Ethicaldigest

Terapi Lini Pertama DS Skalp

Dermatitis seboroik merupakan peradangan kronis pada kulit. Pemberian agen topikal merupakan pilihan utama.

Dermatitis seboroik (DS) me­ru­pa­kan peradangan kronis. Umum terjadi pada kulit,  bermanifestasi sebagai bercak-bercak gatal co­klat keme­rahan bersisik di daerah kulit kepala, wajah, dan kulit yang kaya kelenjar. Kondisi ini bisa dialami anak-anak dan orang dewasa, dengan insiden lebih tinggi pada bayi dan dewasa usia pertengahan (30-60 tahun). Pada bayi, DS bisa meng­hilang dengan sendirinya. Umumnya DS akan menghilang pada usia 6-12 bulan.

Prevalensi DS pada dewasa muda adalah 3-5%. Sedangkan pada populasi umum 1-5%. Da­ta di Rumah Sakit Cipto Mangun­kusumo tahun 2000 – 2002 menun­juk­kan, insidensi rata-rata DS sebesar 8,3% dari semua kunjungan. Rasio laki-laki dibanding perem­puan 1,5:1,3 sedangkan di Rumah Sakit Sanglah, Denpasar, pada tahun 2016 didapat­kan 26 kunjungan pasien baru dengan DS.

Dermatitis seboroik adalah kelainan papu­loskuamosa yang sering dijumpai. Penyakit ini secara khas didapatkan pada daerah tubuh yang memiliki folikel sebasea dengan konsentrasi tinggi, dan kelen­jar sebasea yang aktif seperti wajah, kulit ke­pa­la, telinga, tubuh bagian atas, dan dae­­rah lipatan (inguinal, inframammae dan aksila).

Dermatitis seboroik dapat mempenga­ruhi kualitas hidup penderita secara sig­ni­fikan. Terapi bertujuan untuk memper­baiki ge­jala kulit dan kualitas hidup pen­derita. Suatu panel konsensus 12 ahli der­matologi dari India, Korea Utara, Taiwan, Malaysia, Vietnam, Singapura, Thailand, Filipina, Indonesia dan Italia di Singapura tahun 2014, membuat rekomendasi praktis untuk tatalak­sana DS pada orang Asia.

Paduan tatalaksana DS dibagi menjadi tatalaksana pada DS skalp dan area berambut, serta DS non skalp. Tatalaksana juga dibedakan berdasarkan kelompok usia dewasa  dan bayi. Ada beberapa modalitas pengobatan, di antaranya menggunakan terapi topikal. Terapi topikal bertujuan untuk mengatur produksi sebum, mengurangi kolonisasi M. furfur (Malassezia furfur) pada kulit dan mengendalikan inflamasi. Tatalaksana DS dengan obat-obatan topikal dibagi menjadi terapi skalp dan non skalp.

Suatu penelitian epidemiologi multi­sen­ter transversal, yang dilakukan pada 2159 pasien dengan DS pada wajah dan ku­lit kepala menunjukkan, terapi yang pa­ling sering digunakan adalah steroid topikal (59,9%), anti jamur imidazol (35,1%), topikal calcineurin inhibitor (TCI) (27,2%) bersamaan dengan penggunaan produk pelembab atau emolien (30,7%).

Kor­ti­kosteroid topikal, seperti klobetasol propionat, hidrokortison, de­sonide, serta mometasone furoate dapat diberikan pada dermatitis seboroik yang sulit sembuh/berlangsung lama serta di area lipatan.

Kortikosteroid bersifat anti inflamasi, imunosupresif dan antiproliferasi sehing­ga dapat menghambat proliferasi kerati­nosit dan fibroblas, serta  menyebabkan vaso­konstriksi. Kortikosteroid merupakan pen­dekatan  lini pertama dan kedua pada DS skalp/kulit kepala dan non skalp/kulit tidak berambut.

Adanya efek vasokonstriksi dari kortikosteroid akan mengakibatkan ber­kurangnya eritema pada DS. Adanya efek antiinflamasi yang terutama terhadap leukosit akan efektif terhadap berbagai kasus dermatitis, yang didasari oleh pro­ses inflamasi seperti dermatitis seboroik. Bah­kan pemberian kortikosteroid telah men­jadi upaya utama dalam penanganan dermatitis.

Satu tinjauan dilakukan oleh Kastarinen H dan kawan-kawan terhadap 36 penelitian dalam Cochran Library, dengan jumlah total 2706 pasien. Tiga puluh satu penelitian menganalisa steroid topikal; tujuh, peng­ham­bat kalsineurin; dan tiga, garam lithium. Ma­sing-masing dibandingkan dengan pla­sebo, azol, kalsipotriol, senyawa anti-infla­masi non-steroid, dan seng, serta OAINS lain.

Tinjauan ini menemukan bahwa pada pasien yang menggunakan steroid lebih banyak yang mengalami pembersihan total dibanding plasebo dalam penelitian jangka pendek (empat minggu atau kurang) dan dalam satu jangka panjang (berlangsung 12 minggu). Steroid juga lebih efektif dalam mengurangi eritema, skaling, dan pruritus. Efek buruk serupa pada kedua kelompok steroid dan plasebo.

Tidak ada perbedaan antara steroid dan penghambat kalsineurin dalam pember­sihan total pada penelitian jangka pendek. Steroid dan penghambat kalsi­neu­rin ditemukan sebanding pada semua para­meter efikasi yang dinilai. Namun, efek samping lebih jarang terjadi pada kelom­pok steroid dibandingkan dengan kelom­pok kalsineurin dalam jangka pendek.