Bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif, membutuhkan susu khusus. Pilihannya berbeda pada bayi yang belum terbukti alergi susu sapi, dengan yang telah menunjukkan reaksi alergi.
Pada dasarnya, tatalaksana alergi yakni avoidance atau menghindari pencetus. Namun bukan berarti anak dari orangtua yang alergi, harus menghindari seluruh alergen yang biasa mencetuskan alergi. Ini sering membuat orangtua pusing, apa yang harus diberikan sebagai MPASI (makanan pendamping ASI). “Sepuluh tahun lalu memang kalau ada bakat alergi, meski belum pasti bahwa anak tersebut memiliki alergi, tidak boleh diberi makanan ini itu. Sekarang, pendekatannya bukan ‘jangan’. Bila belum ketahuan alergi, kasih saja semua, sampai muncul reaksi. Kalau sudah ada reaksi alergi, baru dihindari,” papar dr. Nia Kurniati, Sp.A(K) dari FKUI/RSCM, Jakarta.
Anak yang sehat dengan bakat alergi, tapi tidak pernah menunjukkan gejala apapun selama usia 0-6 bulan, tidak perlu dipantang makanannya. “Begitu masuk masa MPASI, beri anak makanan apapun, termasuk susu formula bila diperlukan. Kan belum ada bukti kalau dia alergi,” ujar dr. Nia.
Sedangkan pada anak yang sudah menunjukkan gejala alergi saat usia 0-6 bulan, perlu ada perlakuan khusus. Dokter bersama orangtua, perlu mencatat tiap makanan yang diberikan dan bagaimana reaksinya terhadap si bayi. “Beri bayi makanan apapun yang sebelumnya tidak memunculkan gejala alergi, sampai ketahuan makanan apa yang membuatnya alergi. Itulah yang dihindari,” tegasnya.
Makanan pun bersifat spesifik. Bayi yang alergi terhadap salmon misalnya, tidak lantas harus dihindari dari segala jenis ikan laut lain dan seafood. “Bisa saja dia alergi salmon, tapi tidak terhadap ikan kakap. Salmon saja yang perlu dihindari,” imbuhnya.
Perlakuan khusus bisa dipertimbangkan pada bayi usia 0-6 bulan dengan bakat alergi, yang tidak bisa mendapat ASI eksklusif. Bisa diberi susu formula biasa, karena belum terbukti bahwa bayi alergi susu sapi, bisa pula sejak awal bayi diberi susu formula alternatif. Bila sudah terbukti bayi memiliki alergi susu sapi, harus diberi susu formula khusus.
Susu hidrolisat parsial
Susu hidrolisat parsial (partially hydrolyzed formula) dibuat dari susu sapi, yang sebagian proteinnya dihidrolisis dengan proses enzimatik menjadi partikel yang lebih kecil, sehingga lebih mudah dicerna oleh bayi. Protein (peptida) dengan berat molekul 10-70 kilodalton (kD), berpotensi menjadi alergen. Peptida pada formula hidrolisat parsial sudah dipecah, hingga berat molekulnya <5kD.
Bayi yang tidak bisa mendapat ASI eksklusif, dengan risiko tinggi atopi dan ada riwayat atopi pada orangtua dan saudara sekandung, bisa diberi susu hidrolisat parsial dalam rentang waktu 4-6 bulan. “Jadi protein susunya masih banyak, tidak dihindari 100%. Dengan susu ini, bayi masih minum susu biasa, tapi dimodifikasi,” tutur dr. Nia.
Penelitian oleh Zakiudin Munasir dan Wardhana (Sari Pediatri, 2017) menemukan, susu hidrolisat parsial mencegah timbulnya manifestasi alergi dan dermatitis atopi, hingga satu tahun. Bahkan terjadi penurunan insiden kumulatif dermatitis atopi hingga usia 15 tahun tanpa gejala rebound, berdasarkan obervasi selama 15 tahun.
Susu hidrolisat ekstensif
“Pada bayi yang sudah terbukti alergi susu sapi, baginya perlu dipilihkan susu yang tidak ada kandungan protein susu sapi. Pilihannya yakni susu hidrolisat ekstensif atau formula asam amino,” terang dr. Nia.
Pada susu hidrolisat ekstensif, peptida dipecah menjadi komponen yang lebih kecil lagi daripada hidrolisat parsial, hingga <3 kD. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebutkan, sebagian besar bayi dan anak dengan alergi susu sapi, bisa menoleransi susu hidrolisat aprsial dengan baik.
Studi oleh Estrada-Reyes, dkk (Journal of Investigational Allergology & Clinical Immunology, 2006) meneliti pengaruh dari formula hidrolisat ekstensif terhadap perkembangan bayi dan batita, dan resistansi pada bronkhitis dan dermatitis atopik. Sebanyak 45 bayi dan batita dengan riwayat alergi susu sapi positif, dan sudah dibuktikan melalui uji tusuk kulit, diberi susu hidrolisat ekstensif selama satu tahun. Persentil tinggi badan (TB) dan berat badan (BB) anak diobservasi di awal studi dan setahun kemudian.
Jenis kelamin, pemberian ASI, pemberian susu botol yang lebih awal, konsumsi susu formula khusus, dermatitis atopik, dan bronkhitis tidak berkorelasi dengan BB dan TB anak, saat diagnosis alergi susu sapi maupun saat follow up satu tahun. Tidak ada perbedaan BB dan TB pada anak dengan dermatitis atopik/bronkhitis dengan yang tidak memilikinya, selama periode studi. Disimpulkan bahwa pertumbuhan bayi dan batita, tidak terpengaruh oleh asupan susu hidrolisat ekstensif selama satu tahun. Dermatitis atopik dan bronkhitis tampak tidak menimbulkan dampak merusak, terhadap perkembangan anak.
Formula asam amino
Susu jenis ini mengandung asam amino bebas, yakni bentuk protein yang paling sederhana, sebagai sumber nitrogen. Dengan demikian, tubuh bayi tidak perlu memecah peptida pada susu, melainkan langsung mendapat asam amino.
IDAI menyebut, formula asam amino dianggap sebagai pilihan pertama untuk tatalaksana bayi dengan alergi susu sapi. Susu jenis ini ditengarai sebagai pilihan terbaik, khususnya pada kasus alergi susu sapi berat.
Formula isolat kedelai
“Formula isolat kedelai bukan pilihan pertama untuk bayi di bawah enam bulan. Saya tetap berprinsip, bayi lebih membutuhkan protein hewani daripada protein nabati,” ujar dr. Nia. IDAI pun tidak menyarankan formula isolat kedelai untuk bayi <6 bulan. “Dia atas usia enam bulan dan ada keperluannya, baru diberikan susu ini,” imbuh dr. Nia.
Dalam formula ini, digunakan protein kedelai untuk menggantikan komponen susu sapi. Namun demikian, bisa terjadi reaksi silang antara protein susu sapi dengan protein kedelai. Sehingga, 10-14% bayi dengan alergi susu sapi mengalami reaksi alergi, saat diberi formula isolat kedelai.
Sebagian orangtua lebih menyukai formula isolat kedelai. Alasannya antara lain harga yang lebih terjangkau, dan rasanya lebih enak. Susu hidrolisat ekstensif memang rasanya kurang enak. Pertimbangan lain untuk memberi formula isolat kedelai pada usia 0-6 bulan, misalnya bayi tidak bisa menerima formula jenis lain, atau pertimbangan pola makan vegetarian dalam keluarga.
Masa MPASI
Usia 6-12 bulan, bayi mulai mendapat MPASI. Selama periode ini, susu bisa tetap diberikan. Awalnya rasio susu lebih banyak dan MPASI (makanan padat) lebih sedikit. Seiring berjalannya waktu, perlahan susu dikurangi dan makanan padat makin banyak, hingga usia 1 tahun anak sudah mulai bisa makan makanan keluarga.
“Usia 6-12 bulan itu periode belajar makan. Yang awalnya 100% susu, pelan-pelan dikurangi dan mulai makan makanan padat. Untuk pilihan susunya, teruskan saja susu yang sebelumnya bila bayi cocok,” lanjut dr. Nia. Seperti telah disebutkan, catat makanan yang diberikan dalam MPASI untuk mengetahui, apakah anak alergi atau tidak terhadap makanan tersebut.
Berdasarkan pengalaman dr. Nia, dibuat catatan kapan anak mulai diketahui mengalami alergi susu sapi, dan apa rencana ke depannya. “Tiap perubahan tahapan umur selalu saya cek lagi catatan itu,” ujarnya. Bila anak sebelumnya alergi terhadap makanan tertentu, bisa mulai diperkenalkan lagi setelah beberapa saat.
Seiring waktu, usus bayi makin membaik sehingga alergi makanan, termasuk susu sapi, bisa menghilang. Di usia satu tahun, umumnya alergi makanan sudah banyak berkurang. “Saya ajak orangtua untuk mencoba lagi memberi makanan yang membuat anak alergi. Dengan harapan bahwa anak dan keluarga bisa hidup lebih nyaman. Bila terbukti anak tidak alergi lagi, mereka biasanya mau mencoba,” pungkasnya. (nid)