Ethicaldigest

Efek Saraf Simpatetik pada Hipertensi

Banyak penderita hipertensi tidak mencapai target. Agen yang menurunkan aktivitas saraf simpatetik memiliki efek menurunkan tekanan darah.

Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang banyak terjadi dan menyebabkan beban ekonomi langsung dan tidak langsung di seluruh dunia. Angka kejadian hipertensi secara global meningkat. Diperkirakan lebih dari 7 juta kematian di dunia/tahun akibat penyakit ini.

Di Indonesia, menurut dr. Djoko Wibisono Sp,PD-KGH, dari RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, pada pertemuan ilmiah InaSH tahun 2016, ada 31,7% penderita hipertensi. Di antara pasien hipertensi, lebih dari 80% memiliki komorbiditas lain, seperti obesitas, intoleleransi glukosa, hiperinsulinemia, penurunan  HDL, peningkatan LDL, peningkatan trigliserida dan hipertrofi ventrikuler kiri.

Meski angkanya cukup tinggi, kurang dari 50% penderita hipertebsi yang mendapat pengobatan, dan lebih dari 70% yang mendapat pengobatan, tidak bisa mencapai target penurunan tekanan darah. Karenannya, perlu obat dan pendekatan yang lebih baik untuk mencapai target penurunan tekanan darah.

Terapi kombinasi menjadi pilihan dalam tatalaksana hipertensi saat ini. Alasan paling penting menggunakan terapi kombinasi, adalah untuk memperbaiki efikasi. Terapi kombinasi dengan obat-obatan yang memiliki mekanisme kerja berbeda dan saling melengkapi, dapat menghasilkan penurunan tekanan darah lebih signifikan.

ESH/ESC dan ASH/ISH merekomendasikan pemberian dua obat sebagai terapi awal harus dipertimbangkan, ketika tekanan darah lebih dari 20/10mmHg di atas nilai target. Penelitian ACCOMPLISH menganjurkan penggunaan calcium channel blocker dihydropyridine aksi panjang  plus ACE inhibitor/ARB.

Saraf simpatetik dan hipertensi

Tekanan darah dipengaruhi oleh resistensi pembuluh darah dan besarnya curah jantung. Dua variabel ini dikendalikan oleh sistim saraf otonom. Di sisi lain, volume diastolik akhir (end diastolic volume), kontraktilitas otot jantung dan detak jantung adalah variabel dependen, yang mengatur curah jantung.

Diastolik akhir ditentukan oleh tekanan vena, yang berhubungan dengan volume darah dan tonus otot halus; keduanya dipengaruhi oleh kontrol simpatetik. Sedangkan kontraktiltas otot jantung dan detak jantung dipengaruhi oleh divisi simpatetik dan parasimpatetik sistim saraf otonom.

“Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa otak mengatur tekanan darah rata-rata 24 jam dan berkontribusi terhadap proses hipertensif sangat persuasive. Namun, mekanismenya belum diketahui dengan baik,” ucap dr. Hendro Susilo, Sp.S, dari Departemen Neurologi RS Dr. Soetomo, Surabaya. Dalam satu hari, tekanan darah bisa turun naik secara substantif, sesuai perilaku orang tersebut. Tetapi  tekanan darah rata-rata selama 24 jam sangat teregulasi.

“Hipertensi berdasarkan definisi  adalah meningkatnya tekanan darah rata-rata dalam satu hari secara kronis, dan penyakit ini diketahui bersifat neurogenik jika kemungkiinan penyebabnya adalah ketidaknormalan sistim saraf otonom,” ucap dr. Hendro. 

Kontrol neuronal sistim sirkulasi darah bekerja melalui saraf-saraf parasimpatis, yang meninervasi jantung dan melalui tiga kelas eferen simpatetik barosensitif, thermosensitif dan glukosensitif kardiovaskuler yang menginervasi pembuluh darah, jantung, ginjal dan medulla adrenal.

Aferen simpatetik barosensitif dikendaikan oleh baroreseptor arteri. Eferen kelompok ini memiliki peran dominan dan mengatur tekanan darah jangka pendek dan panjang. Aktivitas ini ditunjang oleh jaringan saraf yang terletak di rostral ventrolateral medulla (RVLM), spinal cord, hipotalamus dan nucleus of the solitary tract (NTS).

Peningkatan sympathetic nerve activity (SNA) ada pada sebagian besar bentuk hipertensi pada manusia. Dan, hubungan kausal antara peningkatan SNA dengan kejadian hipertensi terdokumentasi dengan baik dalam penelitian-penelitian terapi antihipertensi dengan obat-obatan simpatolitik (antagonis reseptor adrenergen alfa atau beta).

Menurut dr. Hendro, beta blocker dan penghambat rennin angiotensin system atau mineralokortikoid reseptor antagonist dapat menurunkan aktivitas saraf simpatetik, dibandingkan pasien yang tidak mendapat pengobatan ini. Pengobatan ini juga dapat mengendalikan kontrol jantung vagal.

Dibandingkan dengan kelompok kontrol, hiperaktivitas simpatetik dan gangguan parasimpatetik terus berkembang, pada pasien rawat inap yang tekanan darahnya secara efektif diturunkan dengan pengobatan berbasis obat-obatan ini.