Disfungsi ereksi, menurut penelitian, dapat dipicu oleh banyak hal. Karena penyakit, masalah psikis dan juga genetik.
Disfungsi ereksi (DE) merupakan gangguan seksual yang paling banyak dikeluhkan, setelah ejakulasi dini, pada pria kelompok usia 40-80 tahun. Begitu tertulis dalam Sexual Behaviour and Dysfunction and Help-Seeking in Adults Ages 40-80 Years in the Urban Population of Asian Countries, yang dimuat British Journal of Uro-logy (2005). Sementara itu, riset the Global Study of Sexual Atudes and Behaviors (GSSAB) di 29 negara, termasuk Indonesia, menyebutkan jumlah penderita DE terbesar ada di Asia Tenggara (28,1%), diikuti Asia Timur (27,1%) dan Eropa Utara (13,3%).
Disfungsi ereksi atau impotensi merupakan ketidakmampuan mencapai dan/atau mempertahankan ereksi penis, untuk melakukan hubungan seksual yang memuaskan. Menurut dr. Heru H. Oentoeng, M.Repro, SpAnd, FIAS, FECSM., dari Siloam Hospital Kebon Jeruk, Jakarta, seseorang disebut mengalami disfungsi ereksi jika gagal melakukan hubungan seksual yang memuaskan dalam waktu tiga bulan secara terus menerus.
“Kalau masalahnya terjadi karena situasional, misalnya akibat kelelahan pulang kerja, mengalami kemacetan lalu lintas yang parah, saat berhubungan dengan istri tidak bisa keras, bukan termasuk disfungsi ereksi. Namun, jika kondisi ini berlangsung terus-menerus dalam periode 3 bulan bisa dikategorikan sebagai disfungsi ereksi ringan,” terang dr. Heru.
Impotensi diukur berdasarkan derajat kekerasan penis saat ereksi, menggunakan metode Erection Hardness Score (EHS). EHS pertama kali diperkenalkan dalam pertemuan tahunan European Association of Urology (EAU) ke 22 di Berlin, Jerman, pada 2007. Hal ini berdasarkan konsensus seperti dimuat dalam Journal of Sexual Medicine. EHS adalah metode pengukuran tingkat kekerasan ereksi, yang dapat dilakukan sendiri menggunakan empat derajat pengukuran yang sederhana.
Derajat 1 dijabarkan sebagai penis yang membesar, namun tidak keras (diibaratkan tapai). Derajat 2, penis keras namun tidak cukup untuk melakukan penetrasi (seperti pisang). Pada derajat 3, penis cukup keras untuk melakukan penetrasi namun tidak seluruhnya keras (seperti sosis). Derajat 4, penis keras seluruhnya dan tegang sepenuhnya (seperti mentimun).
“Mereka dengan tingkat ereksi derajat 3 sudah masuk kategori disfungsi ereksi ringan,” jelas dr. Heru.
McKinlay JB dalam International Journal Impotence Research (2000) menyatakan, prevalensi global penderita DE diperkirakan meningkat dari 152 juta pria tahun 1995, menjadi 332 juta tahun 2025. Prevalensi DE di Asia tetap yang tertinggi dengan 87 juta pria (1995) menjadi 200 juta (2025). Disusul Eropa 31 juta menjadi 43 juta, Afrika 11 juta menjadi 31 juta pria, dan Amerika Selatan 10 juta menjadi 26 juta.
Dalam Asian Journal of Andrology (2011) disebutkan, berdasarkan kelompok umur prevalensi disfungsi ereksi pada usia 20-29 tahun adalah 15,10%, usia 30-39 tahun 29,60%, usia 40-49 tahun 40,60%, golongan 50-59 tahun 54,30%, dan usia 60-69 tahun naik menjadi 70%.
Menurut dr. Nugroho Setiawan, MS, SpAnd, dari RSUP Fatmawati, Jakarta, ereksi membutuhkan transmisi neural dan impuls pro-erectile, memerlukan suplai aliran darah arteri dan jaringan erektil fungsional pada corpus cavernosum. “Segala sesuatu yang mengganggu ketiga hal tersebut, akan menghasilkan gangguan fungsi ereksi,” terangnya.
Ketika muncul gairah atau rangsang seksual, saraf melepaskan bahan kimia yang meningkatkan aliran darah ke penis. Darah mengalir ke dua ruang ereksi di penis, yang terbuat dari jaringan otot seperti spons (corpus cavernosum). Selama ereksi, jaringan corpus cavernosum menjadi rileks dan memerangkap darah. Tekanan darah di ruang membuat penis kencang, menyebabkan ereksi. Ketika seorang pria mengalami orgasme, otak mengirimkan sinyal kedua mencapai penis, menyebabkan jaringan otot di penis berkontraksi dan darah dilepaskan kembali ke dalam sirkulasi, dan ereksi turun.
Kondisi fisik seperti kerusakan saraf, arteri, otot polos dan jaringan ikat di penis akibat penyakit peyronie, bisa menyebabkan DE. Pada kasus peyronie, plak terbentuk di jaringan membran tunika albuginea. Daerah paling umum untuk terbentuk plak, adalah bagian atas atau bawah penis. Ketika plak menumpuk, penis akan melengkung/membelok menyebabkan ereksi menjadi sakit. Peyronie dimulai dengan peradangan/pembengkakan, yang akhirnya menjadi jaringan parut.
Ereksi yang normal merupakan kombinasi dari faktor psikogenik, hormonal, neurologi dan vaskular. Dan, umumnya, disfungsi ereksi bersifat multifaktorial. Disfungsi ereksi dapat disebabkan akibat gejala penyakit kardiovaskular, hipertensi, diabetes, depresi dan gangguan saluran kemih bawah. Juga penyakit ginjal kronis, multiple sclerosis dan cedera yang berhubungan dengan perawatan terhadap kanker prostat.
“Kasus terbanyak disebabkan oleh gangguan aliran darah ke penis yang tidak maksimal. Mungkin penis bisa keras (ereksi), tetapi hanya di derajat 3 (seperti sosis),” tambah dr. Heru. “Masalah kedua terbanyak adalah faktor hormonal, misalnya karena usia atau penyakit kronis, dan efek obat tertentu.”
Faktor psikologis
Dari sisi psikologis, menurut psikolog seksual Zoya Amirin, MPsi., dapat disebabkan oleh rasa tidak percaya diri pria. “Dalam 10 kali hubungan seksual dengan pasangannya, bila 9 kali berhasil dan 1 kali gagal, pria akan selalu ingat yang 1 kali tersebut,” terang Zoya.
Terdapat konsep yang diyakini pria di seluruh dunia, kata Zoya, bahwa seorang pria harus memiliki performa seksual yang memuaskan. Sehingga jika ia tidak perform secara seksual, tidak akan dianggap sebagai laki-laki sejati. Hal ini membuat pria yang gagal memuaskan pasangannya seperti terhisap ‘lingkaran pasir’ yang semakin dalam.
“Saat gagal melakukan hubungan seks, ia tidak memberi waktu bagi dirinya untuk istirahat menenangkan diri. Tetapi langsung coba lagi dan gagal lagi. Sehingga, lebih banyak memori kegagalannya. Apalagi jika sudah minum obat kuat, tetap masih gagal. Padahal yang membuat gagal adalah otaknya,” kata Zoya.
Salah satu masalah disfungsi ereksi akibat masalah psikologis adalah impotensi parsial. Ini terkait dengan ‘puber kedua’, atau ketika menginjak usia 40-45 tahun. Kata Zoya Amirin, hal ini menyebabkan seorang pria tidak bisa mencapai kekerasan ereksi maksimal saat berhubungan intim dengan istri.
“Pada usia tersebut, seorang pria sedang dalam masa puncak karier, sehingga ia merasa membutuhkan banyak penyaluran. Di luar rumah ia mendapat banyak sanjungan, sementara jika di dalam rumah ia sudah tidak pede (percaya diri). Badannya ikut terpengaruh,” terang Zoya.
Masalah genetik
Penelitian terbaru menemukan bukti bahwa impotensi berhubungan dengan ‘cetakan’ genetik. Studi ini dipublikasikan dalam jurnal Proceeding of the National Academy of Sciences (Oktober 2018). Peneliti menganalisa data dari 36.649 pria multietnis di Amerika Serikat dan 222.358 responden dari Inggris. Dalam penemuan kohort tersebut, peneliti mengidentifikasi lokus tunggal (rs17185536-T) pada kromosom 6 di dekat helix-loop-helix transcription factor 1 (SIM1), gen yang secara signifikan terkait dengan risiko disfungsi ereksi.
SIM1 adalah bagian dari sistem leptin-melanokortin, yang memiliki peran penting dalam homeostasis berat badan dan fungsi seksual. Karena varian yang terkait dengan disfungsi ereksi tidak berhubungan dengan perbedaan IMT (indeks massa tubuh), peneliti menyimpulkan penemuan tersebut menunjukkan mekanisme yang spesifik untuk fungsi seksual.
Eric Jorgenson, peneliti utama di divisi penelitian Kaiser Permanente Northern California, mengatakan, “Mengidentifikasi lokus SIM1 sebagai faktor risiko untuk disfungsi ereksi adalah hal besar, karena memberikan bukti yang lama dicari bahwa ada komponen genetik untuk penyakit ini.”
Selama ini masalah genetik dipercaya berperan dalam sepertiga kasus disfungsi ereksi. Riset ini adalah yang pertama, yang mampu menghubungkan lokasi genom spesifik dengan disfungsi ereksi.
Ejakulasi dini
Masih banyak anggapan di masyarakat bahwa disfungsi ereksi sama artinya dengan ejakulasi dini (ED). Ejakulasi dini merupakan suatu kondisi, ketika seorang pria ejakulasi terlampau cepat saat melakukan hubungan seksual. Kondisi ini dapat mengakibatkan tidak tercapainya klimaks atau kepuasan seksual, pada pasangannya atau pria itu sendiri.
Berbeda antara ejakulasi dini dan disfungsi ereksi, menurut dr. Heru, namun ada keterkaitan antara keduanya. “Disfungsi ereksi bisa menyebabkan ejakulasi dini; disebut ejakulasi dini sekunder. Bisa karena penurunan hormon,” terangnya.”Pada ejakulasi dini sekunder, pengobatannya adalah dengan mengembalikan kekerasan ereksi hingga maksimal.”
Ejakulasi dini primer – tanpa sebab lain, atau bukan akibat disfungsi ereksi – sebagian besar terjadi pada orang muda atau pasangan yang baru menikah, akibat tidak mampu mengontrol gairah seksual. (jie)