Ethicaldigest

Manajemen Preeklamsia

Terdapat perbedaan manajemen hipertensipada kehamilan dan di luar kehamilan.Kebanyakan kasus hipertensi di luar ke hamilanmerupakan hipertensi esensial, yang bersifatkronis. Terapi hipertensi di luar kehamilan, ditujukanuntuk mencegah komplikasi jangkapanjang, seperti stroke dan infark miokard. Sedangkan hipertensi pada kehamilan,biasanya kembali normal saat post-partum,sehingga terapi tidak ditujukan untukpencegahan komplikasi jangka panjang.

Seperti dikatakan dr. Ardiansjah Dara Sjahruddin, SpOG, MKes, preeklampsia berisiko menjadi eklampsia, sehingga diperlukan penurunan tekanandarah.Selain itu, preeklampsia melibatkan komplikasimultisistem dan disfungsi endotel,meliputi kecenderungan protrombotik,penurunan volume intravaskuler, dan peningkatanpermeabilitas endotel.

Preeklampsia onset dini (<34 minggu), memerlukanpenggunaan obat antihipertensisecara hati-hati. Selain itu, diperlukantirah baring dan monitoring terhadapibu mau pun bayi. Pasien preeklampsiabiasanya sudah mengalami deplesi volumeintravaskuler, sehingga lebih rentan terhadappenurunan tekanan darah yangterlalu cepat. Hipotensi dan penurunanaliran uteroplasenta perlu diperhatikan,karena iskemi plasenta merupakan hal pokokdalam patofi siologi preeklampsia.

Selain itu,menurunkan tekanan darah tidak mengatasiproses primernya. “Tujuan utama terapiantihipertensi adalah untuk mengurangirisiko ibu, yang meliputi abrupsi plasenta,hipertensi urgensi yang memerlukan rawatinap, dan kerusakan organ target (komplikasiserebrovaskuler dan kardiovaskuler),” jelasnya.

Risikokerusakan organ target meningkat, jikakenaikan tekanan darah terjadi tiba-tibapada wanita yang sebelumnya normotensi. Tekanan darah >170/110 mmHg merusakendotel secara langsung. Pada tekanan darah180-190/120-130 mmHg, terjadi kegagalan autoregulasi serebral yang meningkatkanrisiko perdarahan serebral. Risikoabrupsi plasenta dan asfiksia juga meningkat.

Penurunan tekanan darah yang terlalucepat dan mendadak, dapat menurunkanperfusi uteroplasenta sehingga dapatmenyebabkan hipoksia janin. Target tekanandarah adalah sekitar 140/90 mmHg.

Prinsip dasar yang meliputi airway, breathing dan circulation (ABC) harus terus dilakukan dalam manajemen kejang pada pasien preeklamsia.

Magnesium sulfat merupakan pengobatan lini pertama, untuk pencegahan kejang eklamsi primer dan berulang. Preparat ini memliki sifat antikejang dan juga sebagai vasodilator. Pada kasus kejang eklamsi yang refrakter terhadap magnesium sulfat, lorazepam dan fenitoin dapat digunakan sebagai agen lini kedua.

Pasien eklampsi dengan kejang aktif, harus ditangani menggunakan magnesium sulfat intravena  sebagai agen lini pertama. Dosisi awal 4 g, harus diberikan melalui pompa infus selama kurang lebih 5-10 menit, diikuti pemberian infus 1g/jam dan dipertahankan selama 24 jam setelah kejang terakhir. Pada kasus kejang berulang, ditambahkan pengobatan secara bolus dosis 2g atau dengan melakukan penambahan laju infus sebesar 1,5 atau 2 g/jam.

Pengobatan profilaksis menggunakan magnesium sulfat, diindikasikan pada semua pasien dengan preeklamsia berat. Namun, sampai saat ini tidak ada satu konsensus pun yang mengindikasikan terapi profilaksis menggunakan magnesium sulfat pada kasus preeklamsia ringan.

Penggunaan Obat Antihipertensi

Pada kasus hipertensi berat, di mana SBP >160 mmHg dan DBP >110 mmHg, terapi menggunakan obat anti hipertensi sangat dianjurkan. Tujuannya adalah untuk menurunkan tekanan darah, dan mencegah terjadinya komplikasi penyakit serebrovaskular dan penyakit jantung, dan tetap menjaga aliran darah uteroplasental pada kisaran 140/90 mmHg.

Meski terbukti penggunaan obat antihipertensi mampu menjegah komplikasi penyakit serebrovaskular, hal ini tidak serta merta mampu mencegah kejadian preeklamsia.

  • Hipertensi ringan-sedang.

Keuntungan dan risiko terapi antihipertensipada hipertensi ringan-sedang (tekanandarah sistolik 140-169 mmHg dan tekanandarah diastolik 90-109 mmHg) masihkontroversial. Guideline European Societyof Hypertension (ESH) / European Society ofCardiology (ESC) terbaru merekomendasikanpemberian terapi, jika tekanan darahsistolik 140 mmHg atau diastolik 90 mmHgpada wanita dengan:

  • Hipertensi gestasional (dengan atau tanpa proteinuria).
  • Hipertensi kronis superimposed hipertensi gestasional.
  • Hipertensi dengan kerusakan target organ subklinis atau adanya gejala selama masa kehamilan.
  • Hipertensi berat

ESC merekomendasikan, jika tekanan darahsistolik >170 mmHg atau diastolik >110mmHg pada wanita hamil diklasifikasikansebagai emergensi, dan merupakan indikasirawat inap. Terapi farmakologis denganlabetalol intravena, metildopa oral ataunifedipin, sebaiknya segera diberikan. Labetolol merupakan alpha blocker selektif, yang memiliki efek vasodilatasi dan menurunkan resitensi vaskular secara sitemik.

Dosis pemberian Labetolol diawali dengan 20 mg secara intravena, diikuti dosis ulangan (40, 80, 80 dan 80 mg) setiap 10 menit, hingga dosis maksimum 300 mg. Penggunaan Labetolol dapat menurunkan irama supraventrikular dan memperlambat denyut jantung, serta mengurangi konsumsi oksigen miokard. Dalam pengamatan, tidak ada perubahan afterload setelah penggunaan obat ini. Efek samping yang mungkin muncul dari penggunaan obat ini di antaranya pusing, mual dan sakit kepala. Setelah didapatkan kontrol memuaskan dari penggunaan Labetolol intravena, dosis obat oral Labetolol dapat diberikan sebagai maintenance.

Calcium channel blockers (CCBs) bekerja pada arteriolar smooth muscle, dan mengindukasi vasodilatasi, dengan cara mem-blok masuknya kalsium ke dalam sel. Nifedipine sebagai oral CCBs dapat digunakan sebagai salah satu terapi dalam manajemen hipertensi, pada kehamilan. Dosis pemberian Nifedipine 10 mg setiap 15-30 menit, dengan maksimal dosis 3x pemberian. Efek samping yang mungkin muncul dari pemberian CCBs di antaranya takikardi, palpitasi dan sakit kepala. Penggunaan CCBs dengan magnesium sulfat, sebisa mungkin harus dihindari. Nifedipine biasanya diberikan pada pasien preeklamsi, terutama setelah melahirkan untuk mengontrol tekanan darah pasien.

Obatpilihan untuk preeklampsia dengan edemaparu adalah nitrogliserin (gliseril trinitrat),infus intravena dengan dosis 5 μg/menit, ditingkatkan bertahap tiap 3-5 menithingga dosis maksimal 100 μg/menit. Furosemid intravena dapat digunakan untukvenodilatasi dan diuresis (20-40 mg bolusintravena selama 2 menit), dapat diulang40-60 mg setelah 30 menit jika responsdiuresis kurang adekuat.

Morfin intravena2-3 mg dapat diberikan untuk venodilatordan ansiolitik. Edema paru berat memerlukanventilasi mekanik.

Konseling dan Follow Up Pasca persalinan

Hipertensi sering menetap pasca-persalinan,pada pasien dengan hipertensi antenatalatau preeklampsia. Tekanan darah seringtidak stabil pada beberapa hari postpartum.Tujuan terapi adalah  mencegahterjadinya hipertensi berat. Obat antihipertensiantenatal sebaiknya diberikankembali post-partum, dan dapat dihentikandalam beberapa hari hingga beberapaminggu setelah tekanan darah normal.

Jika tekanan darah sebelum konsepsinormal, tekanan darah biasanya normalkembali dalam 2-8 minggu. “Hipertensiyang menetap setelah 12 minggu postpartum,mungkin menunjukkan hipertensikronis yang tidak terdiagnosis atau adanyahipertensi sekunder,” jelasnya.

Evaluasi post-partum perlu dilakukanpada pasien preeklampsia onset dini, preeklampsiaberat atau rekuren. Atau padapasien dengan proteinuria yang menetap. Perlu dipikirkan kemungkinan penyakitginjal, hipertensi sekunder, dan trombofilia(misalnya sindrom antibodi antifosfolipid).

Wanita yang mengalami hipertensigestasional, mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami hipertensi di kemudianhari. Setelah follow up selama 7 tahun pada223 wanita yang mengalami eklampsia,didapatkan bahwa risiko paling tinggi adalahpada wanita yang mengalami hipertensipada usia kehamilan sebelum 30 minggu.Wanita dengan hipertensi gestasional,juga mengalami resistensi insulin lebihtinggi.

Wanita preeklampsia memilikirisiko penyakit kardiovaskuler lebih tinggi,bahkan hingga bertahun-tahun pascapersalinan. Juga mempunyai risiko lebihbesar terjadinya disfungsi dan hipertrofiventrikel kiri asimptomatik, dalam 1-2 tahunpasca-persalinan. Risiko kematian karenapenyakit kardioserebrovaskuler, duakali lebih besar pada wanita dengan riwayatpreeklampsia. Wanita dengan riwayatpreeklampsia onset sebelum 34 minggu,atau preeklampsia yang disertai persalinanpreterm, mempunyai risiko kematian karenapenyakit kardiovaskuler 4-8 kali lebih besardibanding wanita dengan kehamilannormal.

Mekanismenya masih belum diketahui pasti. Tetapi, disfungsi endotel yang berkaitanerat dengan proses aterosklerosis, menetapselama bertahun-tahun setelah kejadianpreeklampsia. Tiga bulan hingga palingtidak tiga tahun pasca-persalinan, masihdidapatkan gangguan dilatasi endotel.Wanita dengan riwayat preeklampsiajuga dilaporkan lebih sensitif terhadapangiotensin II dan garam.

Penanda aktivasiendotel, meliputi vascular cell adhesionmolecule-1 dan intercellular adhesionmolecule-1, kadarnya lebih tinggi hingga >15tahun pasca-persalinan. Adanya diabetesmelitus, hipertensi kronis, dan penyakit ginjalsebelum kehamilan, dapat meningkatkanrisiko preeklampsia.

Obat antihipertensi larut lemak konsentrasinyadapat lebih tinggi di air susu ibu(ASI). Paparan neonatus pada penggunaanobat metildopa, labetalol, captopril, dannifedipin rendah, sehingga obat-obat ini dianggapaman diberikan selama menyusui.Diuretik juga didapatkan pada konsentrasirendah, tetapi dapat mengurangi produksiASI. Metildopa sebaiknya dihindari pascapersalinan,karena dapat menyebabkandepresi pasca-melahirkan.