Ethicaldigest

Bakteri Sonar

Dalam film fiksi ilmiah Fantastic Voyage (1966), se­bu­ah kapal selam dike­cil­kan sampai ke ukuran mikro, kemudian disuntikkan masuk ke dalam tubuh seorang pene­li­ti untuk memperbaiki peng­gum­palan darah di otaknya. Ka­li ini bukan film fiksi ilmiah; tim peneliti dari Caltech me­ngem­bangkan sesuatu yang mi­rip. Untuk pertama kalinya di­desain bakteri yang mampu me­mantulkan gelombang sua­ra, menyerupai kemampuan ka­pal selam memantulkan sonar untuk menunjukkan lokasi mereka.

Tujuan utama riset ini ada­lah untuk bisa menyuntikkan bakteria terapeutik ke tubuh pasien. Misalnya, memasuk­kan probiotik untuk mengatasi penyakit pencernaan, atau sebagai terapi target untuk tumor. Kemudian digunakan mesin ultrasound, untuk men­de­teksi keberadaan bakteri tersebut di dalam tubuh. Gam­bar yang muncul memung­kin­kan dokter mengetahui jika terapi berada di area target organ dan be­kerja dengan benar atau tidak. 

“Kami mendesain sel-sel bak­terial sehingga dapat me­man­tulkan kembali gelombang suara, untuk mengungkapkan lokasi mereka,” ujar Mikhail Shapiro, assistant professor di Schlinger Scholar and Heritage Medical Research Institute Investigator. “Kami ingin bisa bertanya pada bakteria ter­sebut, di mana kamu dan ba­gai­mana keadaanmu? Lang­kah pertama adalah dengan mem­visualisasikan dan mene­mu­kan lokasi mereka. Langkah be­rikutnya berkomunikasi dengan mereka.” Hasil riset ini dipublikasikan di jurnal Nature edisi Januari 2018.

Ide pemanfaatan bakteri sebagai bagian dari tatalak­sa­na medis, bukan barang baru. Pro­biotik telah digunakan pa­da kasus irritable bowel disease (IBD). Beberapa studi awal menunjukkan bahwa bak­teri bisa digunakan seba­gai terapi target; menghan­cur­kan sel kanker. Namun mem­vi­sua­lisasikan bakteri tersebut kemudian ber­ko­mu­nikasi – mengumpulkan informasi ten­tang apa yang terjadi di dalam tubuh, kemu­dian memberi instruksi pada bakteri – belum pernah terjadi sebelumnya.

Teknik imaging yang ber­gantung pada cahaya, seperti mengambil foto sel yang su­dah ditandai dengan protein flu­orescent hijau, hanya beker­ja pada jaringan sampel. Ini disebabkan cahaya tidak bisa menembus lapisan dalam organ, seperti di pencernaan, di mana bakteri hidup. Shapiro, dkk.,  berniat memecahkan ma­sa­lah ini menggunakan teknik ge­lombang suara, karena ke­mam­puannya merambat me­nem­bus tubuh.

Ia memahami konsep ini sekitar 6 tahun lalu, saat mem­pe­lajari struktur protein yang be­risi gas pada bakteri yang hi­dup di air, untuk membantu me­ngatur gaya apung bakteri ter­sebut. Shapiro menyimpul­kan bahwa struktur tersebut (disebut gas vesicles), bisa me­mantulkan gelombang sua­ra dan membuat mereka dapat dibedakan dari sel-sel lainnya.

Sasaran penelitian berikut­nya adalah untuk menransfer gen bakteri dengan gas visic­les ke bakteri lain, yakni ke Escherichia coli, yang lazim di­pa­kai sebagai terapeutik mi­krobial. “Kami ingin mengajari bakteri E. coli untuk mempro­duksi gas vesicles,” ungkap Shapiro. 

Satu tantangan dihadapi tim peneliti, saat mentransfer kode genetik gas visicles ke E.coli. Awalnya mereka men­coba memindahkan gen gas visicles yang terisolasi dari bak­teri asal (Anabaena flos-aquae), namun tidak berhasil. Bakteri E. coli gagal memben­tuk gas visicles. Percobaan di­u­lang memakai gen gas visi­cles dari bakteri keluarga dekat E.coli, yakni Bacillus mega­terium. Gagal juga. Akhirnya peneliti menggabungkan gen dari kedua spesies tersebut, dan berhasil.

Kode genetik gas visicles untuk protein, berperan seper­ti tembok atau derekdalam sebuah struktur bangunan. Seba­gian protein akan mem­ben­tuk tembok, sementara yang lainnya membantu me­nyu­sun struktur tembok terse­but. “Akhirnya, kami mema­ha­mi bahwa kami membutuhkan ‘tembok’ dari Anabaena flos-aquae dan ‘derek’ dari Bacillus megaterium, agar E.coli bisa membuat gas vesicles-nya sendiri,” papar pemimpin pe­nelitian Raymond Bourdeau.

Eksperimen berikutnya me­nun­jukkan, E.coli yang sudah dimodifikasi tersebut mampu men­citrakan (menunjukkan loka­sinya) di usus tikus, meng­gunakan gelombang suara. Tim peneliti mengatakan, tek­no­logi tersebut dapat segera diakses walau masih sebatas penelitian pada hewan.  Pada manusia masih membutuhkan pengembangan dan penyem­pur­naan.(jie)