Ethicaldigest

Tidak ada PCI, Terapi Fibrinolitik pun Jadi

Terapi fibrinolitik merupakan strategi reperfusi yang penting bagi penderita STEMI, terutama di tempat-tempat yang tidak memiliki fasilitas pemasangan PCI. Jika PCI tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis pertama, terapi fibrinolitik menjadi pilihan (Kelas I-A).

Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit (Kelas IIa-B). Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat. Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan, dibanding agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase) (Kelas I-B). Aspirin oral atau intravena harus diberikan (Kelas I-B). Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin (Kelas I-A).

Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati dengan fibrinolitik, hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari (Kelas I-A). Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:

  • Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak terfraksi) (Kelas I-A).
  • Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan dan infus selama 3 hari (Kelas I-C).
  • Pada pasien-pasien yang diberi streptokinase, Fondaparinuks intravena secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian (Kelas IIa-B).

Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan IKP setelah fibrinolisis, diindikasikan pada semua pasien (Kelas I-A). IKP “rescue” diindikasikan segera setelah fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen ST kurang dari 50% setelah 60 menit, disertai tidak hilangnya nyeri dada (Kelas I-A). IKP emergency diindikasikan untuk kasus dengan iskemia rekuren atau bukti adanya reoklusi setelah fibrinolisis yang berhasil (Kelas I-B). Hal ini ditunjukkan oleh gambaran elevasi segmen ST kembali.

Angiografi emergensi dengan tujuan melakukan revaskularisasi, diindikasikan untuk gagal jantung /pasien syok setelah dilakukan fibrinolisis inisial (Kelas I-A). Jika memungkinkan, angiografi dengan tujuan melakukan revaskularisasi (pada arteri yang mengalami infark), diindikasikan setelah fibrinolisis yang berhasil (Kelas I-A). Waktu optimal angiografi untuk pasien stabil setelah lisis yang berhasil, adalah 3-24 jam (Kelas IIa-A).

Koterapi antikogulan

Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberi terapi antikoagulan selama minimum 48 jam (Kelas II-C) dan lebih baik selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non UFH bila lama terapi lebih dari 48 jam, karena risiko heparin-induced thrombocytopenia dengan terapi UFH berkepanjangan (Kelas II-A).

Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberi terapi antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari pemberian (Kelas IIa-B)

Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH (Kelas IIa-C) atau fondaparinuks (Kelas IIa-B), dengan regimen dosis sama dengan pasien yang mendapat terapi fibrinolisis. Pasien yang menjalani IKP Primer setelah mendapat antikoagulan berikut ini merupakan rekomendasi dosis:

  • Bila telah diberi UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai kebutuhan untuk mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP IIb/IIIA telah diberikan (Kelas II-C).
  • Bila telah diberi enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan dalam 8 jam, tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir antara 8-12 jam, tambahkan enoxapain intravena 0,3 mg/kg (Kelas II-B)
  • Bila telah diberi fondaparinuks, berikan antikoagulan tambahan dengan aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP IIb/ IIIa (Kelas II-C)

Karena adanya risiko trombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya ditambahkan antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa (Kelas III-C).

Pria dan wanita harus mendapat penanganan yang sama (Kelas I-C). Namun, wanita cenderung datang belakangan dan lebih sering memiliki gejala atipikal. Kecurigaan infark miokard yang tinggi harus dipertahankan untuk pasien wanita, diabetes, dan pasien-pasien lanjut usia dengan gejala-gejala atipikal (Kelas I-B). Pasien lanjut usia sering datang dengan gejala ringan atau atipikal, yang sering menyebabkan diagnosis yang terlambat bahkan keliru. Pasien lanjut usia juga memiliki risiko perdarahan yang lebih tinggi disertai komplikasi lainnya, mengingat kecenderungan fungsi ginjal yang menurun serta prevalensi komorbiditas yang tinggi pada kelompok ini.

Pemberian dosis yang tepat perlu diperhatikan pada pemberian antitrombotik, untuk pasien lanjut usia dan gagal ginjal (Kelas I-B). Disfungsi ginjal dapat ditemukan pada 30-40% pasien SKA dan berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk, serta peningkatan risiko perdarahan. Keputusan pemberian reperfusi pada pasien STEMI, seyogyanya dibuat sebelum tersedianya penilaian fungsi ginjal. Namun laju filtrasi glomerulus perlu diperkirakan dari saat pasien datang, mengingat pasien SKA dengan PGK sering mengalami overdosis antitrombotik, yang akan menyebabkan peningkatan risiko perdarahan. Untuk pasien-pasien dengan perkiraan klirens kreatinin <60 mL/menit, penyesuaian dosis aspirin, clopidogrel, ticagrelor, fondaparinuks dan heparin yang tidak terfraksi (dosis bolus) tidak diperlukan. Sampai saat ini, belum ada informasi mengenai dosis ticagrelor dan fondaparinuks untuk pasien dengan ESRD atau yang menjalani dialisis. Untuk enoksaparin, dosis bolus tidak memerlukan penyesuaian, tetapi setelah trombolisis, pasien dengan klirens kreatinin <30 mL/menit hanya diberikan dosis subkutan sekali setiap 24 jam. Pada pasien dengan insufisiensi ginjal moderat (GFR 30-59 mL/menit), dosis infus inisial bivalirudin diturunkan menjadi 1,4 mg/kg/jam, sedangkan dosis bolus tidak diubah. Bivalirudin diindikasikontrakan pada pasien dengan insufisiensi ginjal berat (GFR <30 mL/menit) dan pasien dialisis.

Buka Sumbatan Pembuluh Darah dengan Terapi Reperfusi