Ethicaldigest

Imunoterapi Generasi Baru

Interaksi ligan PD-L1 kanker dengan reseptor PD-1 sel T membuat sel T inaktif. Pembrolizumab menghambat interaksi ini sehingga sel T kembali aktif. Terapi baru yang menjanjikan bagi melanoma dan kanker paru.

Saat sampel kanker dilihat di bawah mikroskop, akan tampak titik-titik hijau yang menginfiltrasi kanker. Titik-titik tersebut adalah sel T tubuh. Ini berarti, sistem imun mengetahui keberadaan kanker hingga mengirim pasukan sel T untuk membasmi. “Namun sesuatu menahan mereka untuk mundur dan tidak jadi menyerang,” ujar Tanguy Seiwert, Associated Director pada Program Kanker Leher dan Kepala di Universitas Chicago, Amerika Serikat, pada ESMO Asia beberapa waktu lalu.

Sel kanker mengeluarkan antigen pada permukaannya, kemudian ditangkap oleh antigen-presenting cell tubuh seperti sel dendritik. “Sel dendritik mengolah informasi tersebut dan mengenali sebagai sel kanker, lalu meneruskannya ke sel T,” terang dr. Richard Quek, Deputy Head of Division Medical Oncology di Pusat Kanker Nasional Singapura NCCS. Sel T menjadi aktif dan bergerak menuju kanker. Selanjutnya antigen kanker yang sebelumnya sudah dikenali oleh sel dendritik sebagai penanda kanker, ditangkap sel T, dan penyerangan pun dimulai. Inilah proses alami yang seharusnya terjadi.

Namun, tubuh memiliki mekanisme untuk meredam aktivitas sel T. Ini muncul saat terjadi gangguan yang bersifat kronis, misalnya infeksi hepatitis B. Ketika sel dendritik terus menyampaikan informasi, sel T akan mengabaikan. Tujuannya, mencegah stimulasi berlebihan karena overstimulasi sel T dapat menyebabkan peradangan kronis. Mekanisme ini digunakan oleh sel kanker, dengan menstimulasi sel T secara kronis sehingga tercipta toleransi sistem imun, membuat kanker dapat bersembunyi di selubung.

‘Selubung’ berupa interaksi antara ligan PD-L1 atau PD-L2 sel kanker dengan reseptor PD-1 sel T. “Interaksi ini menyebabkan sel imun menjadi inaktif,” ucap Dr. Aung Myo, MD, MSc (Medical Oncology), Regional Medical Director of Oncology di Merck Sharp & Dohme Asia Pasifik. Imunoterapi generasi terbaru yang disebut checkpoint blockage seperti pembrolizumab, bekerja dengan memblok interaksi ini. Dengan dihalanginya perikatan antara PD-1 dengan PDL-1, selubung kanker pun tersingkap. “Sel T kembali aktif dan menyerang sel kanker,” tegas dr. Tanguy. Berbagai jenis kanker mengekspresikan PD-L1dalam kadar tertentu. Kanker melanoma dan kanker paru, termasuk yang banyak mengekspresikan.

Insiden melanoma di Indonesia relatif sedikit, tapi angka kematiannya >50%. Berdasarkan data Globocan 2012, insiden melanoma di Indonesia diperkirakan 1.069, dengan 543 kematian. Adapun kanker paru merupakan jenis kanker terbanyak pada laki-laki, di dunia maupun Indonesia. Di Indonesia, insidennya mencapai 25.322 dan angka kematiannya sangat tinggi: 22.525 (Globocan 2012).

Penelitian fase III (KEYNOTE-006) membandingkan efektivitas dan keamanan pembrolizumab dan ipilimumab pada pasien melanoma stadium III atau IV, yang belum pernah mendapat terapi CLTA-4, PD-1 atau PD-L1 inhibitor. Sebanyak 834 pasien dari 83 tempat di 16 negara, secara acak dibagi untuk menerima: pembrolizumab 10 mg/kg tiap 2 minggu (n = 279), pembrolizumab 10 mg/kg tiap 3 minggu (n = 277), atau empat siklus ipilimumab 3 mg/kg tiap 3 minggu (n = 278).

Analisis interim pertama menunjukkan penurunan risiko progresi penyakit hingga 42%, dengan pembrolizumab. Pada analisis interim kedua, diperkirakan 74,1% pada kelompok pembrolizumab 2 minggu dan 68,4% pada kelompok dosis 3 minggu vs 58,2% ipilimumab, yang menunjukkan keseluruhan survival rate 12 bulan. Tampak perbaikan 37% pada survival rate. Disimpulkan oleh dr. Richard, “Pembrolizumab menunjukkan hasil yang lebih baik dalam menyusutkan tumor, memperlambat perburukan penyakit , memperbaiki keseluruhan survival dan yang paling penting, toksisitas dan efek samping lebih sedikit.” Untuk kanker paru, dilakukan percobaan fase II/II KEYNOTE-010 yang membandingkan pembrolizumab dengan docetaxel pada 1034 pasien NSCLC stadium lanjut. Mereka dibagi untuk menerima pembrolizumab dosis 2 mg/kg (n = 244) atau 10 mg/kg selama tiga minggu (n = 346), atau docetaxel 75 mg/m2 sekali dalam tiga minggu (n = 343). Overall survival secara signifikan lebih lama pada kelompok pembrolizumab, ketimbang di kelompok docetaxel. Pasien yang menerima pembrolizumab mengalami efek samping derajat 3-5 yang lebih sedikit (13% pada dosis 2 mg dan 16% pada dosis 10 mg), vs 35% pada docetaxel. Penghentian terapi akibat efek samping juga lebih rendah pada kedua dosis pembrolizumab, ketimbang docetaxel.