Ethicaldigest

Obstructive Sleep Apnea (OSA):Faktor Risiko dan Gejala Klinis

Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah salah satu gangguan tidur yang kompleks. Di sini, terjadi obstruksi jalan nafas atas secara periodik selama tidur. Selanjutnya menyebabkan nafas berhenti secara intermiten, baik komplit (apnea = henti napas yang terjadi > 10 detik) atau parsial (hipopnea =sumbatan parsial pada jalan napas disertai turunnya saturasi oksigen > 3%, lamanya > 10 detik). Menurut dr. Khairan Irmansyah, MKes, SpTHT-KL, dari RS OMNI Alam Sutera, Tangerang Selatan, angka kejadian obstructive sleep apnea sekitar 2-4% pada orang dewasa. Angka kejadian OSA derajat sedang hingga berat yang tidak terdiagnosis, mencapai 82% pada laki-laki dan 93% pada wanita. Obstructive sleep apnea didiagnosa berdasarkan jumlah frekuensi penurunan aliran udara karena kolapsnya saluran nafas atau apnea-hipopnea index (AHI) lebih dari 5 kali dalam 1 jam tidur. Kondisi tersebut selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya periode arousal (terbangun atau gelisah dalam tidur), lalu  tidur kembali. Dari beberapa publikasi diketahui bahwa  24% pria dan 9% wanita dewasa mempunyai angka kejadian atau AHI lebih dari 5x/jam. Dilaporkan juga, gejala OSA setidaknya terjadi pada 4% pria, 2% wanita dan 1 – 3% pada anak-anak; termasuk gejala daytime hyper somnolence (mengantuk berlebihan) akibat kejadian apnea-hipopnea. Ada empat penelitian berskala besar yang menyatakan bahwa 1 dari 5 orang dewasa kulit putih dengan rata-rata indeks masa tubuh (IMT) 25-28 kg/m2 memiliki AHI > 5x/jam. Sedangkan 1 dari 15 penderita OSA memiliki AHI > 15. Derajat OSA dinilai berdasar pada nilai apnea-hypopnea index (AHI) yang diukur menggunakan polisomnografi. Derajat OSA dibagi menjadi:

1.     Ringan AHI=5-14

2.     Sedang AHI=15-29

3.     Berat AHI > 30

4.     Jika AHI masih kurang dari <4, pasien masih dinyatakan dalam kondisi normal.

Faktor presdisposisi (pencetus) Obstructive Sleep Apnea Beberapa faktor presdisposisi OSA di antaranya adalah obesitas, ukuran lingkar leher, umur, jenis kelamin, hormon, dan kelainan anatomi saluran nafas. Obesitas dilaporkan sebagai faktor utama, yang dapat meningkatkan risiko terjadinya OSA. Berbagai kepustakaan menyatakan bahwa penderita OSA setidaknya memiliki indeks masa tubuh (IMT) satu tingkat di atas normal. Dalam beberapa penelitian diketahui, pada populasi dewasa dengan IMT >30 kg/m2, memiliki prevalensi OSA > 50%. Penelitian lainnya melaporkan bahwa ukuran lingkar leher laki-laki >43 cm dan perempuan >37 cm meningkatkan AHI. Obesitas dapat mengubah volume dan anatomi saluran napas. Lidah bisa terangkat sehingga mengurangi volume saluran nafas atas. Demikian juga dengan kelainan anatomi seperti hipertrofi tonsil, deviasi septum, hipertrofi konka, dan anomaly maksilofasial seperti mikrognatia, retrognatia, hipertrofi adenoidtonsil, makroglosia dan akromegali. “Disarankan agar pasien OSA mengurangi berat badan,” kata dr. Rimawati. Patogenesis dan patofisiologi Setidaknya ada 3 faktor utama yang berperan dalam pathogenesis OSA. Di antaranya, obstruksi saluran nafas daerah faring akibat pendorongan lidah dan palatum ke belakang, yang dapat menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring. Selanjutnya menyebabkan terhentinya aliran udara, meski pernafasan masih berlangsung saat tidur. Kondisi ini mengakibatkan apnea, afiksia sampai periode arousal. Faktor kedua yang berperan, adalah ukuran lumen faring yang berfungsi menjaga keseimbangan tekanan faring saat terjadinya tekanan negatif, intratorakal akibat kontraksi diagfragma. Kelainan fungsi kontrol neuromuskular pada otot dilator faring, berperan terhadap kolapsnya saluran nafas. Defek kontol ventilasi di otak, menyebabkan kegagalan atau terlambatnya refleks otot di lator faring, saat pasien mengalami periode apnea hipopnea. Faktor ketiga adalah kelainan kraniofasial, mulai dari hidung sampai hipofaring yang dapat menyebabkan penyempitan pada saluran nafas atas. Kelainan daerah ini dapat menghasilkan tahanan tinggi. Tahanan ini adalah faktor  predisposisi kolapsnya saluran nafas atas. Kolaps nasofaring ditemukan pada 81% dari 64 pasien OSA, 75% di antaranya memiliki lebih dari satu penyempitan saluran nafas atas. Periode apnea adalah waktu saat terjadinya henti nafas, yang berlangsung selama 10 detik atau lebih. Semantara periode hipopnea adalah terjadinya keadaaan reduksi aliran udara, sebanyak kurang lebih 30% selama 10 detik, yang berhubungan dengan penurunan saturasi oksigen darah sebesar 4%. Dalam kasus ini, apnea terjadi karena kolapsnya saluran nafas atas secara total, sedangkan hipopnea merupakan kolaps sebagian. Gejala Klinis OSA sering tidak terdeteksi, karena terjadi saat pasien tidur. Namun, dapat diketahui melalui gejala yang terjadi pada siang hari, salah satunya adalah daytime hypersomnolence. Sayangnya, gejala ini tidak dapat dinilai secara kuantitatif, karena pasien sering sulit membedakan rasa kantuk dengan kelelahan. Sekitar 30% pria dan 40% wanita dewasa dengan nilai AHI >5x/jam, merasa tidak segar saat bangun. Dilaporkan 25% pria dan 30% wanita dewasa mengeluh mengantuk berlebihan di siang hari. Menurut dr. Rima, gejala klinis yang juga timbul pada penderita OSA, di antaranya adalah; mendengkur (95%), mengantuk (75%), tidur tidak nyenak (69%), perubahan mental (58%), perubahan perilaku (48%), impotensi (40%), sakit kepala (35%) dan nokturia (30%). Epworth Sleepiness Scale (ESS) dan Standford Sleepiness Scale (SSS) merupakan quisioner yang mudah dan cepat digunakan, untuk menilai gejala rasa kantuk. Secara langsun, skala ini tidak berhubungan dengan indeks apnea-hipopnea. Penyebab daytime hyper somnolence, adalah karena tidur yang terputus-putus (terfragmentasi), pasien terbangun (micro arusal karena adanya gangguan pernafasan saat tidur. Dilaporkan, 50% penderita OSA mempunyai tekanan darah di atas normal. Banyak penelitian membuktikan bahwa hipertensi sering terjadi akibat sleep apnea. Dilaporkan juga bahwa risiko serangan jantung dan stroke meningkat pada penderita OSA. /Diagnosa Obstructive Sleep Apnea: dari Anamnes hingga Polisomnografi

Add comment