Ethicaldigest

Kombinasi Psikoterapi-Farmakoterapi untuk Henti Merokok

Program henti merokok banyak yang gagal, karena tidak menggabungkan nonfarmakoterapi dengan farmakoterapi. NAC potensial membantu pasien yang ingin berhenti merokok.

Berhenti merokok bukan hal mudah. Dr. Agus D Susanto, Sp.P (K), pada KPPIK FKUI 2019 me­nga­ta­kan, “Keputusan berhenti merokok dipengaruhi beberapa faktor seperti adiksi, efek putus rokok (withdrawal effect), motivasi, perilaku, ling­kungan dan faktor sosial. Perlu penanganan menyelu­ruh, mencakup terapi non farmakologis dan farmakologis.”

dr. Tribowo T Ginting S, SpKJ

Motivasi kuat berhenti merokok adalah faktor penting. Motivational Enhancement Therapy (MET) adalah psiko­terapi empatik. “Tujuannya membang­kit­kan motivasi pasien, agar mengubah peri­la­­ku,” kata dr. Tribowo T Ginting S, SpKJ, dari RS Persahabatan, Jakarta. Pada akhir terapi, pasien mampu mengambil keputu­san dan membuat rencana pribadi untuk berubah.

“MET juga bisa digunakan untuk kasus adiksi secara umum,” kata dr. Tribowo. Juga untuk kasus-kasus penya­kit kronis, seperti diabetes dan TBC, yang per­lu motivasi kuat dari pasien untuk sembuh.

Langkah strategisnya adalah menun­juk­kan empati, amplify ambivalence, roll with resistence dan support efficacy. “Un­tuk berkomunikasi baik dengan pasien, kita harus menunjukkan empati. Mencoba me­mahami pasien, menempatkan diri pada po­sisi pasien dan mengerti masalah pasien,” ujarnya.

Kemudian amplify ambivalence, yaitu membuat pasien ragu dengan cara pan­dang­nya. Misal, pasien berfikir bahwa dia ti­dak mengalami masalah kesehatan ka­re­na merokok. Terapis tidak berusaha bera­du argumen. “Kita bantu pasien mengenal kon­se­kuensi dan dampak negatif mero­kok,” kata dr. Tribowo. Akan timbul konflik da­lam diri pasien, muncul ambivalensi, kemudian timbul motivasi untuk mengu­bah diri.

Bisa muncul resistensi dari pasien. Dalam keadaan ini, terapis menggeser persepsi; pasien ditawari cara berfikir dan cara pandang dari sisi lain, tentang merokok. Ketika muncul keinginan pasien untuk berubah, tugas terapis adalah mendukung keyakinan bahwa pasien sanggup mengubah kebiasaan merokok.

Kombinasi psikoterapi-farmakoterapi

Penelitian mencatat, sebagian besar pero­kok yang berusaha berhenti tidak berhasil jika tanpa obat. Dua pertiga kembali merokok dalam 24 jam. Perlu kombinasi terapi farmakologis dan psiko­te­rapi. “Konseling saja tidak dapat me­nga­tasi masalah adiksi terhadap nikotin, dan efek putus rokok,” kata dr. Agus. “Far­ma­koterapi harus diberikan pada perokok yang ingin berhenti, kecuali berkontra­in­di­kasi.”

Terapi farmakologis lini pertama mencakup nicotine replacement therapy (NRT), bupropion dan varencline. Tapi, NRT dan varecline sudah tidak ditemukan di Indonesia. Lini kedua nortryptiline, clonidine dan N-Acetylcystein (NAC).  “N-Acetylcystein adalah modulator glu­ta­mat yang berperan dalam pelepasan dopamin,” kata dr. Agus.

Nikotin melalui kebiasaan merokok, meng­hasilkan adaptasi glutamatergik di area otak yang terlibat. Penghentian niko­tin menurunkan regulasi fungsi reseptor me­ta­botropik glutamat 2/3 (mGluR2/3) da­lam nucleus accumbens shell, VTA, amygdala, prefrontal cortex (PFC), hypothalamus, dan hippocampus.

Paparan jangka panjang terhadap kom­ponen yang menyebabkan ketergan­tungan, menurunkan kadar glutatione. NAC bekerja sebagai prekursor glu­ta­tione. NAC dapat meningkatkan glutati­one ekstraseluler di reseptor mGluR2/3, yang memberi feedback negatif pada pele­pa­san dopamin.

Penelitian ada tikus menunjukkan, pem­berian nikotin menginduksi adaptasi dalam ekspresi transporter glutamat dan pe­nukar sistin-glutamat dalam inti otak yang terlibat. Mengembalikan penukaran sistin-glutamat mempengaruhi jumlah rokok yang diisap. Menambah aktivitas penu­kar dengan NAC, akan mengurangi jumlah rokok yang dihisap pasien.

Penelitian Leanne Schmaal dan rekan membandingkan NAC dengan plasebo. Penelitian menyimpulkan, hasil NAC bisa menjadi pilihan pengobatan baru yang menjanjikan, untuk mencegah ketergan­tungan pada nikotin. Sementara penelitian Prado rekan memperlihatkan penurunan jumlah penggunaan rokok pada kelompok NAC, dibanding plasebo. Sebanyak 47,1% pasien NAC berhenti merokok, dibanding 21,4% pada kelompok plasebo.

Penelitian di Indonesia dilakukan Annisa Dian Harlivasari dan rekan. Partisipan adalah mereka yang masuk dalam program henti merokok di RS Persahabatan; diamati selama 4 minggu. Penelitian ini menunjukkan, pada kelom­pok yang mendapat NAC lebih banyak yang berhasil berhenti merokok (37,7%), diban­ding kelompok plasebo (6,7%). Di minggu pertama 15,6 %, kedua 19,9%, ketiga 22,1% dan keempat 37,7%.

Disimpulkan, untuk mencapai keber­hasi­lan dalam program henti merokok perlu penanganan menyeluruh, menggu­na­­kan nonfarmakoterapi dan farma­ko­terapi. Hasil penelitian ini menunjukkan pe­ran potensial NAC dalam program ber­hen­ti rokok, dengan  cara mengembalikan efek penukaran sistin-glutamat (fungsi mGlu2/3).