Ethicaldigest

Probiotik Mereduksi Sindrom Metabolik

Sindrom metabolik berkaitan erat dengan pola makan. Suplementasi probiotik dapat memberikan efek positif.

Sindrom metabolik (SM) menjadi masalah besar di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. SM meru­pa­kan sekelompok faktor risiko bagi seseorang terhadap penyakit kardiovaskular, diabetes dan stroke. Berdasar American Heart Association (AHA), SM didiagnosis bila seseorang memiliki 3 dari 5 kondisi berikut ini: gula darah puasa >100 mg/dL (atau mendapat obat penurun gula darah), tekanan darah >130/85 mm Hg (atau mendapat obat untuk hipertensi), trigliserida >150 mg/dL (atau mendapat obat untuk menurunkan trigliserida), kolesterol “baik” HDL <40 mg/dL pada laki-laki atau <50 mg/dL pada perempuan (atau mendapat obat untuk mengatasi HDL yang rendah), lingkar pinggang  >90 cm (laki-laki) atau >80 cm (perempuan).

Dalam konsensus IDF (International Diabetes Federation) diperkirakan bahwa sekitar 20-25% populasi dewasa di dunia mengalami SM. Kemungkinan mereka meninggal akibat stroke mencapai 2x lipat dan 3x mengalami serangan jantung atau stroke, dibanding mereka yang tanpa SM. Risiko diabetes mellitus tipe 2 (DM 2) meningkat berkali lipat, dibanding mereka yang tidak memiliki risiko kardiometabolik.

Perubahan gaya hidup menjadi seden­ter, pola makan tinggi lemak, kalori, gula dan garam, merupakan dua faktor utama dalam timbulnya SM. Selain itu, ditemukan adanya hubungan antara komposisi mikrobiota usus dan penyakit metabolik seperti obesitas, diabetes. Tampak bahwa obesitas dapat menye­babkan perubahan komposisi mikrobiota usus, demikian pula sebaliknya. Ketidak seimbangan mikrobio­ta usus, berkaitan dengan kerentanan ter­hadap berbagai kelainan, termasuk obe­sitas dan resistensi insulin. Ditengarai, mikrobiota usus turut meregulasi berbagai aspek dalam imunitasi tubuh, melindungi pejamu dari serangan patogen dan infla­masi kronik.

Ditemukannya hubungan antara mikrobiota usus dengan SM, memun­cul­kan pemikiran untuk mengeksplorasi manfaat probiotik sebagai bioterapeutik yang potensial dalam tata laksana bebe­ra­pa kelainan metabolik. Rashmi H. Mallappa, dkk (2012) dalam studinya menyebutkan, perkembangan strategi diet seperti merancang produk makanan de­ngan probiotik dan prebiotik yang me­mo­dulasi SM, akan menjadi pendekatan yang cost effective, tanpa kekhawatiran akan efek sampingnya terhadap kesehatan. Pro­biotik dianggap sebagai pangan fung­sional yang kuat.

Strategi diet berdasarkan formulasi pro­biotik dan prebiotik, diduga memiliki me­kanisme yang unik. Ini akan memper­baiki keseimbangan mikrobiota usus, yang berkesinambungan dengan produksi conju­gated linoleic acid (CLA), penu­run­an asupan makanan, berkurangnya adipo­sitas abdomen dan kolesterol total, tu­run­nya peradangan, disertai perbaikan pa­da integritas usus, dalam kaitannya de­ngan SM. Berbagai studi memberikan buk­ti ilmiah yang kuat, untuk menggunakan formulasi probiotik dan prebiotik sebagai strategi diet untuk tata laksana SM.

Perbaikan tensi hingga gula darah

Cukup banyak studi yang meneliti dan mengulas manfaat probiotik untuk mengatasi/menurunkan risiko hipertensi. Antara lain studi oleh Saman Khalesi, dkk (2014). Ini ulasan sistematik terhadap 9 studi, me­ngenai konsumsi probiotik dan perbaik­an tekanan darah. Tampak bahwa konsum­si probiotik, secara signifikan menurunkan tekanan darah sistolik sebesar -3,56 mm Hg dan diastolik -2,38 mm Hg, dibanding ke­lompok kontrol. Penurunan sistolik mau­pun diastolik lebih besar bila meng­gu­nakan multi spesies, ketimbang satu spesies probiotik saja. Yang menarik, perbaikan diastolik lebih signifikan pada tekanan darah saat mula >130/85 mm Hg, dibandingkan yang <130/85 mm Hg; menunjukkan bahwa manfaatnya lebih bermakna bila tekanan darah lebih tinggi.

Aoyagi Y, dkk (2016) menemukan, kon­sumsi rutin susu fermentasi yang me­ngandung L. casei Shirota strain menu­run­kan risiko hipertensi pada kelompok geriatri. Studi ini berlangsung selama 5 tahun, dengan 352 partisipan usia 65 – 93 tahun. Mereka dibagi menjadi dua kelom­pok berdasarkan konsumsi susu fermen­tasi, apakah <3 kali seminggu atau >3 kali seminggu. Ditemukan, insiden hipertensi se­lama interval 5 tahun, secara signifikan le­bih rendah pada kelompok yang me­ngon­sumsi susu fermentasi >3x seminggu.

Manfaat probiotik terhadap kadar kolesterol, antara lain dibuktikan oleh studi yang dilakukan Ari Yuniastuti (2004) pada tesisnya di Universitas Diponegoro, Semarang. Sebanyak 28 tikus wistar jantan usia 15 minggu yang hiperkolesterolemia, secara acak dibagi menjadi 4 kelompok. Yakni kelompok kontrol tanpa diberi susu fermentasi L. casei Shirota strain, kelom­pok I dengan susu fermentasi dosis 2 ml/ekor, kelompok II dengan susu fermentasi dosis 2,25 ml/ekor, dan kelompok III de­ngan susu fermentasi dosis 2,5 ml/ekor. Susu fermentasi diberikan selama 14 hari, se­telah itu sampel darah tikus diambil un­tuk analisis kolesterol. Untuk menilai serum kolesterol, digunakan metode enzimatik.

Hasilnya, pemberian susu fermentasi pada kelompok perlakuan, secara signifi­kan mampu menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, serta mening­katkan HDL. Penurunan trigliserida yang paling signifikan terjadi pada kelompok III.

Ulasan yang dibuat oleh Lay-Gaik Ooi dan Min-Tze Liong (2010) mengenai efek probiotik dan prebiotik terhadap penurun­an kolesterol pada temuan in vivo dan in vitro menyebutkan, efek positif  hipo­ko­les­­terolemik pada studi binatang menun­juk­kan potensi yang serupa pada manusia.

Mekanisme penurunan konsentrasi kolesterol dari probiotik dan prebiotik, an­tara lain dijabarkan oleh Pereira DI dan Gibson GR (2002). Dalam studinya, mereka menulis bahwa bakteri probiotik memfer­men­tasi karbohidrat untuk memproduksi asam lemak rantai pendek di usus. Selanjutnya dapat menurunkan kadar sistemik lipid darah, dengan menghambat sintesis kolesterol hepatik dan/atau redistribusi kolesterol dari plasma ke liver. Beberapa jenis bakteri bisa menghalangi absorpsi kolesterol dari usus, dengan mendekonjugasikan garam empedu. Dengan demikian, metabolisme kolesterol terpengaruh. Bisa pula mengasimilasi kolesterol secara langsung.

Adapun studi oleh Golgis Karimi, dkk (2015) memperlihatkan efek antiobesitas dari L. casei Shirota strain vs. Orlistat pada ti­kus. Sebanyak 32 tikus jantan dibagi da­lam 4 kelompok: kelompok dengan diet stan­dar, kelompok yang diberi makan diet ting­gi lemak (high-fat diet/HFD), kelom­pok HFD yang diberi suplementasi L. casei Shirota strain, dan kelompok HFD yang diobati dengan Orlistat. Berat organ, berat badan, massa lemak tubuh dan bio­marker serologis dinilai setelah 15 minggu.

Hasilnya menunjukkan bahwa berat badan, indeks massa tubuh, massa lemak, kadar leptin dan glukosa lebih rendah, serta kadar HDL dan adiponektin lebih tinggi pada kelompok HFD – L. casei Shirota strain dan HFD – Orlistat, ketim­bang kelompok HFD. Perbedaan massa lemak tubuh yang signifikan, tampak pada kelompok HFD – L. casei Shirota strain (19.19±5.76 g) vs. kelompok HFD – Orlistat (30.19±7.98 g). Disimpulkan, suplementasi L. casei Shirota strain memperbaiki tata laksana berat badan dan kadar beberapa biomarker terkait. Suplementasi L. casei Shirota strain juga menunjukkan hasil yang lebih baik pada reduksi alanine aminotransferase dan massa lemak diban­dingkan Orlistat.

Suplementasi probiotik tampak men­janji­kan untuk mencegah resistensi insulin pada manusia, melalui studi yang dila­ku­kan Hulston CJ, dkk (2015). Sebanyak 17 subjek sehat secara acak dibagi men­ja­di kelompok probiotik (n=8) atau plasebo (n=9). Selama 4 minggu, kelompok probio­tik mengonsumsi susu fermentasi dengan kandungan L. casei Shirota strain 2x sehari, dan kelompok kontrol tidak men­dapat suplementasi apa-apa.

Pada 3 minggu pertama studi, subjek menjalankan pola makan mereka yang biasa. Setelah itu, selama 7 hari mereka mengonsumsi makanan tinggi lemak (65% energi) dan tinggi energi (50% pening­katan asupan energi). Sensitivitas insulin seluruh tubuh dinilai dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO), yang dilakukan sebelum dan sesudah overfeeding.

Hasilnya, massa tubuh meningkat 0,6 kg pada kelompok kontrol, dan hanya 0,3 kg pada kelompok probiotik. Nilai glukosa AUC (area under the curve) meningkat 10% dan sensitivitas insulin seluruh tu­buh turun 27% pada kelompok kontrol. Pa­da kelompok probiotik sensitivitas insu­lin normal berhasil dipertahankan, se­be­lum dan sesudah periode overeating. Di­sim­pulkan, suplementasi probiotik ber­gu­na untuk mencegah penyakit metabolik yang disebabkan pola makan, seperti DM 2.

Memerangi SM,harus diawali dengan perbaikan pola makan. Selain memikirkan kandungan gula, kalori dan lemak, juga dampaknya terhadap mikrobiota usus. Te­muan efek positif terhadap berbagai kon­disi metabolik, memberi alternatif stra­tegi diet untuk menurunkan risiko SM. (nid)