Diabetes mellitus dapat menyebabkan komplikasi pada banyak organ. Katarak menjadi salah satu bentuk komplikasi diabetes pada mata yang paling sering terajadi.
Mata terbagi dua bagian: anterior dan posterior. Pada bagian anterior,glukosa berlebih berimplikasi pada mata yaitu katarak. Diabetes retinopati atau macular edema (ME) terjadi pada bagian posterior.
Katarak didefinisikan sebagai kekeruhan (keputihan) pada lensa mata. Sinar yang datang dalam single beam (satu cahaya) mengalami pemendaran (penyebaran) karena lensa yang keruh. Akibatnya retina sebagai reseptor tidak bisa menerima cahaya secara keseluruhan. Terjadilah penglihatan kabur.
Gejala utama katarak mencakup 5 hal: penurunan tajam penglihatan, glare (silau), penurunan sensitifitas kontras (warna hitam dan putih yang tidak tegas), miopisasi / second sight, dan monokular diplopia (obyek tampak berbayang jika salah satu mata ditutup).
Dr. Cicilia Hendarmin, SpM., dari RS Gading Pluit, Jakarta, memaparkan pada penderita diabetes mellitus (DM), katarak terjadi lebih cepat disbanding yang non diabetik. Dalam studi Framingham dinyatakan, penderita diabetes 3-4 kali berisiko mengalami katarak pada usia <65 tahun. Sementara pada penderita diabetes tipe 1 usia muda, secara lebih spesifik katarak mengalami katarak jenis snowflake.
Secara pasti patogenesis katarak karena diabetes belum diketahui. Selama ini para ahli melihat ada hubungan antara tingginya glukosa dalam aqueous humos dengan katarak. Lensa mata mendapatkan nutrisinya dari aqueous humor, cairan yang mengisi bagian anterior mata. Aqueous humor menyediakan oksigen dan glukosa bagi lensa. Saat tubuh kehilangan kemampuan untuk mengontrol glukosa darah, kadar glukosa dalam aqueous humor dalam lensa ikut bertambah. Tingginya glukosa dalam lensa bisa memicu lensa bengkak dan berpengaruh pada kejernihan pandangan.
“Kelebihan gula yang menumpuk di lensa mata, bisa menyebabkan katarak,” kata dr. Cicilia dalam seminar Endocrine Update And Minimal Surgical Management Of Endocrine Tumors. Enzim aldose reductase (AR) di lensa mata, akan mengubah glukosa menjadi sorbitol melalui mekanisme polyol pathway. Akumulasi sorbitol dalam sel, menciptakan perubahan osmotik dan membuat lensa menjadi keruh / buram.
Di lensa, sorbitol diproduksi lebih cepat dibandingkan konfersi menjadi fruktosa oleh enzim sorbitol dehydrogenase. Di satu sisi, karakteristik sorbitol mencegahnya terbuang lewat difusi intraselular. Peningkatan akumulasi sorbitol menghasilkan efek hiperosmotik, yang menyebabkan peningkatan cairan. Riset J.H. Kinoshita pada hewan menunjukkan, akumulasi polyos intraselular menyebabkan rusak dan mencairnya serat lensa. Puncaknya membuat lensa tak tembus cahaya (keruh).
Japanese Journal of Ophthalmology (2001) menyatakan, stres osmotik di lensa mata yang disebabkan akumulasi sorbitol, menginduksi reaksi apoptosis sel epitel lensa; terjadilah katarak. Secara statistik, mereka dengan diabetes berisiko 60% lebih besar mengalami katarak. Britis Medical Journal (2000) dalam tulisan berjudul Association of Glycaemia With Macrovascular and Microvascular Complication of Type 2 Diabetes menyebutkan, pasien DM tipe 2 yang mampu menurunkan nilai HbA1c sebanyak 1%, mampu mengurangi risiko katarak sampai 19%.
Terapi katarak
Indikasi dilakukannya operasi katarak pada penderita diabetes, selain untuk mempertajam penglihatan juga untuk ‘meneropong’ kondisi retina dan jaringan penunjangnya; organ di belakang lensa. Fakoemulsifikasi adalah terapi terkini yang paling banyak dilakukan pada katarak akibat diabetes.
“Caranya menggunakan alat yang disebut keratome, membuat lubang di kapsul anterior dengan lebar 2,3 mm. Memakai alat phaco tip, kita hancurkan lensanya. Selanjutnya intraocular lens (lensa buatan) dimasukkan dengan posisi terlipat. Operasi ini tanpa jahitan, hanya butuh waktu 15 menit, tanpa astigmatisma,” terang dr. Cicilia.
Sayangnya pada penderita diabetes berisiko terjadi komplikasi, yang tidak ditemukan pada pasien non diabetes. Yang tersering adalah kontraksi kapsular dan opasifikasi. Juga pemburukan macular edema (ME) dan diabetes retinopati (DR) pasca-operasi fakoemulsifikasi.
Pada pasien diabetes, dengan DR atau tidak, barrier antara darah dan aqueous lemah, menyebabkan risiko inflamasi pasca-operasi dan berkembang menjadi ME tinggi. Liu et al., menunjukkan bahwa fakoemulsifikasi mempengaruhi barrier antara darah – aqueous lebih parah pada pasien diabetes retinopati proliferatif, dibanding pasien diabetes retinopati nonproliferatif atau non diabetik.
“Meski kataraknya sudah diangkat, penyakit di belakangnya, diabetes retinopati dan macular edema tetap berjalan,” tutur dr. Cicilia. (jie)