Ethicaldigest

GERD: Diagnosis, Prinsip Pengobatan dan Target Terapi

GERD, berdasarkan definisi Montreal, adalah suatu kondisi yang terjadi saat refluks lambung menyebabkan gejala dan/atau komplikasi yang mengganggu. Seperti dikatakan dr. Putut Bayu Purnama, Sp.PD-KGEH dari Sub Bagian Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS. Dr. Sardjito, Yogyakarta, “Gejala GERD dibagi dua: gejala esofageal dan gejala ekstraesofageal.”

Gejala esofageal mencakup gejala simtiomatik dan gejala terkait cidera esofageal. Gejala simtomatik, yaitu gejala refluks tipikal dan gejala nyeri dada refluks. Sedangkan gejala terkait cidera esofageal, yaitu esofagitis refluks, strikture refluks, barret esophagus dan adenokarsinoma. Gejala ekstraesogaeal mencakup batuk refluks, laringitis refluks, asma refuks dan erosis dental refluks. Juga bisa berupa faringitis, sinusitis, fibrosis paru idiopatik dan otitis media rekuren.

Menegakkan Diagnosis

Dalam menegakkan diagnosis GERD, presumptive diagnosis dapat ditegakkan pada pasien-pasien dengan gejala tipikal heartburn dan regurgitasi. Pasien dapat diberi terapi empiris dengan PPI. Pada pasien dengan nyeri dada non jantung yang disebabkan GERD, harus dilakukan evaluasi diagnostic sebelum pemberian terapi. Penyebab sakit jantung harus dikesampingnya pada pasien dengan nyeri dada, sebelum dilakukan evaluasi gastrointestinal.

Radiografi barium tidak boleh dilakukan untuk mendiagnosa GERD. Endoskopi bagian atas tidak diperlukan pada pasien dengan gejala GERD tipikal. Endoskopi dianjurkan pada pasien gejala alarm dan untuk skrining pasien, dengan risiko tinggi mengalami komplikasi. Endoskopi berulang tidak diindikasikan pada pasien tanpa barret esophagus, tanpa adanya gejala-gejala baru.

Biopsi secara rutin dari esophagus distal tidak dianjurkan, terutama untuk mendiagnosa GERD. Manometri esofageal dianjurkan untuk evaluasi preoperative, tapi tidak memiliki peran dalam mendiagnos GERD.

Skrining H.pyori tidak dianjurkan pada pasien dengan GERD. Pengobatan H. pylori tidak diperlukan sebagai bagian dari terapi antirefluks.

Tes PPI telah menjadi pemeriksaan diagnostik pertama, yang digunakan pada pasien yang memiliki gejala refluks klasik atau atipikal tanpa keluhan alarming. Gejala-gejalanya biasanya akan merespon terhadap tes PPI dalam 1-2 minggu. Jika gejala-gejala menghilang dengan terapi, dan muncul kembali saat terapi dihentikan, diagnosis GERD ditegakkan.

“Dengan GERD Q, kita bisa mendianosa berdasarkan gejala,” kata dr. Putut. Sebanyak 95% bisa ditangani di pelayanan kesehatan primer. Dokter dapat memberikan terapi empiris. Jika kemudian pengobatan gagal, pasien bisa menjalankan endskopi. Atau jika sejak awal ada gejala alarm, pasien dirujuk menjalani endosopi. Dari endoskopi, 60% pasien mengalami GERD non erosive, 35% esofagitis refluks, dan 5% GER komplikata.

Prinsip pengelolaan GERD

Dr. Putut memaparkan beberapa prinsip dalam penanganan GERD. Dikatakan bahwa penurunan berat badan, dianjurkan pada pasien yang kelebihan berat badan atau mengalami penambahan berat badan. Meninggikan bagian kepala tempat tidur dan menghindari daging 2-3 jam sebelum tidur, dianjurkan bagi pasien dengan GERD nocturnal.

Pemberian PPI selama 8 minggu adalah terapi pilihan untuk mengurangi gejala dan menyembuhkan erosive esofagitis. Tidak ada perbedaan efikasi yang besar antara PPI berbeda. PPI lepas lambat tradisional harus diberikan 30-60 menit sebelum makan, agar dapat maksimal mengendalikan asam. PPI yang lebih baru memiliki fleksibilitas waktu pemberian.

Terapi PPI harus diberikan satu kali sehari, sebelum makan pertama di hari itu. Untuk pasien dengan respon parsial terhadap pemberian PPI satu kali sehari, terapi diberikan secara individu, dengan menyesuaikan dosis pemberian, dan/atau pemberian dua kali sehari harus dipertimbangkan pada pasien dengan gejala di malam hari, jadwal yang bervariasi dan/atau gangguan tidur. Pada pasien dengan respon sebagian terhadap terapi PPI, dosis ditingkakan menjadi dua kali sehari, atau mengganti dengan PPI lain.

Terapi PPI rumatan harus diberikan untuk pasien GERD, yang tetap mengalami gejala setelah PPI dihentikan, dan pada pasien dengan komplikasi, termasuk erosive esofagitis dan barret esophagus. Untuk pasien yang membutuhkan terapi PPI jangka panjang, PPI diberikan dalam dosis terendah yang efektif, termasuk PPI on demand atau intermittent.

Antagonist receptor H2 dapat digunakan sebagai pilihan terapi rumatan, pada pasien tanpa penyakit erosive jika pasien mengalami penguraban gejala heartburn. Terapi H2RA sebelum tidur bisa ditambahkan pada terapi PPI di siang hari, pada pasien tertentu dengan refluks malam hari jika diperlukan.

Target terapi pasien GERD

Target dalam pengelolaan GERD adalah menghilangkan gejala-gejala terkait GERD, menyembuhkan esophagus refluks, mempertahankan remisi endoskopi dan simptomatis, mengobati atau mencegah komplikasi. Untuk mencapai perbaikan signfikan pada kualitas hidup pasien, mengendalikan sekresi asam adalah cara paling efektif untuk mencapai target pengobatan.

PPI dalam pengobatan GERD

Ada hubungan antara penyembuhan esofagitis, dengan lamanya pengendalian asam sampai pH<4. Karena pH<4 dibutuhkan untuk menurunkan aktivitas pepsin. Bisa dilihat dari penelitian Chiba  dan kawan-kawan, bagaimana obat penekan asam, seperti H2 reseptor antagonist dan PPI dapat menyembuhkan esofagitis. Prosentase kesembuhan meningkat, seiring dengan lamanya penggunaan obat-obatan ini.

Ada enam penelitian kontrol acak, yang membandingkan lima PPI. Hal paling penting dari penelitian-penelitian ini, penggunaan PPI sangat efektif menyembuhkan erupsi esophagus dalam 8 minggu, dengan tingkat kesembuhan bervariasi, antara 84,2% sampai 95,5%. Ada satu obat yang memiliki efektifitas yang lebih baik dari lainnya, yaitu esomeprazole dengan angka kesembuhan 92,6% sampai 95,5%.

Refraktori GERD

Walau pun PPI efektif untuk menekan asam, sekitar 15% pasien dengan penyakit erosif esophageal masih melaporkan keluhan, meski ketika dilakukan endoskopi terlihat adanya kesembuhan. Hanya 58% pasien dengan PPI yang puas dengan pengobatan. Untuk kasus ini, perlu dipertimbangkan kembali diagnose penyakit, mengoptimalkan kontrol keasaman, periksa kepatuhan dosis pengobatan, mengganti PPI, menambah frekuensi pemberian PPI menjadi dua kali sehari dan meningkatkan dosis PPI, serta menambahkan H2 receptor antagonist sebelum tidur.