Jenis jamur idealnya diketahui, agar pengobatan busa tepat guna. Faktor risiko dan underlying disease harus dikendalikan, untuk mencegah munculnya mikosis paru.
Mendiagnosis mikosis paru, diharapkan hingga ke jenis jamur penyebab infeksi. “Pengobatan jamur bisa berbeda-beda, karena sifat jamur berbeda-beda. Pengobatan tergantung dari etiologi jamur. Pilihan pengobatan mikosis akibat Aspergillus bisa jadi berbeda dengan Candida,” ungkap Dr. dr. Anna Rozaliyani, M.Biomed, Sp.P, Ketua Departemen Parasitologi FKUI. Ia menyayangkan, persediaan obat antijamur di Indonesia masih sangat terbatas.
Secara garis besar, obat antijamur diklasifikasikan menjadi tiga, berdasarkan jenis dan cara kerjanya. Yakni golongan azol, ekinokandin dan polien. Golongan azol menghambat pertumbuhan jamur, dengan mengganggu struktur dan fungsi membran sel jamur. Di Indonesia, yang paling sering dipakai untuk mengobati mikosis paru yakni flukonazol, itrakonazol, dan vorikonazol.
“Tapi, yang masuk Fornas cuma flukonazol. Obat ini cocok untuk mengobati infeksi akibat Candida, tapi tidak cocok untuk mengobati infeksi akibat Aspergillus, Histoplasma, dan Pneumosistis. Obat baru isavukonazol menunjukkan efek yang bagus, dan akan segera masuk Indonesia. Hanya saja, “Harganya mahal.”
Golongan ekinokandin bekerja dengan merusak kestabilan osmotik jamur, sehingga sel jamur tidak bisa mempertahankan bentuknya, dan akhirnya mati. Anidulafungin yang cocok untuk mengatasi infeksi Aspergillus invasif, dan mikafungin yang cocok untuk mengatasi infeksi Candida, tersedia di Indonesia. Sayang harganya cukup mahal. Mikafungin telah ditanggung BPJS di sebagian daerah, tetapi ketersediannya masih terbatas.
Adapun golongan polien, meski merupakan obat “jadul”, efektif karena berspektrum luas. Prinsip kerjanya, merusak membran jamur sehingga terjadi kebocoran isi sel, yang akhirnya berujung pada kematian jamur.
Amfoterisin B yang memiliki bentuk paling sederhana (deksosikolat), telah lama ditinggalkan di banyak negara karena dianggap bersifat nefrotoksik. “Namun, obat ini bisa digunakan untuk semua jenis jamur karena berspektrum luas. Yang penting kita perhatikan kontraindikasinya, apakah pasien memiliki kelainan ginjal,” tutur Dr. dr. Anna. Dan, meski tidak secara gamblang disebut hepatotoksik, sebaiknya tetap berhati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati.
Masalah lain, ketersediaan amfoterisin B sangat terbatas. “Mungkin awalnya dianggap jarang digunakan. Pernah suatu masa, hanya disediakan untuk pasien HIV,” terang Dr. dr. Anna. Amfoterisin B sekarang sudah mulai bisa diakses oleh pasien di luar pasien HIV, dan tersedia di beberapa RS besar. Bagaimanapun, mayoritas dokter masih sangat berhati-hati menggunakan obat tersebut.
Di beberapa negara, telah tersedia golongan liposomal. Efek toksiknya jauh lebih rendah, dengan efikasi yang lebih baik ketimbang amfoterisin B. Namun harganya sangat mahal, dan belum masuk Indonesia.
Durasi pengobatan lama
Mikosis paru muncul belakangan, secara perlahan. “Sehinga, pengobatan infeksi jamur pun harus lebih panjang,” tandas Dr. dr. Anna. Mikosis paru akut bisa berlangsung hingga dua minggu bila pasien sakit berat. Bahkan, kadang hingga tiga minggu. “Pun misalnya hasil pemeriksaan menunjukkan perbaikan klinis dengan kultur yang negatif, untuk beberapa jenis jamur seperti Candida dan Aspergillus, tetap harus dilanjutkan hingga dua minggu ke depan, dengan obat oral,” paparnya.
Untuk kasus aspergilosis kronis, pengobatan bisa satu, tiga, bahkan enam bulan. Tergantung kondisi infeksinya. Di Jepang, pengobatan dengan mikafungin bisa berlangsung selama beberapa tahun. Pengobatan dengan itrakonazol bahkan bisa berlangsung seumur hidup.
Histoplasmosis bisa lebih lama lagi; tidak hanya satu dua tahun. Karena memang sifat perjalanan penyakitnya panjang. Pengobatan harus dilakukan hingga benar-benar tuntas.
Mengapa pengobatan bisa begitu lama? “Salah satu sebabnya, jamur bisa membentuk kolonisasi, yang tidak mudah dihilangkan dengan obat,” ucap Dr. dr. Anna. Apalagi bila faktor risiko belum dibereskan. Misalnya kondisi imunokompromis/imunodefiseinsi yang tidak terkontrol, dan kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan jamur.
Pada pasien diabetes, misalnya. Pengobatan TB pada pasien diabetes saja, lebih panjang dari enam bulan bila kadar gula darah pasien masih naik turun tak terkendali. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak pada mikosis paru, yang akan memperpanjang pengobatan dengan antijamur.
Meski pengobatan mikosis sangat lama, “Jangan sampai kita mematahkan semangat pasien dan menghilangkan harapan mereka untuk sembuh.” Tempatkan diri dalam posisi pasien. Bila dana pasien terbatas dan obat yang dibutuhkan tidak/belum masuk Fornas, pikirkan pilihan obat yang sanggup dibeli pasien dalam jangka panjang. “Segala sesuatu harus dilihat dari potret yang komprehensif, atau helicopter view,” imbuhnya.
Pembedahan
Dalam kasus fungus ball, idealnya dilakukan pembedahan untuk mengangkatnya, karena obat sulit menembus/melakukan penetrasi ke bola jamur tersebut. Pembedahan dilakukan dengan bedah terbuka dari punggung bagian samping, untuk mengangkat lobus yang berisi fungus ball.
Bagaimanapun, prosedur ini bukan hal yang mudah. Banyak hal yang harus dipertimbangkan dan didiskusikan dalam konferensi bersama, yang antara lain meliputi spesialis paru, bedah toraks, patologi, dan radiologi. “Akan diputuskan apakah masih bisa dipertahankan dengan obat-obatan saja, atau perlu pembedahan,” ucap dr. Arifin Nawas, Sp.P(K) dari MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, Jakarta.
Umumnya, diputuskan untuk dilakukan pembedahan pada kasus batuk darah berulang, dan tidak ada perbaikan dengan pemberian berbagai macam antijamur. Tentu, kondisi pasien harus dipertimbangkan. Pada pasien usia lanjut, paru sudah sangat rusak, atau secara teknis operasi sulit dilakukan; risikonya sangat tinggi. Maka, pembedahan mungkin bukan pilihan bijak.
Pencegahan
Kewaspadaan dini harus dipikirkan sejak awal, untuk mencegah munculnya mikosis paru. “Dengan mengetahui faktor risiko dan underlying disease yang dimiliki pasien, kita bisa memprediksi sejak awal apakah pasien memiliki potensi terjangkit mikosis, meski pasien belum menunjukkan gejala apa-apa,” tutur Dr. dr. Anna.
Yang pasti, segala faktor risiko dan underlying disease pasien harus diobati/dikendalikan dengan baik. “Pada pasien TB, pengobatan harus tuntas, agar tidak terjadi kavitas. Bila pasien mengalami imunokompromis, misalnya karena HIV, maka harus diobati. Pada pasien diabetes, gula darah harus terkontrol,” papar dr. Arifin.
Di beberapa negara maju, obat anti jamur sudah banyak diberikan pada pasien yang mendapat antibiotik. Pasien dengan pemakaian antibiotik >5 hari, harus diberi antijamur sebagai terapi profilaksis mencegah tumbuhnya jamur. Hal ini rasanya masih sulit diterapkan di Indonesia, mengingat harga obat antijamur yang relatif mahal. Sementara ini, upaya yang bisa dilakukan yakni mengendalikan faktor risiko dan underlying disease, serta selalu waspada akan tumbuhnya jamur.
Mikosis paru umumnya menjangkiti pasien dengan gangguan imunitas tubuh. Sistem imun tidak bisa bekerja optimal, sehingga jamur yang harusnya tidak berbahaya dan bisa dibersihkan dengan sempurna, punya kesempatan untuk menginfeksi. Lantas, apakah penggunaan imunomodulator bisa membantu mencegah infeksi jamur, pada pasien dengan gangguan daya tahan tubuh?
Dr. dr. Anna membandingkan dengan penyakit paru kronis lain. “Pada TB misalnya, imunomodulator sudah mulai dipertimbangkan, meski belum dianggap sebagai terapi utama. Pada mikosis paru kronis, peluang itu mungkin masih bisa dipertimbangkan, tapi sampai sekarang belum direkomendasikan,” paparnya.
Bagaimanapun, masih ada yang lebih penting, untuk dipikirkan. Jangankan untuk obat suportif; obat utamanya saja masih PR besar. “Tapi penelitian ke arah sana (imunomodulator) masih sangat terbuka. Secara teori, hal itu memungkinkan,” imbuh Dr. dr. Anna.
Namun pasien dengan gangguan imunitas berupa autoimun, pemberian imunomodulator harus sangat berhati-hati. “Dikhawatirkan terjadi reaksi inflamasi yang berlebihan. Malah menimbulkan risiko kegawatan bagi pasien,” ujar Dr. dr. Anna. Juga pada kasus mikosis paru akut; imunomodulator belum direkomendasikan, “Karena faktor imunologinya masih naik turun seperti roller coaster; malah bikin kacau respon imun.”
Terlebih pada pasien dengan kondisi critically ill, yang umumnya mendapat begitu banyak obat hingga satu saat mencapai titik, di mana segala pengobatan harus rehat dulu. Obat yang paling penting semua obat dievaluasi, dipilah dan dipilih. “Yang bukan terapi utama untuk menyelamatkan nyawa, letakkan di prioritas kedua,” tegas Dr. dr. Anna. Bagaimanapun setiap obat ada efek sampingnya, dan ada interaksi antar obat yang harus diperhitungkan.
Memahami penyakit jamur memang butuh upaya. Spektrum penyakit jamur sendiri sangat luas. “Mulai dari cuma sekadar ada tanpa membuat kelainan, menimbulkan hipersensitivitas pada orang dengan bakat alergi, menyebabkan penyakit kronik, hingga menimbulkan penyakit akut yang mengancam jiwa,” tutur Dr. dr. Anna.
Untuk mendiagnosis tidak mudah, dan tidak semua RS memiliki fasilitas untuk itu. Sesudah berhasil didiagnosis, obatnya belum tentu tersedia. Untuk mencapai pengobatan mikosis yang optimal dan ideal, jalannya masih panjang. “Namun harus tetap optimis. Yang penting, semuanya ditujukan untuk pasien,” pungkas Dr. dr. Anna. (nid)