Ethicaldigest

LABA dan Kortiksoteroid Hirup dalam Tatalaksana Asma

Dalam pengelolaan asma, ada beberapa tantangan yang harus diperhatikan. Yaitu terlalu bergantungnya penderita asma pada pengobatan rescue, kontrol asma yang tidak optimal, kepatuhan yang buruk terhadap terapi rumatan, kurangnya bukti-bukti klinis yang mendukung manfaat peningkatan dosis kortikosteroid hirup dua kali lipat saat terjadi pemburukan, kompleksitas pengobatan saat ini dan kurangnya pemahaman di antara pasien.

“Pengobatan asma telah berkembang dari tahun 1972, ketika kortikosteroid hirup pertama kali diperkenalkan,” ujar Prof. dr. Faisal Yunus, Sp.P, dari RS Persahabatan, Jakarta. Kemudian, pada tahun 1980 diperkenalkan penggunaan short acting beta 2 agonist, yang segera meluas penggunaannya.

Tapi, di tahun 1990 mulai timbul kekhawatiran terhadap penggunaan short acting beta 2 agonist (SABA). Pada tahun 1992, ditambahkan long acting beta 2 agonist, pada terapi kortikosteroid hirup. Ini diikuti dengan munculnya berbagai publikasi oleh Kis et al., Pauwels et al., dan Greening et al.

Short-acting beta 2 agonist (SABA) telah digunakan selama beberapa decade, sebagai bronkodilator dalam pengobatan pada asma kronis dan akut. Profil terapi short-acting beta 2 agonist umumnya baik, meski masalah keamanan telah menjadi perhatian sejak SABA digunakan pada dua epidemik kematian karena asma pada 1960-an dan 1970-an. Pertanyaan apakah epidemi ini disebabkan penggunaan SABA, menjadi topik kontroversi.

Pengenalan long acting beta 2 agonist (LABA) pada 1990-an, dianggap sebagai kemajuan besar dalam terapi bronkodilator. Bukti-bukti menunjukkan bahwa penggunaan LABA dapat memperbaiki fungsi paru-paru dan kualitas hidup. Namun, kekhawatiran mengenai risiko yang mungkin terjadi terkait dengan terapi LABA, muncul sesaat setelah LABA diperkenalkan. Kemudian, muncul pendapat bahwa penggunaan rutin berpotensi mengurangi sensitivitas bronkodilator untuk ß agonis, dan mendorong toleransi terhadap efek bronchoprotection LABA.

Keterbantungan terhadap SABA

Seperti dikatakan Prof. Faisal, penelitian Rabe KF dan kawan-kawan yang dipublkasikna tahun 2000 memperlihatkan bahwa banyak penderita asma yang lebih menggantungkan pengobatan pada SABA, dibandingkan kortikosteroid hirup apapun tingkat keparahan asmanya. Dalam penelitan AIRE yang mereka kerjakan, dari jumlah total partisipan, 63% pasien menggunakan SABA sebagai terapi pelega nafas, dibanding 23 % yang menggunakan kortkosteroid hirup.

Sementara, sebuah penelitian yang dilakukan Partridge RM dan kawan-kawan yang dipublikasi tahun 2006 memperlihatkan, rerata lama waktu dari muncul tanda-tanda pertama sampai pemburukan adalah 5,1 hari (berkisar : ≤ 30 menit sampai lebih dari 2 minggu). Rerata lama waktu dari gejala puncak hingga recovery adalah 6,2 hari.

Pasien memberi respon terhadap gejala-gejala tersebut, dengan meningkatkan dosis pengobatan. Tanpa memandang terapi rumatan yang diberikan, pasien melaporkan menggunakan SABA pada saat onset gejala. Sedangkan kortikosteroid hirup ditingkatkan kemudian, ketika gejala memburuk dan dengan dosis yang lebih kecil. Peningkatan ≥4 kali lipat jumlah inhalasi SABA, dilaporkan saat gejala berada di puncak dibandingkan ketika dalam kondisi baik.

Padahal, menurut Prof. Faisal, ada waktu yang tepat untuk pemberian anti inflamasi sebagai pencegahan eksaserbasi. Dalam penelitian Tatterfield AE dan kawan-kawan terlihat bahwa dari hari -5 sebelum eksaserbasi, adalah window oportunity untuk pemberian anti inflamasi.

Symbicort SMART

Ada kombinasi budesonide dan formoterol (symbicort), yang digunakana sebagai terapi pelega dan rumatan symbicort SMART. Penderita menggunakan dosis rumatan harian rutin Symbicort, ditambah terapi inhalasi jika diperlukan. Pasien tidak menggunakan SABA terpisah. Symbicort SMART adalah pendekatan pengelolaan asma, menggunakan hanya satu inhaler.

Symbicort telah melalui penelitian bernama SMART: suatu program klinis yang terdiri dari enam penelitian buta ganda yang melibatkan lebih dari 14000 pasien. Penelitian pertama adalah STEAM, penelitian dalam jangka waktu 6 bulan,  membandingkan symbicort SMART dengan 2x budesonide plus SABA, melibatkan 697 pasien.

Penelitian kedua, STEP, adalah penelitian 12 bulan, membandingkan symbicort SMART dengan budesonide plus SABA pada 1890 pasien. Penelitian ketiga adalah STAY, yang membandingkan symbicort SMART selama 12 bulan dengan kortikosteroid hirup dengan dosis 4 kali, atau symbiocort plus SABA dengan melibatkan 2760 pasien. Ketiga penelitian dilakukan untuk membuktikan konsep SMART.

Penelitian keempat, SMILE,  meneliti 12 bulan pemberian symbicort plus symbicort, formoterol atau SABA, yang melibatkan 3394 pasien. Penelitian ini bertujuan menguji nilai dari komponen reliever. Penelitian kelima adalah COMPASS, yang membandingkan pemberian symbicort SMART selama 6 bulan dengan symbicort atau seretide plus SABA. Penelitian ini melibatkan 3335 pasien. Penelitian keenam, AHEAD,  membandingkan symbicort SMART dengan seretide plus SABA.

Penelitian STEAM, STEP dan STAY menunjukkan bahwa symbicort SMART dapat menurunkan eksaserbasi, memperbaiki kontrol gejala, memperbaiki fungsi paru dan menurunkan dosis ICS. Dalam publikasinya, RABE KF dan kawan-kawan melihat bahwa pemberian symbicort SMART dapat menurunkan eksaserbasi, yang memerlukan intervensi medis pada asma ringan hingga moderat, dibanding ICS/SABA dengan dosis yang lebih tinggi (14 kejadian vs 57 kejadian). Sedangkan O’Byrne dalam publikasinya menyatakan, symbicort SMART memberi penurunan eksaserbasi pada asma moderat hingga berat, dibanding ICS plus SABA dengan dosis yang lebih tinggi.

Melihat publikasi Rabe KF dan kawan-kawan, Scicchitano R dan kawan-kawan dan O,byrne PM dan kawan-kawan menyatakan bahwa penggunaan symbocort SMART dapat lebih mempertahankan fungsi paru, dibanding budesonide plus SABA dengan dosis yang lebih tinggi. Ini terlihat dari perubahan rerata PEF di pagi hari, yang lebih tinggi pada yang menggunakan symbicort SMART.

Dalam penelitian Lain,  STAY dan SMILE, terlihat bahwa pemberian symbicort SMART dapat menurunkan eksaserbasi, memperbaiki kontrol gejala dan memperbaiki fungsi paru. Penelitian STAY yang dilakukan O’byrne dan kawan-kawan adalah penelitian buta ganda, yang berjalan selama 12 bulan. Pasien secara acak diberi budesonide dengan dosis 4 kali plus SABA ketika dibutuhkan, atau symbicort plus SABA, atau symbicort SMART.

Dalam penelitian ini terlihat bahwa pemberian symbicort SMART, memberi penurunan eksaserbasi secara menetap pada asma moderat hingga berat, dibanding pemberian symbicort plus SABA. Penelitian SMILE oleh Rube KF dan kawan-kawan memberikan symbicort 160/4,5 mikrogram 2 kali sehari saat run in dan saat diacak. Tapi pada saat run in, symbicort dikombinasi dengan SABA.

Ketika diacak, pasien diberi symbicort plus SABA(n=1141) sebagai terapi pelega, atau symbicort plus formoteraol 4,5 mikrogran sebagai terapi pelega (n=1140). Atau symbicort plus sumbicort 160/4,5 mikrogram, sebagai terapi pelega (SMART) (n=1113).  Hasilnya memperlihatkan adanya penurunan eksaserbasi sebesar 24%, pada pasien yang  mendapat formoteraol dibandingkan SABA; 27% dengan symbicort dibanding formoterol dan 45% dengan symbicort dibanding SABA.

Jika dibandingkan antara penelitian O,byrne dan Rabe KF, terlihat bahwa symbicort SMART bisa menjaga fungsi paru. Ini terlihat dari perubahan rerata PEF di pagi hari yang lebih baik, dibanding symbicort plus SABA dan symbicort plus formoterol.

Sementara dalam penelitian COMPASS dan AHEAD, terlihat bahwa symbicort SMART dapat menurunkan eksaserbasi dan menurunkan penggunaan steroid. Penelitian COMPASS melibatkan 3346 pasien. Mereka diberi kortikosteroid hirup rutin, dengan dosis 500 mikrogran plus laba pada periode run in.

Kemudian pasien secara acak diberi symbicort 160/4,5 mikrogram 2 inhalasi 2 kali sehari plus symbicort sebagai terapi pelega (symbicort SMART). Kelompok lain diberi salmoteraol plus flutikonason 50/500 mikrogram 1 inhalasi 2 kali perhari, plus SABA sebagai terapi pelega. Ada 17 negara yang terlibat dalam penelitian ini, termasuk Indonesia. Pada penelitian ini terlihat bahwa symbicort SMART menurunkan angka kejadian eksaserbasi, dibanding salmoterol /flutikonason dosis maksimal  plus SABA.