Komplikasi anemia defisiensi besi pada anak-anak meliputi gangguan sistem kardiovaskular, sistem imun, gangguan perkembangan, psikomotor serta kognitif.
IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) mencatat, anak yang jumlahnya 30% dari populasi penduduk Indonesia, 40%-nya mengalami anemia defisiensi besi. Studi kohort (Ringoringo HP; 2008) menyatakan, pada 211 bayi (0 bulan) selama 6 dan 12 bulan didapati insiden ADB 40,8% dan 47,4%.
Angka kejadian anemia defisiensi besi (ADB) lebih tinggi pada bayi, terutama bayi prematur (sekitar 25-85%) dan bayi yang mengonsumsi ASI ekslusif tanpa suplementasi. Pada usia balita, prevalensi tertinggi terjadi pada tahun kedua kehidupan, akibat rendahnya asupan besi melalui diet dan pertumbuhan yang cepat pada tahun pertama.
“Tidak gampang menurunkan prevalensi anemia defisiensi besi pada anak. WHO mencatat, ADB sebagai top 10 penyakit di dunia. Pada tahun 2015, target penurunan 50%. Tidak tercapai. Dengan angka ADB yang cukup tinggi, direkomendasikan pemberian suplementasi besi tanpa lebih dulu melakukan pemeriksaan khusus. Bahkan tanpa perlu melakukan uji tapis,” papar Prof. Dr. dr. Djajadiman Gatot, SpA(K).
Kekurangan besi, dengan atau tanpa anemia, terutama yang berlangsung lama dan terjadi pada rentang usia 0-2 tahun, dapat mengganggu tumbuh kembang anak. Antara lain menimbulkan defek pada mekanisme pertahanan tubuh dan gangguan perkembangan otak. Walau status anemia defisiensi besi bisa dipulihkan dengan transfusi atau suplementasi besi, gangguan perkembangan otak yang sudah terjadi tidak bisa dikembalikan (irreversible).
“Hb bisa menjadi normal. Tapi efek gangguan perkembangannya menetap; masalah kognitif, motorik dan lainnya berbeda. Skornya lebih rendah dibanding bayi tanpa ADB,” papar dr. Murti Andriastuti, SpA(K), Ketua Satuan Tugas Anemia Defisiensi Besi (ADEBE) IDAI.
Zat besi diserap di usus dalam bentuk ferrous, kemudian diikat oleh protein. Zat besi yang dalam bentuk ferri, harus diubah dulu ke dalam bentuk ferrous. Zat besi heme adalah sumber zat besi penting, lebih efektif diserap dibanding zat besi non heme. Zat besi heme memiliki komposisi kimia, berupa ion yang ferrous. Zat besi ferrous banyak terdapat pada bahan makanan hewani. Sedangkan zat besi ferri, banyak terdapat pada mananan nabati. Sebanyak 5-35% zat besi heme, terserap dalam satu kali makan. Sementara zat besi nonheme, hanya dapat terserap 2-20%.
Menurut Prof. Dr. dr. Soedjatmiko, Sp.A(K), M.Si, secara khusus besi menunjang perkembangan otak dan kecerdasan anak. Mempercepat pertumbuhan dendrit dan menunjang proses mielinisasi, yang berpengaruh pada kecepatan pemrosesan informasi, kreativitas dan pemecahan masalah.
Berdampak pula pada gangguan metabolisme di hipokampus (pusat kendali emosi), dan prefontal (pusat kendali kognitif). Kekurangan besi, selain menyebabkan kecerdasan dan prestasi sekolah rendah, ketrampilan pemecahan masalah kurang dan menimbulkan gangguan perilaku seperti hiperaktif, sulit mengendalikan diri dan emosi.
“Sejak hamil, ibu tidak boleh kekurangan besi. Juga sejak bayi, balita, pra remaja dan usia remaja,” tambah Prof. Soedjatmiko. “Sejak pemberian MPASI (makanan pendamping ASI) menu anak sudah harus dengan gizi seimbang. Riskesdas (2013) menyatakan, pola makan orang Indonesia saat ini hanya mampu mencukupi kebutuhan zat besi 50-70%. Perlu suplementasi Fe.”
Tubuh mempunyai mekanisme mencegah anemia. Saat tubuh butuh besi, akan mengambil dari cadangan besi (feritin). Tahap deplesi besi ini ditunjukkan dengan kurangnya feritin, sementara besi yang beredar dan kadar hemoglobin normal. Berikutnya, jika semakin berkurang maka besi yang beredar menipis, tapi Hb-nya tetap normal. Ini tahap defisiensi besi. Paling akhir adalah anemia, saat kadar Hb turun. Hasil penelitian FKUI, 75% dari 47 anak dengan Hb normal menunjukkan: satu anak pada stadium I (deplesi), 34 anak stadium II (defisiensi).
“Pada fase deplesi dan defisiensi, sebaiknya suplementasi sudah diberikan. Jangan menunggu sampai anemia. Pada bayi yang cukup bulan, kandungan besi dari ibu mulai menurun sampai bayi usia 4 bulan. Pada yang kurang bulan lebih cepat lagi, sekitar 1-2 bulan,” terang dr. Murti.
Masalahnya, gejala klinis (pucat, lemah, letih, lesu) belum muncul sebelum adanya penurunan Hb. Anak masih aktif dan ceria, sehingga orangtua tidak menyadari ada masalah. Dibutuhkan beberapa pemeriksaan dengan sample darah yang cukup banyak, untuk mengetahui kadar Hb. Kriteria diagnosis ADB menurut WHO, meliputi kadar hemoglobin kurang dari normal sesuai usia, konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata <31% (normal: 32 – 35%), kadar Fe serum <50 µg/dL (normal: 80-180 µg/dL), dan saturasi transferin <15% (normal: 20-25%).
The American Academy of Pediatrics (AAP) menganjurkan melakukan pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit, setidaknya satu kali pada usia 9-12 bulan. Diulang 6 bulan kemudian, atau pemeriksaan tambahan setahun sekali pada usia 2-5 tahun. Ini dilakukan terutama pada populasi risiko tinggi, seperti bayi prematur, BBLR dan riwayat mendapat perawatan lama di unit neonatologi. Juga pada anak dengan riwayat perdarahan, infeksi kronis, mendapat ASI ekslusif tanpa suplementasi dan mengonsumsi susu sapi segar pada usia dini.
“Dengan satu pemeriksaan reticulocyte hemoglobin content, kandungan besi di retikulosit dapat merepresentasikan jumlah besi di sumsum tulang. Jika kadar besi di retikulosit rendah, harus berpikir anak ini mengalami deplesi atau defisiensi besi, tanpa harus melakukan pemeriksaan lain yang lebih mahal,” tambah dr. Murti.
Cara lain untuk menentukan ADB, yakni dengan melakukan percobaan pemberian preparat besi. Bila dengan preparat besi dosis 3-6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar hemoglobin 1-2 g/dL, dapat dipastikan yang bersangkutan menderita ADB.
Memilih preprarat besi
Di Indonesia, kasus anemia defisiensi besi mulai muncul pada masa pemberian makanan pendamping ASI. Muncul masalah sulit makan dan asupan MPASI, dengan kadar besi yang tidak adekuat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2016) merekomendasi pemberian preparat besi tanpa skrining, jika prevalensi anemia defisiensi besi di suatu daerah >40%.
“Penelitian multi center menyatakan, anemia pada anak usia 6 bulan – 2 tahun 55%. Mengacu ini, sebaiknya bayi usia ini diberi suplementasi Fe tanpa skrining. Diberikan selama 3 bulan, ditambah 2 bulan setelah Hb normal untuk cadangan besi,” tutur dr. Murti.
Dalam Seri Pediatri 2009 dijelaskan, diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala pucat menahun tanpa disertai perdarahan (petekie, ekimosis, atau hematoma) maupun pembesaran organ, dan dipastikan dengan pemeriksaan kada besi dalam serum. Terapi besi dosis 3-6 mg besi elemental/kgBB/hari, diberikan pada semua pasien ADB dengan monitor kenaikan kadar hemoglobin setelah 2-4 minggu. Terapi dilanjutkan 4-6 bulan setelah kadar Hb normal. Suplementasi besi harus diberikan pada kelompok risiko tinggi.
Rekomendasi terbaru (Clin Perinal 2009; Pediatrics 2010) menyatakan, suplementasi besi sebaiknya diberikan mulai usia 4-8 minggu. Dilanjutkan sampai usia 12-15 bulan, dengan dosis tunggal 2-4 mg/kgBB/hari tanpa melihat usia gestasi dan berat lahir. Untuk anak usia balita dan sekolah, suplementasi besi tanpa skrining diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari (bisa sampai 30 mg/hari), selama 3 bulan. Pada remaja laki-laki/perempuan diberikan dosis 60 mg/hari selama 3 bulan. The Journal of Nutrition (2002) menulis, pemberian secara intermiten 2 kali/minggu selama 17 minggu pada remaja perempuan, terbukti meningkatkan feritin serum dan free erythrocyte protoporphyrin (FEP).
Memilih preparat besi yang sesuai dengan anak menjadi penting. “Pemerintah sudah memiliki program pemberian suplementasi besi ferrous sulfate gratis. Sayang rasanya tidak enak, membuat mual muntah,” terang Prof. Soedjatmiko.
Jenis preparat besi lainnya adalah iron polymaltose complex (IPC). Penelitian menyatakan, preparat besi ini memiliki efikasi dan tingkat toleransi yang mirip dengan preparat besi lain, pada dewasa. Namun masih sedikit penelitian yang dilakukan untuk anak-anak. Salah satu riset pada anak dilakukan oleh Beril Yasa, Leyla Agaoglu dan Emin Unuvar dari Department of Pediatric Hematology/Oncology, Istanbul Medical School, University of Istanbul, Turki.
Peneliti membandingkan efikasi, tingkat toleransi dan penerimaan IPC vs. ferrous sulfate, pada kasus ADB anak. Ini merupakan studi prospective open-label yang dilakukan selama 4 bulan, pada 103 anak dengan ADB usia >6 bulan. Secara acak, mereka mendapatkan IPC sekali sehari atau ferrous sulfate dua kali sehari; keduanya dosis 5 mg/kgBB/hari. Rerata peningkatan Hb pada bulan 1 dan 4 pada kelompok IPC adalah 1,2 ± 0,9 g/dL dan 2,3 ± 1,3 g/dL. Dengan pemberian ferrous sulfate, rerata peningkatan sekitar 1,8 ± 1,7 g/dL dan 3,0 ± 2,3 g/dL.
Efek samping gastrointestinal (mual, muntah, konstipasi dan diare) terjadi pada 26,9% subyek dengan IPC, dan 50,9% pada pasien ferrous sulfate. Skor rata-rata penerimaan (acceptability) pada bulan ke 4 lebih baik dengan IPC dibanding ferrous sulfate (1,63 ± 0,56 vs 2,14 ± 0,75). Riset yang dipublikasikan dalam International Journal of Pediatrics (2011) menyimpulkan, IPC dan ferrous sulfate memiliki tingkat efikasi yang sebanding. Namun IPC lebih bisa diterima pasien anak dan lebih sedikit memberi efek samping gangguan pencernaan.
“Orangtua harus pintar-pintar memilih preparat besi untuk anak. Ada preparat yang menimbulkan mual untuk satu anak, tapi tidak pada anak yang lain,” tutur dr. Murti. (jie)