imunologi atau rematologi,” ujar Prof. Iris.
Secara klinis, ada tiga keluhan khas LE yang perlu ditanyakan pada pasien: rambut rontok, serta sariawan dan nyeri sendi yang hilang timbul. Sekalipun tanda pada kulit sangat khas LE, baik Prof. Iris maupun Dr. dr. Windy menyarankan agar tetap melakukan biopsi, bila fasilitasnya tersedia. Bagaimanapun, pasien harus paham bahwa penyakit autoimun tidak bisa sembuh, tapi bisa mencapai remisi. Akan lebih nyaman menyampaikannya kepada pasien, bila diagnosis telah dipastikan dengan biopsi kulit.
Biopsi dilakukan di dua tempat. Yakni pada lesi yang dicurigai, dan pada area lain yang tidak terdapat lesi dan tidak terkena UV, misalnya bokong. “Bila dengan pemeriksaan imunofluoresens ditemukan antibodi yang positif LE pada area yang tidak ada lesi, biasanya risiko untuk terjadinya kelainan sistemik lebih besar,” papar Dr. dr. Windy.
Biopsi juga perlu diperkuat dengan pemeriksaan laboratorium. Biasanya dimulai dengan pemeriksaan ANA. ANA IF (indirect immunofluorescence) dinilai lebih sensitif, untuk melihat kelainan autoimun ketimbang ANA biasa. Namun demikian, ANA IF positif belum tentu berarti autoimun. ANA IF positif dengan nilai rendah, bisa terjadi pada orang normal, orang tua, atau orang dengan penyakit lain. Sebaliknya, pasien LE belum tentu memiliki ANA yang tinggi, meski hasilnya positif.
“Bila nilai ANA 1:100, kita lanjutkan ke pemeriksaan profil ANA, yang lebih menjurus lagi ke autoimun,” tegas Prof. Iris. Dalam studi oleh Patel P. dan Werth V (Dermatologic Clinics, 2002), disebutkan bahwa pasien LE kutan dengan titer ANA tinggi (>1:320) lebih mungkin mengalami SLE, sehingga harus dimonitor lebih ketat. Pemeriksaan yang lebih spesifik lagi ke LE, yakni Anti-dsDNA.
Di masa awal penyakit, mungkin hasil pemeriksaan ANA maupun Anti-dsDNA masih negatif, tapi sudah ada gejala LE. “Kadang gejalanya belum lengkap; mungkin hanya nyeri sendi dan rambut rontok, dan belum muncul lesi di kulit. Belum bisa dibilang LE, tapi saya selalu katakan pada pasien, bisa jadi ini tanda awal. Saya akan meminta pasien periksa lagi setahun kemudian,” papar Prof. Iris. Seiring berjalannya waktu, ANA bisa menjadi positif. “Gejala dan penanda LE bisa datang satu per satu, tidak sekaligus. Sebagai dokter, kesadaran kita harus tinggi, dan terus memantau pasien,” imbuhnya.
Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan yakni status vitamin D. “Pasien autoimun biasanya memiliki kadar vitamin D yang rendah. Dan sebaliknya, vitamin D rendah bisa mengacaukan kerja sistem imun,” lanjut Prof. Iris.
LE kutan dan kehamilan
Mengobati dan merawat pasien LE kutan relatif lebih mudah, tapi bukan berarti bisa dianggap enteng. Apalagi mengingat penyakit ini berkaitan erat dengan hormon estrogen, yang berarti banyak dialami perempuan usia reproduktif. Tetap harus waspada bila pasien hamil. Apalagi, kehamilan kerap memicu kekambuhan LE.
“Pada LE tipe diskoid biasanya memang tidak berpengaruh. Namun bila jenisnya yang akut, kadang bayinya juga bisa kena LE saat lahir nanti, disebut neonatus LE,” terang Dr. dr. Windy. Pengobatan LE selama masa kehamilan harus lebih ketat lagi. “Yang kita khawatirkan bukan hanya LE, tapi obat-obatannya. Banyak obat yang bisa menimbulkan kecacatan pada janin. Ini harus dipikirkan,” tandasnya.
Ada obat yang aman bagi ibu hamil, tapi penggunaannya tetap harus didiskusikan dengan dokter kandungan yang merawat pasien. Pasien pun harus kontrol rutin ke dokter kandungan lebih sering, dibandingkan ibu hamil tanpa LE. “Jangan sampai kita kecolongan; kasihan ibu dan bayinya,” pungkas Dr. dr. Windy. (nid)