Jantung koroner merupakan penyakit jantung yang paling sering ditemukan pada lansia. Studi populasi (Kennedy, dkk) menemukan pada 20% pria dan 12% wanita berusia >65 tahun. Tata laksananya?
WHO (1995) mencatat, morbiditas kardiovaskular di Amerika Serikat 32% terjadi pada usia lanjut, dan 32% dari 3,4 juta hospital discharge adalah penderita penyakit jantung koroner (PJK). PJK merupakan manifestasi umum dari keadaan pembuluh darah yang mengalami aterosklerosis. Stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofi dan kelainan arteri koronaria congenital, juga dapat menyebabkan PJK.
Dr. Johan Winata, SpJP (K), FIHA, dari RS Pondok Indah-Puri Indah menyatakan, perlemakan pembuluh darah – sebagai cikal bakal aterosklerosis – sudah mulai timbul pada decade pertama kehidupan, dan terus bertambah seiring usia. Kecepatan progresivitas perlemakan pembuluh darah dipengaruhi banyak faktor, seperti hipertensi, dislipidemia, kadar glukosa, inaktivitas, merokok, dll. Pada pria, progresivitas perlemakan lebih cepat di usia > 40 tahun.
Wanita mengalami PJK atau infark miokard satu dekake lebih lambat daripada pria. “Wanita sampai usia 50 tahun risiko PJK baru mulai meningkat. Kecuali ia yang memiliki faktor risiko lain seperti diabetes atau hipertensi, risiko menderita PJK di usia <50 tahun,” katanya.
Menurut pre-test probability of coronary artery disease (CAD) pria usia 60-69 tahun memiliki kemungkinan typical angina, atypical angina dan non-anginal pain berturut-turut sebesar 84, 59 dan 44. Pada usia 70-79 tahun berturut-turut memiliki nilai 89, 69 dan 54. Usia >80 tahun adalah 93, 78 dan 65. Sementara kemungkinan wanita usia 60-69 tahun mengalami typical angina, atypical angina dan non-anginal pain adalah 58, 28 dan 24. Wanita usia 70-79 tahun risiko menjadi 68, 37 dan 24, dan wanita >80 tahun probabilitasnya 76, 47 dan 32.
Secara umum, gejala nyeri dada pada penyakit jantung koroner timbul di area belakang tulang dada sebelah ke kiri, “Menjalar ke lengan kiri, menembus ke belakang, atau menjalar ke leher. Sensasi nyeri bermacam-macam. Ada yang seperti ditusuk, ditimpa benda berat, terbakar, atau diremas-remas. Terjadi pada 70% kasus PJK,” terang dr. Johan.
Nyeri dada karena penyempitan pembuluh koroner, biasanya timbul saat pasien melakukan aktivitas fisik. Membaik jika pasien beristirahat. Nyeri dada akibat sindroma koroner akut (SKA) atau serangan jantung, ditandai nyeri hebat, keringat dingin, disertai mual muntah, pucat. “Nyeri serangan jantung sifatnya persisten, tidak membaik walau beristirahat. Bisa timbul saat aktivitas fisik atau istirahat,” tambah dr. Johan.
SKA merupakan spektrum perjalanan aterosklerosis pada penyakit jantung koroner. SKA menjadi kegawatan jantung dengan mortalitas yang cukup tinggi. SKA terjadi karena terbentuk trombosis akut pada plak yang tidak stabil, yang mengalami erosi, fisur atau rupture.
Proses inflamasi merupakan faktor penting pada proses destabilisasi fibrous cap. Terjadi peningkatan sitokin proinflamasi TNF alfa, interleukin-6, interleukin-10, vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1), dan intercellulare adhesion molecule-1 (ICAM-1), serta reaktan fase akut high-sensitivity C-reactive protein (hs-CRP). Akibat terbentuk trombus akut pada pembuluh darah koroner, dapat terjadi penyumbatan total dan subtotal.
Hipoadiponektin berhubungan dengan risiko kardiovaskuler, dan progresivitas aterosklerosis. Adiponektin merupakan adipositokin anti inflamasi, yang memberi proteksi pada proses inflamasi. Studi oleh Nenfiati, dkk dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, Jakarta, menunjukkan adanya hubungan bermakna antara konsentrasi adiponektin dengan luas lesi koroner yang dinilai melalui sistem skoring menurut vessel score, stenosis score, extent score dan gensini score (p<0,001). Rerata konsentrasi adiponektin pasien SKA dalam studi tersebut adalah 3,1 ± 1,0 µg/mL.
Silent ischemia
Angina pektoris pada lansia biasanya disertai rasa nyeri derajat lebih ringan, dibanding usia menengah. Sebanyak 80% lansia dengan coronary artery disease, melaporkan adanya serangan angina. Dari seluruh peristiwa iskemia, hanya 15% angina pektoris bermanifestasi sebagai segment ST yang terdepresi pada pemeriksaan EKG. Banyak pasien tidak mengalami gejala khas angina pektoris, melainkan hanya mengeluh sulit bernapas (shortness of breath); disebut silent myocardial ischaemia (SMI).
Prevalensi lansia mengalami SMI, lebih tinggi dari penderita muda. Hal ini disebabkan adanya gangguan persepsi rasa sakit. Framingham Heart Study mencatat, 25% penderita dengan SMI terutama pada lanjut usia. SMI dilaporkan terdapat 85-90% pada episode iskemia miokardium.
Infark miokard akut (IMA) pada lansia, juga cenderung memberikan keluhan yang tidak khas. Manifestasi paling sering seperti kebingungan akut, episode sinkope, hemiplegia, oklusi embolik, gagal ginjal, muntah dan kelemahan hebat. Studi Rodstein, dkk menemukan, hanya 29% kasus miokard dengan klinis khas, 40% atopis dan 31% sama sekali silent.
Studi oleh Boedhi-Darmojo (1992) menyatakan, ada perbedaan bermakna antara penderita infark miokard lansia (>60 tahun) dan pasien <50 tahun. Pada lansia lebih sering ditemukan silent painless infraction, kardiomegali, gagal jantung kongestif, serta mortalitas yang lebih tinggi.
Faktor risiko
Usia bertambah, pengaruh dislipidemia, intoleransi glukosa dan fibrinogen sebagai faktor risiko berkurang. Namun, kelebihan berat badan dan obesitas memperparah kondisi aterosklerosis, dan kurang aktivitas fisik merupakan faktor risiko PJK di semua kelompok umur.
Tekanan darah sistolik dan hipertensi sistolik terisolasi merupakan faktor risiko yang penting pada lansia. Hipertrofi ventrikel kiri merupakan faktor risiko, pada semua kelompok usia. Prevalensi hipertrofi ventrikel kiri meningkat seiring pertambahan usia, berat badan dan tekanan darah.
Penelitian MONICA-WHO di 9 desa Jawa Tengah dengan jumlah responden 1714 orang, membandingkan risiko kardiovaskuler pada populasi 25-54 tahun dan 55-64 tahun. Terlihat bahwa rerata tekanan darah sistolik kelompok 55-64 tahun lebih tinggi dari 25-54 tahun, yakni 125,79 ± 23,36 mmHg dibanding 116,51 ± 18,30 mmHg. Juga rerata kadar glukosa darah, secara bermakna lebih tinggi pada kelompok yang lebih tua; casual plasma glucose 100,66 ± 51,55 mg% dibanding 91,36 ± 58,25 mg%. Prevalensi hipertensi, bekas perokok, rerata indeks massa tubuh (IMT), secara bermakna juga lebih tinggi pada kelompok usia tua.
Penelitian Worcester Heart Attact Study (Golderg, dkk 1998) menunjukkan, penderita lansia lebih banyak mengalami infark miokard non-Q atau Non-ST elevation myocardial infarction (NSTEMI), lebih banyak gagal jantung serta syok kardiogenik.
Tatalaksana
Pengobatan medikamentosa infark miokard pada lansia, tidak beda dengan orang muda, kecuali pemberian trombolitik dan b bloker masih menjadi perdebatan. Adanya hubungan antara penambahan usia dengan peningkatan risiko perdarahan intrakarnial, membuat pemberian trombolitik perlu ekstra hati-hati.
Bila semua kontraindikasi (kelainan koagulasi, ulkus peptikum, riwayat stroke atau hipertensi) tidak ada, atau bila rasio untung/rugi pemberian trombolitik lebih menguntungkan, obat trombolitik bisa diberikan. Manfaat maksimum terapi bila pengobatan dimulai <3 jam pertama; menurunkan risiko mortalitas >50%. Empat macam trombolitik yang sudah dievaluasi antara lain streptokinase, alteplase, reteplase dan anistreplase.
Obat b bloker, menurut Marcus dkk, menguntungkan pasien infark miokard lansia, terutama mereka dengan komplikasi mekanik dan elektrik. Obat-obatan b bloker mengurangi durasi nyeri iskemik dan insiden fibrilasi ventrikel. Nitorgliserin dipakai untuk nyeri iskemi berulang, juga bermanfaat untuk penyembuhan kongesti pulmoner. ACE Inhibitor memberi manfaat terbesar pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah, infark luas atau adanya gagal jantung klinis. Sedangkan pada golongan penghambat kalsium, hanya verapamil dan diltiazepam yang efektif mencegah infark dan iskemia berulang. Baik pula untuk infark miokard non-Q.
“Pemberian aspirin menjadi main stay therapy di luar negeri. Sambil menunggu ambulance datang, pasien dianjurkan mengonsumsi aspirin 160mg di rumah,” papar dr. Johan.” Atau jika dia masih baik-baik saja, bisa ditambah cedocard.”
Goodman dan Armstrong (1994) menegaskan, pengelolaan infark miokard usia lanjut didasarkan atas pengalaman pada usia pertengahan. Riwayat alamiah infark miokard pada usia lanjut menunjukkan, secara signifikan lebih buruk dari usia muda dengan komplikasi lebih banyak di rumah sakit dan mortalitas lebih tinggi. Pengobatan trombolitik bukan kontra indikasi pada populasi usia lanjut. Meski pada lansia komplikasi lebih banyak, pemberian trombolitik tetap menguntungkan. (jie)