Ethicaldigest

Peran Probiotik Pada Infeksi H. pylori Penyebab Tukak Lambung

Peran probiotik pada berbagai kasus gangguan kesehatan nyata terbukti, termasuk pada kasus infeksi H. pylori. Lebih dari 80% tukak lambung dan 90% tukak usus 12 jari, disebabkan oleh infeksi H. pylori. Dulu, hal ini sulit dipercaya; stres dan makanan pedas dianggap sebagai biang keladi gangguan pencernaan tersebut. Hipotesis yang diutarakan Barry J Marshall dan J Robin Warren mengenai pengaruh infeksi Helicobater pylori (H. pylori) terhadap tukak lambung, ditolak mentah-mentah. Hipotesis tersebut dibuat berdasar pemeriksaan endoskopi pada 100 pasien; 18 dari 22 pasien yang menderita tukak lambung memiliki H. pylori, dan dari 13 pasien tukak usus, semuanya memiliki H. pylori.

Akhirnya, Marshall nekad menenggak H. pylori yang dikultur dari seorang pasien dispepsia, yang sebelumnya menjalani endoskopi untuk memastikan bahwa ia negatif H. pylori. Dalam lima hari, ia mulai mengalami gastritis, prekursor tukak lambung. Perut terasa kembung dan begah setelah makan malam, nafsu makan pun menurun. Nafasnya mulai bau dan tiap pagi ia muntah-muntah, berupa cairan encer tanpa asam. Melalui pemeriksaan endoskopi, ditemukan gastritis berat yang aktif dengan infiltrasi polymorphonuclear dan kerusakan epitel pada lambungnya. Ia juga mengkultur H. pylori dari saluran pencernaannya, membuktikan bahwa bakteri inilah penyebab tukak lambung.

Berkat penelitian Marshall dan Warren, terbuka pemahaman baru mengenai gastritis, serta hubungan kausatif antara H. pylori dan kanker lambung. Dengan demikian, pengobatan tukak lambung dan tukak usus 12 jari berkembang jauh lebih baik. Tahun 2005, Marshal dan Warren menerima Nobel Bidang Kedokteran atas temuan mereka.

Diperkirakan, H. pylori ditemukan pada 2/3 populasi dunia.  Sekitar 3 dari 20 orang yang terinfeksi bakteri ini mengalami ulser. Diyakini, infeksi H. pylori dapat ditularkan melalui air, makanan dan sanitasi yang kurang bersih. Tidak heran, prevalensinya di negara berkembang jauh lebih tinggi (80-90%), ketimbang di negara maju (30-40%). Ditambah lagi di beberapa negara termasuk Indonesia, ibu biasa mengunyahkan makanan untuk anak yang sulitmengunyah, atau meniup makanan minuman anak. Bila ibu memiliki H. pylori pada saluran cernanya, bakteri tersebut bisa ikut keluar bersama saliva ibu dan mengontaminasi makanan minuman dan peralatan makan anak.

Temuan H. pylori di Indonesia cukup bervariasi. Penelitian pada 150 anak usia sekolah dasar (SD) di Jakarta, menemukan 27% anak memiliki H. pylori , sementara di Mataram mencapai 40%. Di Yogyakarta, infeksi H. pylori ditemukan pada 25% pasien RSUP Dr. Sarjito, dengan keluhan sakit perut. Perlu dicurigai bila anak sering mengleuh sakit perut. Beberapa penelitian menyebutkan, 22-37% anak dengan sakit perut berulang menderita infeksi H. pylori.

Begitu memasuki tubuh, H. pylori menyerang mukosa pada dinding lambung, yang melindungi lambung dari asam lambung. Mukosa lambung rusak, sehingga bersentuhan langsung dengan asam lambung. Dinding lambung meradang dan terbentuk ulser. Begitu sudah membentuk koloni di lambung, H. pylori bisa bercokol di sana selamanya. Akibatnya, bisa terjadi peradangan yang terus menerus pada lambung. Pasien yang mengalami radang lambung kronis, perlu dicurigai kemungkinan infeksi H. pylori.

Salah satu tujuan utama pengobatan yakni eradikasi H. pylori. Diperkirakan, 90% pasien sembuh dengan pengobatan yang tepat. Bila eradikasi dilakukan di tahap awal penyakit, angka kematian akibat gangguan yang terkait dengan H. pylori bisa diturunkan hingga 10%. Eradikasi juga mengurangi biaya pengobatan akibat dispepsia dan gangguan perncernaan lain hingga 90%.

Terapi konvensional

Penderita infeksi H. pylori harus segera mendapat pengobatan yang tepat, karena mereka atau yang pernah terinfeksi H. pylori berisiko 2,7 – 12x terhadap kanker lambung. Kanker lambung merupakan kanker saluran cerna nomor 2 terbanyak, setelah kanker kolorektal. Di Indonesia, pasien kanker lambung umumnya datang pada stadium lanjut, karena kanker ini masih kurang dikenal.

Terapi konvensional untuk infeksi H. pylori, meliputi antibiotik dan obat penekan asam lambung proton pump inhibitor (PPI). Terapi lini pertama berupa terapi tripel, dengan dua jenis antibiotik dan satu PPP. Lini kedua berupa terapi kuadripel, yang menggunakan tiga jenis antibiotik plus satu PPP. Pengobatan untuk infeksi H. pylori masih terus diteliti. Lembaga Biologi Molekuler Eijkman bekerjasasama dengan Masrshall Centre dari University of West Australia menyelediki ragam H. pylori yang ada di Indonesia. Diharapkan, pengobatan lebih efektif karena disesuaikan dengan struktur genetik bakteri.

Pengobatan bisa menimbulkan masalah baru. Konsumsi antibiotik berisiko memunculkan antibiotik-associated diarrhea (AAD), karena semua bakteri penghuni usus, termasuk bakteri baik, mati. Padahal, bakteri baik adalah salah satu pertahanan utama usus. Saat bakteri baik mati, bakteri oportunistik mudah masuk dan berkembang biak tak terkontrol. C. difficile adalah salah satu yang sering menyebabkan AAD. Bakteri ini bisa menyebabkan diare berat hingga berdarah, bahkan kolitis pseudomembranosa atau PMC (pseudomembranous colitis).

Tidak selalu mudah mengobati C. difficile, apalagi bila terkait dengan infeksi H. pylori. Serangan C. difficile biasanya diatasi dengan menghentikan konsumsi antibiotik. Namun, bila hal ini dilakukan, eradikasi H. pylori tidak akan tercapai. Pada kasus tertentu, bisa diberikan antibiotik spesifik yang menyerang C. difficile, tapi ini bisa menimbulkan masalah lain lagi.

Probiotik sebagai ajuvan

Peran probiotik dalam pengobatan infeksi H. pylori mendampingi terapi konvensional, makin banyak mendapat perhatian. Studi oleh  Sgouras, dkk (2004), meneliti peran probiotik L. casei Shirota strain dalam menghambat H. pylori secara in vitro dengan H. pylori SS1(Sydney strain 1) dan sembilan H. pylori isolasi klinis. Tampak, L. casei Shirota strain menghambat H. pylori SS1 mau pun semua H. pylori isolasi klinis.

Dilakukan percobaan secara in vivo pada 50 tikus lab. Tikus-tikus tersebut diinfeksi H. pylori dan dibagi  dalam dua kelompok. Satu kelompok (@25 ekor) diberi L. casei Shirota strain, kelompok lain tidak diberi, sebagai kelompok kontrol. Dibuat kelompok kontrol lain, yakni 25 tikus yang tidak diinfeksi, tapi diberikan L. casei Shirota strain. Kolonisasi H. pylori dan perkembangan gastritis, diukur pada bulan 1, 2, 3, 6 dan 9 setelah infeksi.

Hasilnya, kelompok tikus yang mendapat L. casei shirota strain, menunjukkan penurunan kolonisasi H. pylori yang signifikan, ketimbang kelompok kontrol yang diinfeksi H. pylori. Inflamasi pada mukosa lambung yang diteliti pada tiap titik selama periode observasi, juga berkurang seiring penurunan kolonisasi H. pylori.

Hasil positif juga terlihat pada penelitian pada manusia. Misalnya yang dilakukan Cats A, dkk (2003). Mereka meneliti peran probiotik L. casei Shirota strain secara in vitro pada manusia, melalui studi intervensi. Ditambahkan  L. casei Shirota strain ke cawan patri, yang sebelumnya sudah diinokulasi dengan H. pylori strain NCTC 11637. Terlihat bahwa L. casei Shirota strain menghambat pertumbuhan H. pylori di cawan patri.