Ethicaldigest

Terapi Farmakologis Vertigo, Tidak Rutin Dilakukan

Menurut dr. Satya Hanura, SpS, penatalaksanaan dengan farmakologi untuk BPPV tidak secara rutin dilakukan. Beberapa pengobatan hanya diberikan untuk jangka pendek untuk gejala-gejala vertigo, mual dan muntah yang berat yang dapat terjadi pada pasien BPPV, seperti setelah melakukan terapi PRM. Pengobatan untuk vertigo, yang disebut juga pengobatan suppresant vestibular, yang digunakan adalah golongan benzodiazepine (diazepam, clonazepam) dan antihistamine (meclizine, dipenhidramin). Pengobatan menggunakan Benzodiazepines dapat mengurangi sensasi berputar. Tapi, pengobatan ini bisa mengganggu kompensasi sentral pada kondisi vestibular perifer. Antihistamine mempunyai efek supresif pada pusat muntah, sehingga dapat mengurangi mual dan muntah karena motion sickness. Perlu diperhatikan bahwa benzodiazepine dan  antihistamine dapat mengganggu kompensasi sentral pada kerusakan vestibular, sehingga penggunaannya diminimalkan. Penyakit meniere dianggap dapat mengakibatkan pelebaran dan ruptur periodik kompartemen endolimfatik di telinga dalam, yang selanjutnya mengakibatkan vertigo. Kondisi ini biasanya disertai dengan tinnitus dan gangguan pendengaran. Belum ada pengobatan yang terbukti efektif. Terapi profilaksis juga belum memuaskan. Hanya 60-80% pasien akan remisi spontan. Dapat dicoba penggunaan vasodilator, diuretik ringan bersama diet rendah garam. Kadang-kadang dilakukan tindakan operatif, berupa dekompresi ruangan endolimfatik dan pemotongan vestibularis. Pada kasus berat atau jika pasien sudah mengalami ketulian, dapat dilakukan labirinektomi atau merusak saraf dengan instilasi aminoglikosida ke telinga dalam (ototoksik lokal). Pencegahan antara lain dapat dicoba dengan menghindari kafein, berhenti merokok, membatasi asupan garam. Obat jenis diuretik dan antagonis kalsium dapat meringankan gejala. Simtomatik dapat diberi obat supresan vestibuler. Neuritis vestibularis juga dapat menyebabkan vertigo. Penyakit ini merupakan  penyakit self limiting, diduga disebabkan oleh infeksi virus. Jika disertai gangguan pendengaran disebut labirinitis. Sekitar 50% pasien akan sembuh dalam dua bulan. Di awal sakit, pasien dianjurkan istirahat di tempat tidur, diberi obat supresan vestibuler dan anti emetik. Mobilisasi dini dianjurkan untuk merangsang mekanisme kompensasi sentral. Vertigo juga dapat disebabkan oleh penggunaan obat-obatan. Beberapa obat ototoksik dapat menyebabkan vertigo, disertai tinitus dan hilangnya pendengaran. Obat-obatan ini mencakup aminoglikosida, diuretik loop, antiinflamasi nonsteroid, derivat kina dan antineoplastik yang mengandung platina. Streptomisin bersifat vestibulotoksik, demikian juga gentamisin. Sedangkan kanamisin, amikasin dan metilmisin lebih bersifat ototoksik. Antimikroba lain yang dikaitkan dengan gejala vestibuler antara lain sulfonamid, asam nalidiksat, metronidazol dan minosiklin. Terapi berupa penghentian obat bersangkutan dan terapi fisik; penggunaan obat supresan vestibuler tidak dianjurkan, karena justru menghambat pemulihan fungsi vestibuler. Obat penyekat alfa adrenergik, vasodilator dan antiparkinson dapat menimbulkan rasa melayang yang dapat dikacaukan dengan vertigo.