Dermatitis didasari peradangan pada kulit. Kortikosteroid bekerja meredakan peradangan , termasuk pada dermatitis.
Dermatitis merupakan gangguan pada kulit, yang umum terjadi di masyarakat. Tidak hanya pada anak-anak, tapi juga pada orang dewasa. Kondisi ini tidak mengancam jiwa atau menular, tapi seorang dengan dermatitis merasa tidak nyaman dan hilang rasa percaya diri.
Istilah dermatitis digunakan untuk menjelaskan berbagai gangguan kulit, yang mengakibatkan ruam, merah dan gatal. Beberapa jenis dermatitis hanya mempengaruhi bagian tertentu dari tubuh, sedangkan yang lain dapat terjadi di mana saja. Beberapa jenis dermatitis memiliki penyebab yang diketahui, dan yang lainnya tidak.
Walau banyak penyebabnya, dasar patofisiologis penyakit ini adalah peradangan, yang bersifat akut, sub akut atau kronis. Menurut dr. Edwin Djuanda Sp.KK, dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik dan keluhan gatal.
Upaya pengobatan dermatitis yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik (gesekan atau tekanan yang bersifat terus menerus suatu alat), fisik (lingkungan yang lembab, panas, dingin, asap, sinar matahari dan ultraviolet) atau kimiawi (alkali, sabun, pelarut organik, detergen, pemutih, dan asam kuat, basa kuat). Bila dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi, tidak perlu pengobatan topikal dan cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering.
Kortikosteroid topikal merupakan obat yang sering diresepkan dan digunakan untuk pasien dermatologi, sejak pertama diperkenalkan pada awal tahun 1950-an. Kortikosteroid merupakan derivat hormon kortikosteroid yang dihasilkan kelenjar adrenal. Hormon ini memainkan peran penting, termasuk mengontrol respons inflamasi.
Kortikosteroid hormonal dapat digolongkan menjadi glukokortikoid dan mineralokortikoid. Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang memiliki efek utama terhadap penyimpanan glikogen hepar dan khasiat antiinflamasinya nyata. Prototip golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang merupakan glukokortikoid alami. Terdapat juga glukokortikoid sintetik, misalnya prednisolon, triamsinolon dan mometasone.
Efek terapi kortikosteroid topikal pada setiap pasien memberikan hasil berbeda. Namun, keberhasilan terapi tidak hanya bergantung pada potensi kortikosteroid topikal, tapi juga dipengaruhi frekuensi dan jumlah obat yang diaplikasikan, jangka waktu pemberian terapi, dan lokasi anatomi.
Ada perbedaan hasil pengobatan kortikosteroid topikal, meski formula generiknya sama atau dalam satu kelas yang sama. Setiap nama dagang tertentu menggunakan vehikulum berbeda. Bentuk lotion, krim, salep, ataupun gel memberikan hasil berbeda. Konsentrasi formula juga mempengaruhi potensi kortikosteroid.
Secara umum, kortikosteroid topikal potensi rendah adalah agen paling aman untuk penggunaan jangka panjang, pada area permukaan besar, pada wajah, atau daerah dengan kulit tipis dan untuk anak-anak. Kortiksoteroid yang lebih kuat berguna untuk penyakit yang parah dan untuk kulit yang lebih tebal di telapak kaki dan telapak tangan. Sementara kortikosteroid potensi tinggi dan super poten tidak boleh digunakan di selangkangan, wajah, aksila dan di bawah oklusi, kecuali dalam situasi yang jarang dan untuk durasi pendek.
Mometasone adalah kortikostroid yang diindikasikan untuk meredakan inflamasi dan manifestasi pruritus dari dermatitis, pada pasien berusia 2 tahun atau lebih. Pada pasien dengan dermatitis atopik, efek mometasone yang diberikan 1x sehari selama 2-3 minggu sama dengan glukokortikoid lain, dengan potensi yang sama, seperti betamethasone dipropionate 0,05% 2x sehari dan methylprednisolone aceponate 0,1% 1x sehari.
Mometasone 0,1% secara signifikan lebih baik dari pemberian 2x sehari glucocorticoids yang lebik kecil potensinya, seperti clobetasone 0,05%, hydrocortisone 1,0%, hydrocortisone butyrate dan hydrocortisone valerate 0,2%. Pada pasien dengan dermatitis seboroik, mometasone 0,1% lebih efektif dari ketokonazole 2,0% dan hydrocortisone 1,0% dalam penelitian yang berlangsung selama 4 atau 6 minggu.
Meski mometasone memiliki aktivitas anti inflamasi lebih baik dari betamethasone, risiko efek sistemik, seperti menekan aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) lebih kecil. Selain itu, efek atrophogenic rendah dan tidak lebih besar dari glukokortikoid lain dalam kelas yang sama, seperti betamethasone valerate.