Anemia defisiensi besi (ADB) memunculkan risiko pada ibu hamil dan janin, berupa preeklamsi, infeksi hingga kematian bayi.
Secara fungsional, tubuh calon ibu akan mempersiapkan diri saat mengalami kehamilan. Terjadi perubahan bentuk, untuk memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang dikandung, seperti meningkatnya volume darah. Bila peningkatan volume ini lebih cepat dibanding produksi sel darah merah, konsentrasi darah berkurang yang artinya terjadi anemia, khususnya ADB.
Anemia defisiensi besi pada ibu hamil bisa berakibat serius, berisiko menyebabkan hipoksia pada janin. Gangguan suplai oksigen dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin. Dampak yang paling ditakutkan pada bayi adalah, risiko prematuritas dan berat badan lahir rendah (BBLR). Adapun risiko bagi ibu, yakni terjadi perdarahan atau kontraksi yang kurang baik pascapersalinan; terutama bila anemia terjadi di trimester III, atau preeklamsia.
Selama kehamilan, terjadi peningkatan kapasitas pengikatan zat besi oleh protein. Peningkatan ini ditengarai akibat adanya penurunan zat besi serum, sehingga meningkatkan jumlah protein dalam darah yang tidak terikat zat besi. Asupan besi normal sekitar 15-20 mg/hari. Dalam kondisi normal, perempuan hanya mampu antara 1,0-1,5 mg/hari. Saat hamil, total jumlah zat besi yang dibutuhkan sekitar 1000 mg. Beberapa penelitian seperti Viteri FE (1994), Perry GS (1995) dan Scholl TO (2005) menyatakan, hampir 50% wanita mengalami kekurangan cadangan besi menjelang kehamilan.
Kebutuhan tambahan zat besi sampai usia kehamilan 40 minggu, dan selama 25 minggu masa menyusui (tanpa menstruasi) adalah 400 mg. Ballart JF, et al., dalam Public Health Nutrition (2001) menyatakan kebutuhan zat besi tambahan selama masa kehamilan adalah 3,3 mg/hari, dengan perhitungan proses absorbsi zat besi baru terjadi saat usia kehamilan 24 minggu.
Ibu hamil dengan ADB, memiliki masa kehamilan yang lebih singkat dibanding yang non anemia, atau anemia tapi bukan defisiensi besi. Sebuah studi prospektif menunjukkan, semua ibu hamil yang anemia memiliki risiko lebih tinggi terhadap persalinan prematur, dibanding perempuan non anemia. Kelompok anemia defisiensi zat besi berisiko dua kali lebih besar, dibandingkan mereka yang anemia secara umum.
Corazon Zaida N. Gamila, MD, FPOGS, dari University of Santo Tomas Hospital, Manila, Filipina, menjelaskan risiko defisiensi besi makin besar, pada wanita vegetarian. Diperburuk jika mereka tinggal di kota besar dengan aktivitas padat, tingkat stres tinggi dan memiliki life style yang tidak sehat.
“Produk daging adalah sumber besi paling baik, dibanding sayur. Pada mereka ini sangat disarankan mendapat suplementasi Fe dosis tinggi. Apalagi jika sudah memasuki trimester kedua, dimana kebutuhan besi lebih banyak,” papar anggota Philippine Society for Gynecologic Endoscopy ini.
Zat besi yang berasal dari bahan makanan hewani, dapat diabsorbsi sebanyak 20-30%, sedangkan zat besi dari tumbuh-tumbuhan hanya sekitar 5%. Proses penyaluran Fe dari ibu ke janin diatur melalui proses penyerapan besi dari sirkulasi ibu, melewati penyerapan di plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi janin.
Serum feritin meningkat pada usia kehamilan 12-25 minggu. Sedangkan serum transferin membawa zat besi dari sirkulasi ibu ke reseptor transferin, yang terletak di permukaan apikal sel sinsitiotrofoblas plasenta. Zat besi akan dilepaskan dan apotransferin dikembalikan ke sirkulasi ibu. Zat besi kemudian bebas mengikat feritin dalam sel-sel plasenta, dan keluar sebagai holotransferin dalam sirkulasi janin. Ketika status gizi ibu kurang, jumlah reseptor transferin plasenta meningkat sehingga zat besi lebih banyak diambil plasenta dan ditransportasi untuk janin.
Dr. Gamila menjelaskan, penting untuk memerhatikan pemilihan waktu konsumsi suplementasi Fe. Hal ini dapat menentukan tingkat penyerapan besi. Penyerapan maksimal, jika preparat diberikan saat lambung kosong. Hanya saja, hal ini berisiko menyebabkan mual dan mengiritasi. Sementara jika diberikan sesaat setelah makan, berisiko mengganggu penyerapan. Idealnya, preparat besi diberikan di sela waktu makan, ketika lambung tidak dalam kondisi kosong tapi tidak setelah makan.
“Penting memerhatikan jenis suplemen Fe yang dikonsumsi . Beberapa jenis membuat perut mual, sehingga pasien justru tidak mau makan. Ini akan memperparah kondisi anemia,” terangnya. Dianjurkan memilih preparat besi yang tidak diabsorbsi di lambung, atau yang menggunakan teknologi time release, sehingga tidak menimbulkan gangguan berlebihan.
Zat gizi lain dapat menghambat proses absorbsi Fe, seperti tannin dalam teh, fosfitin dalam kuning telur, protein kedelai, phytat, asam folat, kalsium dan serat pada makanan. Protein nabati maupun hewani, tidak meningkatkan absorbsi zat besi. Tetapi, jika daging, ikan dan ayam ada dalam menu makanan meskipun sedikit, akan meningkatkan absorbsi zat besi non heme yang berasal dari sereal dan tumbuh-tumbuhan.
“Di satu sisi vitamin C berperan meningkatkan absorbsi besi,” imbuh dr. Gamila. Studi Theil EC, Matzapetakis M, dkk., menyatakan, vitamin C dapat meningkatkan absorbsi zat besi non heme hingga empat kali lipat. Vitamin C dan zat besi akan membentuk senyawa askorbat besi kompleks, yang mudah larut dan diabsorbsi.
Risiko preeklamsia
Hal yang perlu diantisipasi adalah kejadian preeklamsia pada ibu hamil dengan anemia defisiensi besi berat. “Ada hubungan langsung antara stres oksidasi dan kejadian preeklamsia,” terang dr. Gamila. Saturasi hemoglobin, haematokrit, zat besi serum, serum ferritin dan transferrin secara signifikan meningkatkan risiko ibu hamil menderita preeklamsia. Kelebihan besi dianggap sebagai faktor penyebab dalam stres oksidatif, yaitu dalam bentuk radikal yang terlibat dalam patogenesis preeklampsia.
Morris M, Gopaul NK, dkk., dalam B.J Obsetric and Gynecology (1998) menyebutkan, kadar produk peroksidasi lipid dalam darah yang meningkat di masa kehamilan, berhubungan dengan kejadian preeklamsia. Besi dan protein hematin berperan penting sebagai katalisator peroksidasi lemak di jaringan. Besi yang memicu peroksidasi lipid, mungkin difasilitasi oleh hiperlipidemia sebagai akibat dari mobilisasi luar biasa lemak, yang terjadi di masa kehamilan.
Di satu sisi, ion besi dalam penyimpanan atau sebagai protein transportasi, dapat menstimulasi reaksi radikal bebas. Seperti Feton yang mengarah pada pembentukan hydroxyl radical (OH) dan ion ferryl 2 (FeO‚ +) dan peroksida lipid yang sangat reaktif.
AbdelAzeim A Ali dkk., dari Fakultas Kesehatan Universitas Kassala, Sudan, meneliti hubungan anemia dan risiko preeklamsia. Risetnya diterbitkan di jurnal BMC Research Notes 2011. Pada studi retrospektif ini, peneliti mengambil sampel ibu hamil dengan anemia berat (Hb<7 g/dl; n=303) yang melahirkan pada Januari 2008 – Desember 2010. Kemudian dibandingkan dengan ibu hamil dengan anemia ringan/sedang (Hb = 7-10,9 g/dl; n=303), dan yang tidak menderita anemia (Hb>11 g/dl; n=303).
Sebagai ukuran adalah kejadian preeklamsia, eklamsia, kelahiran prematur, BBLR dan janin meninggal dalam kandungan. Peneliti menghitung, ada 9578 kelahiran; 4012 (41,8%) pada responden anemia ringan/sedang, dan 303 (3,2%) anemia berat. Dibanding partisipan tanpa anemia, risiko BBLR 2,5 kali lebih tinggi pada wanita dengan anemia sedang/ ringan, dan 8 kali lipat pada anemia berat. Risiko kelahiran prematur meningkat signifikan, sesuai derajat keparahan anemia; OR= 3,2 pada anemia sedang/ringan, dan OR= 6,6 pada anemia berat. Risiko kematian janin dalam kandungan, hanya terjadi pada responden dengan anemia berat (OR=4,3).
Suplementasi Fe
Kebutuhan suplementasi zat besi selama kehamilan tampak nyata. Berbagai studi, seperti dilakukan Liu XN, dkk., dalam FASEB Journal (1994); Ridwan E, di American Journal of Clinical Nutrition (1996) menyatakan, pemberian zat besi seminggu sekali memberi hasil yang sama efektifnya dengan suplementasi besi rutin tiap hari.
Hasil studi pada ibu hamil di China, yang diberi suplementasi zat besi 1x seminggu selama 4 bulan dengan dosis 120 mg zat besi ferrous sulfate, memiliki konsentrasi Hb sama dengan mereka yang menerima zat besi ferrous sulfate dengan dosis harian 120 dan 60 mg. Hampir tidak ada efek samping, pada perempuan yang mendapat suplementasi mingguan. Sementara, dosis harian 60 dan 120 mg menyebabkan 9% dan 19% penolakan, terhadap skema suplementasi. Peneliti menyimpulkan, dengan alasan kepraktisan dosis mingguan tampak lebih efektif daripada kedua dosis harian.
Namun karena tidak semua ibu hamil mengalami anemia defisiensi besi, pemberian suplementasi Fe tanpa pemeriksaan kadar feritin darah menyebabkan penimbunan zat besi berlebihan, dan peningkatan kekentalan darah. Hal ini berdampak buruk pada aliran darah utero-plasenta.
Peninggian kadar feritin darah pada trimester ketiga, juga ditemukan pada defisiensi asam folat. Infeksi dan inflamasi terutama pada fase akut, meningkatkan kadar feritin. Pada keadaan infeksi, makrofag akan menghasilkan sitokin proinflamasi, yang menghasilkan ROS (reactive oxygen species), yang akan melepaskan ion besi bebas dari feritin.
Stres oksidatif merupakan pemicu terjadinya proses aging, keganasan dan penyakit kadiovaskuler. Lao TT, dari Department of Obstetrics and Gynaecology, The University of Hong Kong, dalam Diabetes Medicine (2001) menyatakan, kelebihan zat besi dan stres oksidatif, dapat memicu berbagai keadaan patologis; termasuk DM tipe 2. (jie)