Mekanisme pertahanan paru pada saluran napas atas diperankan oleh silia dan mucus, yang akan mendorong mikroorganisme keluar.
Ada sistem kekebalan humoral dalam mekanisme pertahanan paru, khususnya saluran napas atas. IgA merupakan bagian dari sekret hidung; 10% dari total protein sekret hidung. Penderita defisiensi IgA berisiko mengalami infeksi saluran napas atas berulang.
Bakteri yang berkolonisasi di saluran napas atas mengeluarkan enzim proteolitik dan merusak IgA. Bakteri gram negatif (P.aeroginosa, E.colli, Serratiaspp, Proteus spp, dan K.penumoniae) punya kemampuan merusak IgA. Defisiensi dan kerusakan komponen pertahan saluran napas atas, menyebabkan kolonisasi bakteri patogen sebagai sarana terjadinya infeksi saluran napas bawah.
“Sebagian besar pasien pneumonia diawali selesma. Sebagian besar membaik dengan sendirinya, sebagian kecil radang menjalar di sepanjang saluran napas sampai ke alveoli,” ujar dr. Darmawan Budi Setyanto, SpA(K).
Dalam kondisi sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru; akibat mekanisme pertahanan paru. Bila terjadi ketidakseimbangan daya tahan, mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Kebanyakan bakteri yang berukuran 0,5-2,0 nm dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli, selanjutnya terjadi proses infeksi.
Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas, kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Sekresi orofaring mengandung bakteri yang tinggi (>10x /ml), sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 – 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.
Kuman yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli, menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul infiltrasi sel-sel PMN (polymorphonuclear neutrophilic leukocyte) dan diapedesis eritrosit, sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli, dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut, kemudian dimakan.
Ketika terjadi peperangan antara host dan bakteri, akan tampak 4 zona pada daerah parasitik tersebut. Pertama, zona luar, di mana alveoli terisi bakteri dan cairan edema. Kedua, zona permulaan konsolidasi yang terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah. Ketiga, zona konsolidasi yang luas dengan daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan banyak PMN. Keempat, zona resolusi, saat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag.
Diagnosis
Pneumonia pada anak menunjukkan gambaran klinis, ditandai demam, menggigil, suhu tubuh meningkat (bisa >40°C), batuk dengan dahak mukoid atau purulen, napas cepat dan napas sesak. Bila ada tanda-tanda ini, dibutuhkan pemeriksaan penunjang pulse oximetry untuk memeriksa kadar oksigen (turun atau tidak). Sebagai tambahan dilakukan foto rontgen paru dan tes darah. “Pemeriksaan utama pada pneumonia anak adalah adanya napas cepat, napas sesak dan oksigen turun. Foto toraks dan tes darah hanya sebagai penunjang,” terang dr. Darmawan.
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama, untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa inflitrat sampai konsolidasi dengan air broncogram, penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi.
Pada pemeriksaan darah, red-cell distribution width (RDW) dan mean platelet volume (MPV) menjadi dua parameter pemeriksaan darah lengkap yang sederhana dan murah. Wigit Kristianto, dkk., melakukan analisa hubungan nilai RDW dan MPV, dengan derajat keparahan pneumonia anak. Riset dilakukan pada Juni-November 2017 di RSUD Nganjuk, melibatkan 30 anak usia 2-59 bulan dengan pneumonia. Peneliti mendapati perbedaan bermakna pada nilai RDW, antara subyek pneumonia dan pneumonia berat. Nilai RDW antara kelompok dengan nilai PRESS (pediatric respiratory severity score) rendah, sedang dan tinggi, juga berbeda bermakna. Nilai RDW terlihat berhubungan kuat dengan klasifikasi diagnosis pneumonia. Studi ini dimuat dalam Sari Pediatri Vol 19 (2018).
Sementara pemeriksaan laboratorium mendapati adanya peningkatan jumlah leukosit, biasanya >10.000/ul, kadang-kadang sampai 30.000/ul. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri, serta perjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologim perlu pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
Tatalaksana
Bila pasien menunjukkan gejala pneumonia ringan, seperti napas cepat, tanpa sesak napas, pasien boleh menjalani rawat jalan dengan diberi antibiotik dosis tinggi. Pasien dianjurkan bed rest dan cukup minum untuk mengatasi dehidrasi. Bila panas tinggi, perlu dikompres atau minum obat penurun panas. Bila perlu, berikan mukolitik dan ekspektoran. Pemberian antibiotik harus kurang dari 8 jam.
“Pada kasus pneumonia berat, yakni dengan gejala napas sesak, dilakukan rawat inap, diberi antibiotik dan terapi oksigen,” terang dr. Darmawan. Pasien rawat inap biasanya mendapat pengobatan suportif/simptomatik, berupa terapi oksigen, pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolik. Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik atau mukolitik. Antibiotik diberikan sesuai bagan, kurang dari 8 jam.
Penilaian derajat keparahan pneumonia, dapat dilakukan menggunakan sistem skor Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT). Berdasarkan konsensus Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap adalah bila skor PORT >70. Atau bila nilai PORT <70 dengan salah satu gejala seperti, frekuensi napas >30/menit, Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, foto toraks paru melibatkan >2 lobus (tekanan sistolik <90 mmHg, tekanan diastolik <60 mmHg).
Pasien yang memerlukan perawatan di ruang rawat lntensif, adalah mereka yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu; membutuhkan ventalasi mekanik dan membutuhkan vasopressor > 4 jam (syok sptik). Atau, memiliki 2 dari 3 gejala minor tertentu, seperti Pa02/FiO2 <250 mmHg, foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90 mmHg. Kriteria minor dan mayor yang lain bukan merupakan indikasi untuk perawatan di ruang rawat lntensif.
PDPI juga menerbitkan panduan pemberian antibiotik, pada penderita pneumonia, yang didasarkan pada data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya. Untuk penisilin senstif, untuk bakteri Streptococcus pneumonia (PSSP) diberikan golongan penisilin, kombinasi trimethoprim dan sulfamethoxazole (TMP-SMZ) atau makrolid. Pada penisilin resisten Streptococcus pneumonia (PRSP) diberikan betalaktam oral dosis tinggi untuk rawat jalan, sefotaksim, seftriakson dosis tinggi, marolid baru dosis tinggi atau fluorokuinolon respirasi.
Untuk pneumonia yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa, pilihan terapi antara lain aminoglikosid, seftazidim, tikarsilin, karbapenem dan siprofloksasin. Untuk Haemophilus influenzae menggunakan TMP-SMZ, azitromisin, sefalosporin generasi 2/3 dan fluorokuinolon respirasi. Bila diakibatkan oleh Mycoplasma pneumonia atau Chlamydia pneumonia, bisa diberikan doksisiklin, makrolid, atau fluorokuinolon.
“Berdasarkan rekomendasi IDAI, pemilihan antibiotik untuk pengobatan pneumonia anak menggunakan amoxicillin dosis tinggi; 40-50 mg/kg BB/kali, 2x sehari selama 3 hari, sebagai peralihan dari Co-trimoxazole,” tutur dr. Wiendra Waworuntu, MKes, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan RI.
Amoxicillin merupakan golongan penisilin spektrum luas. Efektif untuk banyak kuman gram positif dan negatif, yang tidak peka terhadap pinisilin-G. Memiliki tingkat absorbsi yang lebih cepat dan lengkap, dibanding ampisilin (penisilin spektrum luas lainnya). Penisilin merintangi atau menghambat pembentukan sintesa dinding sel bakteri. Akibatnya, bila sel bakteri tumbuh dengan dinding sel yang tidak sempurna, maka bertambahnya plasma atau air yang terserap dengan jalan osmosis akan menyebabkan dinding sel pecah, sehingga bakteri menjadi musnah. (jie)