Ethicaldigest

Terapi Medis DE

Penderita disfungsi ereksi perlu mendapat terapi dan perawatan medis. Mulai perubahan gaya hidup sampai vacuum.

Hasil studi Humphery S (2001) menyebutkan, ada hambatan interaksi antara dokter dan pasien dalam masalah dis­fung­si ereksi. DE masalah sensitif. Hambatan dokter – pasien bisa karena beda jenis kelamin (pria – wanita), beda kebudayaan, dan rasa malu baik pada pasien atau dokter.

Banyak faktor penyebab disfungsi ereksi: penyakit kronis, kondisi fisik dan psikologi, gaya hidup, defisiensi androgen/kadar testosteron. Bila dibiarkan, prognosis pasien DE bisa semakin buruk. Journal  of Clinical Endocrinology & Metabolism (2007) mencatat, pada pria usia 30-79 tahun didapati 24% kadar testosteron di bawah 300 ng/dL dan 5,6% menga­la­mi gejala defisiensi androgen.

Menurut panduan tatalaksana DE dari Asosiasi Urologi Eropa (European Association of Urology), diagnosa di­mulai dengan mengetahui catatan me­dis dan riwayat psikoseksual pa­sien, misalnya apakah memiliki ke­lain­an seks, dll. Pemeriksaan fisik meni­tik­beratkan pada deformitas penis, pe­nyakit prostat, tanda-tanda hipogo­na­disme, serta status kardiovaskular dan neurologis. Dilengkapi pemerik­sa­an laboratorium meliputi profil glu­kosa dan lipid pada 12 bulan terakhir, dan to­tal testosteron jika menunjukkan gejala.

Terapi pertama: gaya hidup

DE berhubungan dengan gaya hidup merokok, konsumsi alkohol, sen­dentari, obesitas abdominal, sindrom metabolik, diabetes, hipertensi dan pe­nurunan antioksidan; semuanya me­ngu­­rangi ketersediaan NO (nitric oxide), yang adalah kunci untuk ke­sehatan vaskular.

Perubahan gaya hidup dianggap sebagai terapi lini pertama DE. Akti­vi­tas fisik teratur dan/atau pengaturan be­rat badan melalui kontrol diet signi­fikan, meningkatkan fungsi ereksi dan menurunkan risiko kejadian kar­dio­vaskular. “Penelitian menyatakan, efek tersebut dapat terlihat dalam 8 minggu setelah inisiasi perubahan pola hidup dan mampu meningkatkan efikasi pengobatan (PDE5 inhibitor),” terang dr. Nugroho Setiawan, SpAnd., dari RSUP Fatmawati, Jakarta.

Khoo J, et al., dalam International Journal of Obesity (2010), melakukan percobaan acak terkontrol (RCT) pada pria obesitas abdominal (rerata usia 49,7 tahun, BMI < 30 kg/m², lingkar pinggang > 102 cm), dengan atau tanpa diet rendah kalori, atau menderita DM2 yang telah diterapi dengan oral hypoglycaemic agent.

 “Pada pria dengan atau tanpa diabetes, setelah 8 minggu penurunan 10% berat badan berhubungan dengan perbaikan sensitivitas insulin, plasma testosteron, indeks fungsi ereksi (IIEF-5), dorongan seksual (SDI), nilai IPSS ((international prostate symptom score), serta lingkar pinggang,” kata dr. Nugroho.

La Vignera S, Condorelli R, dkk., mengevaluasi aktivitas aerobik (150 menit per minggu), pada kualitas DE pasien paruh baya. Setelah 3 bulan, dibandingkan dengan kelompok kon­trol, pasien intervensi memiliki per­baik­an fungsi ereksi (IIEF-5) yang signifikan. Ini terkait dengan pengu­ra­ngan apoptosis sel endotel progenitor (EPC) yang bersirkulasi.

Dalam riset label terbuka acak, 60 pasien DE secara acak menerima phosphodiesterase type 5 inhibitor (PDE5i) saja, atau PDE5i ditambah latihan aerobik (>3 jam/ minggu). Setelah 3 bulan, perbaikan IIEF terjadi pada 77,8% (kelompok intervensi), dibandingkan 39,3% (kontrol). Aktivi­tas fisik adalah satu-satunya variabel independen untuk ereksi normal, dan kepuasan seksual yang lebih tinggi.

“Ini menunjukkan bahwa perubah­an gaya hidup, secara signifikan me­ning­katkan manfaat medis terapi DE,” tutur dr. Nugroho. 

Terapi PDE5 inhibitor

“Terapi medis lini pertama antara lain PDE5 inhibitor seperti sildenafil, tadalafil dan verdenafil, juga vacuum erection devices,” tambah dr. Nugro­ho. Injeksi intracavernous dan penile implant surgery tergolong, terapi lini kedua dan ketiga.

PDE5i dinyatakan sebagai terapi untuk gangguan disfungsi ereksi sejak 1998. Bekerja dengan cara mening­kat­kan efek NO di penis. Secara khu­sus, Terapi ini menghadang hidrolisis siklus guanosin monofosfat menjadi guanosin 5-monofosfat, sehingga me­ningkatkan relaksasi otot polos yang dimediasi oleh NO, meningkatkan alir­an darah ke penis dan memfasilitasi ereksi.

Untuk pasien DE dengan diabetes, PDE5i juga terbukti efektif. Boulton et al., memberikan sildenafi l kepada 219 pasien DE yang menderita DM2, selama 12 minggu. Sildenafil signifikan meningkatkan kemampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi, pada pria DE dengan DM2.

Sayangnya pada pasien DE sete­lah melakukan prostatectomy radikal (RP), PDE5i menunjukkan respon tidak terlalu baik. Walau begitu, PDE5 inhibitor merupakan terapi lini pertama pada mereka yang menjalani bedah nerve-sparing (NS), terlepas dari teknik operasi yang digunakan. Rerata respon pasien RP yang mendapat terapi sildenafil, berbeda dalam bebe­rapa studi, antara 35 – 75% (menggu­nakan NSRP), dan 0-15% pada pasien yang tidak dilakukan NSRP. Namun Journal of Urology (2004) men­catat, terapi sildenafil dosis tinggi segera setelah RP, mampu memper­ta­hankan kemampuan otot halus corpora cavernosa. Pembe­rian sildenafil ha­rian, juga mengem­balikan fungsi erek­si normal spontan setelah RP, dibanding pasien yang menjalani NSRP bilateral.

Tadalafil dan vardenafil

Dibanding sildenafil, tadalafil me­mi­liki efek lebih lama. Tadalafil ter­daftar sebagai pengobatan impo­ten­si pada Februari 2003. Efektif 30 menit setelah pemberian, dengan puncak efikasi setelah 2 jam. Efek tadalafil bertahan hingga 36 jam dan tidak terpengaruh oleh makanan. Menurut European Association of Urology, tada­lafil diberikan dalam dosis 10-20 mg, atau dalam dosis alternatif 5 mg/hari. Dosis awal 10 mg dan disesuai­kan dengan respons pasien dan efek sampingnya. 

Pada penelitian pre-marketing, setelah 12 minggu perawatan, per­baik­an kemampuan ereksi dilaporkan hingga 67%, dan 81% pada populasi umum impotensi yang mendapatkan ta­dalafil 10mg dan 20 mg, dibanding 35% pada kelompok plasebo. Efikasi terkonfirmasi pada studi post-marketing yang dilakukan oleh Curran M, et al., di mana terbukti efektif pada ham­pir semua subgrup pasien DE, terma­suk pasien DE berat akibat diabetes. 

Studi multicenter di Eropa dan Amerika Serikat mencatat, fungsi ereksi membaik pada 71% pasien yang melakukan bedah NS bilateral setelah mendapat tadalafil 20 mg, dengan rerata keberhasilan melakukan hubungan seks hingga 52%.

Vardenafil  juga disetujui sebagai pengobatan impotensi pada 2003. Sama seperti tadalafil, obat ini efektif sejak 30 menit pemberian. Efeknya berkurang oleh konsumsi makanan berlemak (lemak >57%). Dosis yang direkomen­dasikan 5 mg, 10 mg dan 20 mg. For­mu­lasi dalam bentuk tablet orodis­per­sible memberi kenyamanan lebih baik, karena penyerapanya tidak dipengaruhi makanan dan menunjuk­kan bioavai­libi­litas  lebih baik diban­ding tablet lapis film.

Yang perlu diperhatikan, PDE5i kotraindikasi dengan nitrat. Journal of Urology (2004) mencatat, ketika PDE5i diberikan bersama nitrat, me­micu vasodilatasi sistemik dan berpo­tensi menyebabkan hipotensi berat.

David F Mobley dari Department of Urology Weiil-Cornell Medicine, Houston, Texas, Amerika Serikat, menyarankan saat meresepkan obat ini penting untuk memberi pemahaman pada pasien bahwa obat tidak membe­ri ­reaksi ereksi secara spontan. Dan bah­wa ereksi tidak terjadi tanpa dida­hu­lui stimulasi. Bila PDE5i tidak be­kerja, pasien bisa mencoba terapi lain. 

“Yang perlu dicatat, terapi herbal tidak termasuk dalam guidelines pera­watan DE menurut European Association of Urology (EAU),” tutur dr. Nugroho. 

Terapi vacuum

Selain PDE5i, terapi yang dinyata­kan aman adalah vacuum erection device (VED). Tabung dari plastik dima­sukkan di atas penis, kemudian diken­cangkan pada perut bagian ba­wah (pangkal penis), untuk mencip­takan ruang hampa udara di dalam ta­bung. Ini akan mengarahkan darah ke penis, dan terjadi ereksi. Namun, erek­si melebihi 30 menit tidak dianjurkan.

Dalam penelitian tunggal pada 44 pasien diabetes yang memakai VED sebagai terapi DE, dilaporkan mereka mampu mencapai tingkat ereksi yang cukup untuk melakukan hubungan intim. Riset yang dimuat di jurnal Diabetic Medicine 1991 ini menyatakan, 75% partisipan menyatakan mampu melaku­kan hubungan seks yang memuaskan. 

Terapi lain adalah injeksi alpros­tadil, intracarvenosal atau intrauretral. Alprostadil intracavernosal menjadi monoterapi yang efektif, jika diberikan dalam dosis 5-40µg. Respon biasanya terjadi dalam 10-15 menit setelah injeksi, dan tidak perlu stimulasi.

Terapi pengganti testosteron

Defisiensi testosteron berperan me­nyebabkan impotensi. Hormon androgen berperan penting untuk memper­ta­hankan fungsi ereksi. Berkurangnya an­drogen terbukti menyebabkan gang­guan pelepasan sintesa NO, peru­bah­an ekspresi PDE5, gangguan fungsi sa­raf cavernosal dan berkontribusi ter­hadap penyakit veno-oklusif di penis.

Testosterone replacement the­rapy (TRT) mampu meningkatkan efikasi PDE5i pada pria hipogo­na­disme. Pene­litian Yassin AA dan Saad F (Jounal of Andrology, 2008) menya­ta­kan, TRT pa­da pria hipogonadisme mampu mening­katkan ereksi bahkan tanpa PDE5i.

Bassil dkk., menyatakan ada man­faat dan risiko TRT. Manfaatnya an­tara lain meningkatkan fungsi seksual, densitas tulang, kekuatan otot, fungsi kognitif dan kualitas hidup pasien secara umum. Di lain sisi meningkat­kan risiko eritrositosis, toksisiti hati, per­burukan sleep apnea dan pem­beng­kakan prostat (BPH).

Eritrositosis pada terapi TRT, perlu pengawasan tiap 6-12 bulan; tergan­tung respon terhadap perubahan kadar hematokrit. Pada peningkatan ringan, dosis testosteron dapat dikurangi atau interval penggunaan obat ditingkatkan. Jika kadar hematokrit >50%, peng­hen­tian sementara pengobatan atau fle­botomi berkala bisa diindikasikan. (jie)