Ethicaldigest

Peran Propolis Sebagai Terapi Tambahan dalam Tatalaksana DBD

Risiko kematian pada penderita demam berdarah dengue (DBD) cukup tinggi, terutama jika pasien tidak mendapat pengobatan yang tepat. Ini terjadi karena darah pasien terjangkit virus yang menyebabkan perubahan permeabilitas pembuluh darah. Akibatnya darah mudah keluar dari tubuh pasien. Jika cairan dalam darah keluar, pasiena dapat kekurangan oksigen dan cairan pada tubuh dan pasien mengalami shock berat.

Di sisi lain, jumlah trombosit menurun pada pasien demam berdarah. Trombosit memiliki fungsi penting menghentikan pendarahan. Normalnya, trombosit pada orang normal sekitar 150.000 – 450.000. Jika trombosit kurang dari 60.000, akan terjadi perdarahan. Jika kurang dari 20.000 perdarahan hebat terjadi, jika kurang dari 5.000 kemungkinan terburuk adalah perdarahan di otak.

Saat ini, tidak ada pengobatan definitive untuk demam berdarah. Pengobatan lebih diarahkan untuk meringankan gejala-gejala yang muncul. Dan, umumnya, pasien akan membaik dengan sendirinya, dalam waktu satu hingga dua minggu. Yang terpenting, kebutuhan nutrisi pasien harus dipenuhi, terutama dalam bentuk cairan. Jika tidak bisa dilakukan, penambahan cairan intravena mungkin diperlukan untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi yang berlebihan.

Propolis bisa menjadi terapi pendamping dalam pengobatan DBD. Propolis merupakan produk lebah, hasil campuran antara tanaman sejenis pinus dengan air liur dan lilin lebah. Propolis berguna untuk melindungi dan memperbaiki sarang lebah. Dengan kandungan anti-inflamasi, antivirus, dan anti-oksidan, propolis ternyata juga berguna untuk manusia.

Untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh, sudah lama propolis dikenal akan kegunaannya untuk merangsang dan meningkatkan efektivitas kekebalan alami tubuh. Propolis bersifat aktif, berbeda dengan produk antibiotika buatan yang justru membuat tubuh menjadi pasif, sehingga kuman justru makin kebal.

Pada pasien demam berdarah, propolis telah banyak diteliti. Salah satunya penelitian yang dilakukan Prof. dr. Aznan Lelo, Sp.FK, Ketua Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK-USU). Penelitian dilakukan di SMF RS Persahabatan, Jakarta Timur. Pemberian propolis dilakukan selama empat hari, namun risetnya berlangsung selama empat bulan mulai Desember 2009 sampai Maret 2010.

Penelitian ini melibatkan 106 responden penderita DBD, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pasien dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diberi plasebo. Kelompok kedua diberi propolis 100 miligram sebanyak tiga kali sehari. Propolis dan plasebo diberikan secara oral kepada responden.

Hasilnya, kedua kelompok mengalami perbaikan klinis. Namun, hasil tes darah laboratorium pada hari kedua membuktikan, jumlah trombosit pada kelompok yang diberi propolis lebih tinggi. Kelompok ini juga dirawat dalam waktu lebih cepat, dibanding kelompok yang mengonsumsi placebo.

Penelitian lain dilakukan di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, yang dilakukan dr. Soroy Lardo, Sp.PD. Dilibatkan 63 pasien DBD, yang dibagi menjadi dua kelompok. Kedua kelompok sama-sama diberi terapi standar DBD, tetapi satu kelompok diberi terapi tambahan yaitu kapsul propolis sebanyak tiga kapsul sehari selama 7 hari.

Ternyata, pada kelompok yang diberi tambahan propolis mengalami percepatan perbaikan parameter klinis maupun laboratorium. Di antaranya, trombosit dan lekosit yang lebih cepat naik, hematokrit lebih cepat turun, serta demam atau suhu tubuh yang lebih cepat turun. Hasil ini mengidentifikasikan perawatan yang lebih singkat di rumah sakit.

Propolis mengandung dua antioksidan utama, yang tidak ada pada produk lebah lainnya, yaitu bee pollen atau royal jelly. Antioksidan tersebut adalah bioflavanoid dan Caffeic Acid Phenethyl Ether (CAPE). CAPE merupakan senyawa anti-inflamasi, yang mencegah pecahnya pembuluh darah sehingga penderita DBD tidak mengalami perdarahan. Sedangkan bioflavanoid merupakan antioksidan primer, dengan kandungan lebih lengkap dibanding asetil kolin atau gama globulin.