Ethicaldigest

dr. A. Hamid Rochanan, SpB-KBD, MKes

Saat ini cetuximab masih masuk Fornas JKN, untuk indikasikan kanker di luar kolorektal. Bevacizumab sudah dihilangkan. Menurut dr. A. Hamid Rochanan, SpB-KBD, MKes, Sekjen Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (IKABDI), dihapusnya obat tersebut membuat  dokter hanya memberi kemoterapi.

“Pasien kanker kolorektal metastasis yang membutuhkan terapi target, tidak bisa mendapatkan hak pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau sesuai indikasi medis,” urainya dalam acara Penatalaksanaan Kanker di Era BPJS Kesehatan, beberapa waktu lalu.

Alasan dihilangkannya dua obat terapi target tersebut, karena memberi beban besar bagi JKN, dan bisa diganti dengan obat kemoterapi lain (oxaliplatin dan irinitecan), menurut hasil studi HTA (Health Technology Assessment).

Masalahnya, “Studi HTA tidak melibatkan ahli bedah digestif. Menurut kami, studi HTA itu tidak benar. Sampelnya adalah yang tidak butuh terapi target. Hasilnya pasti false. Kami sudah mengirim surat protes ke Kemenkes dan meminta audiensi.” 

Oxaliplatin dan irinitecan merupakan obat kombinasi kemoterapi. Menurut dr. Hamid, Itu bukan pengganti terapi target. Terapi target utamanya dibutuhkan pasien kanker kolorektal stadium IV, yang jumlahnya hanya 36,1%.”

Setelah melalui kalkulasi berdasarkan lokasi tumor (kolon kanan atau kiri), ECOG /Karnofsky, hasil laboratorium dan penyakit penyerta, didapati pasien kanker kolorektal metastasis yang membutuhkan terapi target hanya 15-20%. Itu setara dengan 8,25% dari seluruh kanker kolorektal, atau 0,59% dari seluruh kasus kanker.

“Angkanya kecil (0,59%) tetapi justru dibuang.” Ratusan pasien kolorektal metastasis menjadi tidak jelas terapi kanker dan nasibnya. “Sebagai klinisi kami sampaikan kepada pasien, karena tidak lagi ditanggung BPJS, kalau punya jaminan pembayaran yang lain (asuransi swasta) sebaiknya digunakan. Karena secara etika profesi, itu harus tetap diberikan. Bisa memperpanjang hidup 8-11 bulan. Sangat bermakna bagi pasien.”