Deteksi dini demensia penting dilakukan sebelum berkembang progresif. Metode terbaru yang dikembangkan di Indonesia, menggunakan indera penciuman dan respon pupil.
Fungsi kognitif yang optimal memungkinkan seseorang melakukan aktivitas mental secara sadar, seperti berpikir, mengingat, belajar dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga berhubungan dengan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif (merencanakan, menilai, mengawasi dan mengevaluasi).
Menurut Dr. dr. Yuda Turana, SpS, Dekan Fakultas Kedokteran dan Kesehatan UNIKA Atma Jaya, pikun atau demensia dianggap sebagai penyakit degeneratif; tidak ada obatnya. “Obat terakhir dibuat tahun 2003, bersifat memperlambat progresifitas dan mengurangi gejala,” katanya.
Maka, penting melakukan deteksi dini kerusakan fungsi kognitif otak. Pemeriksaan kesehatan otak perlu dilakukan, terutama untuk individu yang memiliki faktor risiko, seperti hipertensi dan diabetes. “Tugas dokter adalah pada fase praklinis,” tukas dr. Yuda. “Yakni menemukan biomarker demensia sedini mungkin. Karena, jika sudah terjadi demensia berarti sudah terlambat.”
Tahap praklinis disebut juga fase silent phase, di mana terjadi perubahan otak tanpa menimbulkan gejala yang bisa diukur. Pasien mungkin merasakan perubahan, tetapi tidak terdeteksi dalam tes. Ini disebut juga tahapan, di mana pasien merasa tetapi dokter tidak.
Setelah fase praklinis, masuk fase prademensia atau mild cognitive impairment/MCI. Seseorang berada di bawah fungsi kognitif normal, namun tidak termasuk dalam diagnosis demensia, belum mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan. Diperkirakan sekitar 50-80% mereka yang terkena prademensia, dapat mengalami demensia.
“Masalah yang memperberat, karena pada lansia sulit membedakan antara lansia sehat dan sakit. Jika memakai standar baku diagonasa klinis demensia, membutuhkan pemeriksaan klinis dan psikometrik. Pemeriksaan psikometrik memiliki keterbatasan khusus, misalnya bila pasien sulit baca tulis, ada gangguan penglihatan dan pendengaran,” terang dr. Yuda.
Perlu dikembangkan pemeriksaan non psikometrik, yang menggambarkan proses degenerasi di otak, dengan biomarker tertentu.
Tes penciuman
Proses degenerasi otak bisa dideteksi dari kondisi korteks entorhinal, yang merupakan pusat memori bau (odoran). Korteks entorhinal adalah salah satu komponen dari korteks olfaktorius. Dua lainnya adalah korteks frontal, yang menjadi pusat persepsi terhadap penghindu (indera penciuman), serta hipotalamus & amigdala yang adalah pusat emosional terhadap odoran.
Awalnya defisit olfaktorius (saraf penciuman) dipakai sebagai parameter praktis diagnosa penyakit Parkinson. “Pada beberapa penelitian, jika seseorang mengalami tremor bisa dites penghidunya, untuk membedakan apakah karena Parkinson atau drug abuse,” terang dr. Yuda.
Banyak studi tentang Alzheimer mendapati defisit sistem olfaktorius yang signifikan, dibanding kontrol lansia sehat. Journal of the International Neuropsychological Society (2003) mencatat, pada pasien Parkinson dan demensia Alzheimer defisit olfaktorius terjadi sebelum adanya gangguan gerak dan kognitif.
Riset lain yang dipublikasikan di jurnal Neurological Sciences 2005 menegaskan, ada gangguan identifikasi aroma bermakna pada subjek yang menderita prademensia (MCI), dibanding kontrol sehat; nilai olfaction rendah. Sementara di Indonesia, tes olfactory (tes penciuman) dilakukan oleh dr. Yuda dan tim di FK Universitas Atma Jaya.
“Untuk bisa mencium sesuatu bukan hanya peran hidung, tetapi suatu proses kompleks bagaimana otak menerjemahkannya. Proses akhir mempersepsikan suatu bau ada di korteks entorhinal. Pada proses penuaan otak yang cepat, terutama pada individu dengan demensia atau Alzheimer, korteks ini mengkerut sehingga pasien susah mempersepsikan ini bau apa,” ungkap dr. Yuda.
Pemeriksaan menggunakan aroma yang familiar dengan kondisi Indonesia. Bila partisipan tidak mampu mengidentifikasi jenis aroma (padahal tidak sedang pilek atau dengan gangguan penciuman lain), maka kemungkinan besar yang bersangkutan mengalami prademensia.
Riset yang dimuat pada International Journal of Alzheimer Disease 2016 tersebut, dilakukan pada 109 orang berusia 54-64 tahun. Mereka diminta mengidentifikasi 10 jenis bau/aroma seperti kayu putih, kopi, melati, mentol, tembakau, minyak tanah, pandan, kapur barus, cokelat dan jeruk.
Pasien diperbolehkan mencium bau 2 kali, masing-masing selama 5 menit sebelum menjawab jenis bau. Penelitian ini menunjukkan jika kemampuan indera penciuman berkurang, maka 80% lansia dapat mengalami kemunduran ingatan dan fungsi kognitif lainnya. Kata dr. Yuda, “Pasien dengan defisit olfaktorius dan APOE4, berisiko 5 kali lipat menderita demensia.” Genotype apolipoprotein (Apo) E4 dihubungkan dengan peningkatan risiko penyakit Alzheimer.
Tes pupil
Demensia berhubungan juga dengan asetilkolin, suatu neurotransmitter yang membantu proses berpikir, memori, berkomunikasi. Bersamaan dengan proses degenerasi, produksi asetilkolin berkurang; pada pasien Alzheimer produksi asetilkolin menurun signifikan.
Asetilkolin selain di otak, ada di mata. Penurunan asetilkolin di otak, berbanding lurus dengan di mata. Sehingga, tes respon pupil bisa dipakai untuk sebagai prediktor demensia. Penurunan asetilkolin di mata, dilihat dengan respons hipersensitifitas pupil pada larutan tropicamide 1,0%. “Reaksi hipersentifitas terlihat di pupil, setelah cairan diencerkan 100 kali lipat, menjadi 0,01%,” dr. Yuda menjelaskan.
Seseorang yang mengalami kemunduran indera penciuman diikuti respons pupil hipersensitif, diprediksi yang bersangkutan 90% mengalami kemunduran kognitif.
Pemeriksaan tambahan
Pencitraan otak menggunakan CT scan dan MRI, selain untuk menegakkan diagnosa, bermanfaat sebagai metode deteksi dini gangguan kognitif. Rusinek et al, 2003, menyatakan tingkat atrofi lobus temporal memprediksi konversi dari kognisi normal menjadi prademensia. Demikian pula Jack et al, 1999, di mana volume dan perfusi area hipokampus pada pasien prademensia mengarah pada kondisi demensia yang lebih berat.
Pada kasus demensia vaskular, tidak adanya lesi serebrovaskular pada CT scan atau MRI, adalah bukti terhadap etiologi vaskular. Fitur pada pemindaian CT atau MRI yang menunjukkan demensia vaskular, adalah beberapa infark bilateral yang terletak di hemisfer dominan dan struktur limbik, beberapa stroke lacunar, atau lesi materi putih periventrikular yang meluas ke materi putih pekat.
Pasien MCI, yang merupakan tahap prodromal untuk demensia vaskular subkortikal, memiliki fitur MRI yang berbeda dari pasien dengan MCI amnestik, yang merupakan tahap prodromal untuk Alzheimer. MCI vaskular menunjukkan infark lacunar dan leukoaraiosis materi putih yang lebih luas, serta atrofi kortikal hippo-campal dan entorhinal minimal.
“Pencitraan MRI menggunakan grade fazekas, pada penderita demensia vaskular biasanya ada pada lesi putih di fazekas grade 3 (lesi konfluen besar),” tambah dr. Yuda.
Pencitraan fungsional juga dapat digunakan untuk diagnosis. Menurut sebuah studi tahun 2000 oleh Nagata et al., positron emission tomography, mungkin berguna untuk membedakan demensia vaskular dengan demensia Alzheimer. Hipoperfusi dan hipometabolisme dapat diamati di lobus frontal, termasuk frontal cingulate dan superior gyri, pada pasien dengan demensia vaskular. Pola parietotemporal diamati pada pasien dengan DA.
Angiografi serebral tidak dilakukan secara rutin selama evaluasi demensia vaskular, tetapi dilakukan sebelum operasi arteri karotis. Ini juga berguna dalam kasus-kasus kemungkinan vaskulitis serebral. (jie)
Image by Gerd Altmann from Pixabay