Saat bayi/anak tidak sengaja mengonsumsi susu sapi atau produknya, gejala perlu segera diatasi. Modifikasi bakteri usus ditengarai efektif membantu mengatasi alergi, dan menginduksi toleransi oral.
Bayi atau anak yang sudah terbukti memiliki alergi susu sapi, harus dihindarkan dari berbagai produk yang mengandung protein susu sapi. “Sebetulnya mudah, dihindari saja sampai waktu tertentu. Lalu, kenalkan lagi nanti. Namun bila tidak sengaja mengonsumsi produk susu sapi dan muncul gejala, kita obati gejalanya,” ujar Nia Kurniati, Sp.A(K) dari FKUI/RSCM, Jakarta.
Bila muncul reaksi pada kulit, bisa diberikan krim/salep yang mengandung steroid. Biasanya cukup dipakai 2-3 hari, hanya untuk meredakan gejala. Gatal pada kulit bisa menyebabkan lecet akibat garukan, dan tidur bayi bisa terganggu.
Lesi yang lecet berpotensi menimbulkan infeksi bakteri komensal seperti Streptococcus dan Staphylococcus aureus. Bila terjadi infeksi, diperlukan salep dengan kandungan antibiotik. Bisa dipertimbangkan antibiotik topikal, yang resistansinya lebih rendah.
Pada anak yang memang memiliki dermatitis atopik dengan kulit cenderung kering, maka perlu pemeliharaan. “Utamanya menjaga kelembaban, dan kenali musuh. Modifikasi pada dua hal ini sudah menolong 60%,” terang dr. Nia. Kulit bayi perlu dirawat secara rutin dengan krim/losion; selama kelembaban kulit terjaga, risiko eksim kambuh berkurang. Bila terjadi kekambuhan misalnya karena salah makan, atasi dengan krim steroid. Setelah itu kembali ke pelembab seperti biasa.
“Asma pun demikian, saat muncul gejala karena mengonsumsi susu sapi, obati gejalanya,” imbuh dr. Nia. Pengobatan biasanya hanya berlangsung maksimal 1 minggu. Setelah itu tidak dibutuhkan perawatan khusus, yang penting hindari susu sapi.
Tatalakasananya memang agak berbeda dari asma yang disebabkan oleh debu, partikel di udara, dan faktor lain yang sulit dihindari sepenuhnya. “Pada kondisi demikian, penyakit biasanya berlangsung kronis sehingga kita harus mengontrol reaksi radangnya, agar penyakit tidak bertambah berat dan pasien hidup lebih nyaman,” papar dr. Nia.
Modifikasi bakteri usus
Peranan bakteri usus untuk mengatasi alergi, makin banyak dibicarakan belakangan ini. Pertumbuhan bayi di masa awal kehidupan adalah jendela yang memungkinkan terbentuknya profil mikrobiota usus bayi, yang pada akhirnya turut berpengaruh dalam kemunculan alergi di masa kanak-kanak. Ditengarai, mikrobiota usus berperan besar dalam orientasi respon imun.
Yvan Vandenplas (Nutrients, 2017) menyebutkan, alergi makanan dihubungkan dengan perubahan mikrobiota usus atau disbiosis di awal kehidupan, yang bisa menjadi faktor prediktif untuk persistensi penyakit atau toleransi. Data dari percobaan pada hewan dengan alergi makanan menunjukkan, terapi mikroba dengan bakteri protolerogenik seperti spesies Clostridium tertentu tampak menjanjikan untuk diterapkan sebagai pencegahan, atau terapi alergi makanan di masa depan.
Membicarakan modifikasi bakteri usus berkaitan dengan tiga hal: probiotik, prebiotik, dan sinbiotik. Probiotik adalah bakteri yang bisa bermanfaat bagi kesehatan, prebiotik adalah makanan bagi bakteri tersebut, dan sinbiotik merupakan kombinasi dari prebiotik dan probiotik.
Prebiotik bisa berupa galakto-oligosakarida rantai pendek atau scGOS (short chain galacto-oligosaccharides), frukto-oligosakarida rantai panjang atau lcFOS (long chain fructo-oligosaccharides), dan/atau oligosakarida acid yang didapat dari pektin. Suplementasi dengan ketiga zat tersebut selama sensitisasi, efektif mengurangi gejala alergi. Juga memengaruhi aktivasi imun mucosal pada tikus, yang sensitif terhadap whey (Kerperien J, dkk, Pediatric Allergy Immunology, 2014).
Adapun probiotik dapat membantu merestorasi keseimbangan mikrobiota usus yang sehat. Probiotik dan sel-sel imun usus diketahui saling berkomunikasi. Bakteri probiotik bekerja dalam beberapa cara di lumen usus: menghidrolisis peptida yang berpotensi menjadi antigen menjadi peptida non-antigen; mengurangi permeabillitas usus sehingga mengurangi masuknya antigen dari usus ke sirkulasi sistemik; menstimulasi produksi IgA lokal; meregulasi respon inflamasi; menstimulasi diferensiasi dan pertumbuhan mukosa GI (Monti G, dkk, Pediatric Allergy and Immunology, 2007).
Terdapat hipotesis bahwa bayi dengan predisposisi atopik, mungkin memiliki pola mikroba usus yang menyimpang. Berbagai penelitian membuktikan manfaat probiotik, untuk anak alergi. Misalnya studi oleh Majamaa dan Isolauri (Journal of Allergy and Clinical Immunology, 1997), yang menemukan bahwa pemberian probiotik berupa Lactobacillus rhamnosus GG (LGG) pada anak usia <2 tahun yang menderita eksim dan alergi makanan yang telah dibuktikan, menurunkan skor eksim secara signifikan.
Adapun Isolauri, dkk (Clinical & Experimental Allergy, 2000) menemukan, formula yang disuplementasi dengan LGG menurunkan gejala GI pada anak dengan eksim. Pada bayi yang menderita kolitis, penambahan LGG ke formula hidrolisat ekstensif kasein secara signifikan meningkatkan pemulihan inflamasi pada mukosa kolon, dibandingkan formula hidrolisat yang sama tanpa probiotik (Pohjavouri E, dkk, Journal of Allergy and Clinical Immunology, 2004).
Tujuan utama dari pengobatan alergi susu sapi, tentu saja menghilangkan gejala. Namun tak kalah penting, juga memperoleh toleransi oral. Toleransi oral adalah keadaan tidak responsif pada imun lokal maupun sistemik yang diinduksi oleh pemberian antigen tidak berbahaya secara oral, misalnya protein makanan.
Probiotik ditengarai berperan dalam menghasilkan toleransi oral dalam kasus alergi susu sapi. Misalnya yang dikemukakan oleh Beri Canani, dkk (Journal of Allergy and Clinical Immunology, 2012). Dalam studi tersebut, bayi usia 1-12 bulan secara acak dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok satu mendapat formula hidrolisat ekstensif, kelompok dua mendapat formula hidrolisat ekstensif yang mengandung LGG.
Setelah 6 bulan diet eksklusif, dilakukan tantangan makanan tersamar ganda dan kontrol plasebo pada 55 bayi (28 bayi pada kelompok 1 dan 27 bayi di kelompok 2), yang telah terbukti memiliki alergi susu sapi berdasarkan evaluasi klinis menyeluruh, uji tusuk kulit, dan atopy patch test. Ditemukan, 22 dari 28 bayi di kelompok 1 dan 11 dari 27 bayi di kelompok 2 menunjukkan hasil positif; toleransi klinis lengkap lebih tinggi pada kelompok 2. Bayi dengan alergi susu sapi persisten (22 di kelompok 1 dan 11 di kelompok 2) selanjutnya menjalani tantangan kembali di 12 bulan. Hasilnya, 13 dari 22 bayi di kelompok 1, dan 5 dari 11 bayi di kelompok 2 memiliki hasil tantangan positif.
Adapun bayi dengan hasil negatif pada 6 dan 12 bulan, dinilai kembali setelah 6 bulan, untuk menguji persistensi toleransi klinis terhadap protein susu sapi. Semua bayi mengonsumsi susu sapi dosis regular (setidaknya 1 gelas penuh setiap hari), tanpa tanda dan gejala yang berkaitan dengan alergi susu sapi. Para bayi menerima formula studi tanpa masalah, dan tidak ada efek samping.
Bisa pula dipertimbangkan administrasi sinbiotik. Studi JULIUS menyelidiki efek sinbiotik (scGOS/lcFOS dengan rasio 9:1 plus B. breve M-16V) terhadap mikrobiota usus bayi, yang dilahirkan melalui bedah seksio. Bayi yang lahir melalui dengan bedah seksio umumnya memiliki kolonisasi Bifidobacteria yang terlambat, dibandingkan bayi yang lahir per vagina. Ditemukan, sinbiotik memiliki efek bifidogenik. Yakni merestorasi kolonisasi Bifidobacteria di usus, dalam hari-hari pertama setelah bayi lahir, dan efeknya bertahan hingga bayi berusia 2 bulan. Insiden yang berkaitan dengan kulit dan dermatitis atopik pun lebih rendah, pada bayi yang mendapat sinbiotik.
Tatalaksana alergi makanan relatif lebih mudah, karena pencetusnya lebih mudah dihindari. “Dan, biasanya, alergi makanan tidak berlangsung selamanya, karena usus bayi perlahan membaik. Makanan yang awalnya menyebabkan alergi, bisa dicoba lagi beberapa bulan kemudian,” tutur dr. Nia. Umumnya, alergi makanan hilang di usia 3 tahun.
Pada kasus alergi susu sapi, perlu perhatian khusus terutama pada bayi yang tidak bisa mendapat ASI (air susu ibu), karena usia 0-6 bulan bayi hanya bisa menerima makanan cair (susu). Pemberian susu yang dimodifikasi dibutuhkan, untuk mencukupi nutrisi bayi. Penambahan prebiotik/probiotik/sinbiotik untuk merestorasi kondisi bakteri usus bayi, bisa dipertimbangkan. Dan pengobatan gejala harus dilakukan secara adekuat. (nid)