Dermatitis atopik penyakit kronis yang hilang timbul. Obat-obatan bisa digunakan saat penyakit muncul. Ada yang bisa digunakan untuk pencegahan.
“Penyakit dermatitis atopik (DA) bisa diderita siapa saja, mulai anak-anak hingga dewasa, dan sama proporsinya antara laki-laki dan perempuan,” ucap dr. Anthony Handoko, Sp.KK, CEO Klinik Spesialis Kulit dan Kelamin Pramudia, pada sebuah seminar di Jakarta.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1998, prevalensi dermatitis atopik sebesar 15-30%. “Data di Indonesia, prevalensi dermatitis atopik sebesar 23,67%. Ada sekitar 2 juta kasus baru setiap tahunnya,” kata dr. Anthony. Sebagian besar kasus terjadi pada bayi dan anak-anak, terutama usia 1-5 tahun. “Jika onset dermatitis atopik pada usia 3-11 tahun, kemungkinan pasien menderita DA seumur hidup sebesar 20%,” katanya.
DA merupakan penyakit kronis, yang hilang timbul. “Kadang-kadang hilang, terkontrol, tapi kemudian timbul lagi,” kata dr. Anthony. Tanda-tanda penyakitnya timbul adalah rasa gatal dan kemerahan pada kulit. “Pada dermatitis yang berulang, biasanya kulit akan menebal, karena sering digaruk.”
Kulit penderita DA terlihat kering, karena banyak kehilangan air dari dalam kulit akibat penguapan (transepidermal water loss/TEWL). Ini terjadi karena lemak dalam kulit, yang seharusnya menjaga air, rendah kadarnya dalam kulit. Karena kering, kulit penderita menjadi lebih sensitif, mudah terserang infeksi bakteri, virus atau jamur.
“DA adalah penyakit genetik, maka sebaiknya tujuan pengobatan lebih menggunakan istilah terkontrol, daripada sembuh,” kata dr. Ronny Handoko, Sp.KK. Pada hakikatnya DA adalah penyakit kronis yang sering berulang, bila dipicu faktor pencetus. Pilihan pertama pengobatan topikal adalah kortikosteroid. Selain itu ada pilihan pengobatan alternatif, yaitu tacrolimus atau pimecrolimus. “Pengobatan yang diberikan tergantung pada kondisi dan derajat keparahan penyakit,” kata dr. Ronny.
Terapi oral juga diberikan berdasarkan kondisi dan derajat keparahan penyakit pasien saat berobat. Pada kondisi DA yang sudah sangat parah, selain kortikosteroid topikal, diberikan kortikosteroid oral. Bila diperlukan bisa diberikan terapi oral tambahan sebagai terapi penyerta, antara lain Imuran, cyclosporin dan methotrexate. Tergantung kuman penyebab, bila terjadi infeksi bisa diberikan antibiotik, antivirus atau anti jamur.
Pada pasien geriatri yang sudah mengalami gangguan imunitas, dr. Ronny menyarankan pemberian immunomodulator oral, asupan gizi, pemberian suplemen oral, serta perbaikan kondisi status mental pasien. Pemeriksaan tes alergi kulit diperlukan, agar dapat mengetahui dan menghindari faktor pemicu/pencetus DA.
Menjaga fungsi sawar kulit
Penyebab abnormalitas sawar kulit pada DA adalah penurunan komposisi lipid khususnya ceramide; defek filaggrin, yang penting dalam pembentukan natural moisturizing factor (NMF), yang berfungsi mencegah transepidermal water loss (TEWL); Defek involucrin, struktur protein yang terikat dengan lipid kemudian berperan dalam pembentukan comeocyte envelope (CE); penurunan essential fatty acid (EFA), yang berperan dalam pembentukan acylceramide, sehingga adanya penurunan EFA menyebabkan penurunan pembentukan ceramide/acylceramide, dan peningkatan pH.
Saat ini telah dikembangkan berbagai modalitas terapi, tujuannya adalah meningkatkan fungsi sawar kulit. Kondisi kulit DA yang kering (xerosis) dapat diperbaiki dengan terapi agen-agen lipid fisiologis, secara oral maupun topikal, bertujuan untuk meningkatkan produksi lipid secara endogen. Selain itu kekurangan lipid dapat diganti dengan pemberian lipid nonfisiologis. Pemberian terapi-terapi tersebut bersamaan dengan pemberian humektan, bertujuan mencegah terjadinya peningkatan TEWL. Hidrasi juga merupakan penatalaksanaan penting, untuk mengganti terjadinya water loss.
Dengan berkembangnya pemahaman berbagai penyebab abnormalitas sawar kulit, DA dapat diterapi secara holistik. Tidak saja memberi pengobatan pada saat penyakit ini muncul, tapi mencegah penyakit ini muncul dengan memperbaiki fungsi sawar kulit. Sawar kulit DA yang lebih baik, dapat mencegah seringnya terjadi kekambuhan. Dan, akhirnya, dapat meningkatkan kualitas hidup penderita DA.