Ethicaldigest

Tiotropium Bromide Perbaiki Kualitas Hidup Pasien PPOK dan Asma

Tiotropium secara signifikan mengurangi risiko eksaserbasi pertama dibanding kelompok yang menggunakan LABA. FDA juga memberi persetujuan pada long-acting muscarinic antagonist tiotropium bromide untuk terapi jangka panjang pasien asma usia >12 tahun.

Data Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, prevalensi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) di Indonesia pada angka 3,7‰ atau sekitar 925.000 penduduk. Angka ini lebih kecil  dibanding dengan data penelitian lokal di Bogor, Jawa Barat. Seperti kata dr. Dianiati Kusumo Sutoyo, SpP(K), dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK Universitas Indonesia, prevalensi PPOK mencapai angka 7,8%. Hal itu terlihat dalam penelitian kohort di Bogor, yang diikuti partisipan dengan usia 40 tahun keatas. Penelitian ini dilakukan melalui pemeriksaan spirometri, foto toraks dan kuesioner respirasi. “Jumlah yang lebih besar ini diduga ada kaitan dengan paparan asap rokok yang lebih lama,” katanya.

Salah satu terapi maintenance PPOK yang sudah dikenal dokter di Indonesia, adalah long acting muscarinic antagonist (LAMA); dalam hal ini tiotropium bromide. Obat ini diberikan dengan dosis 5 µg 1x sehari. Menurut dr. Dianiati dalam presentasinya di acara Pertemuan Ilmiah Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi (PIPKRA) ke-13 di Hotel Borobudur, Jakarta, “Tiotropium bekerja tidak hanya di large airway, tetapi juga di small airway. Tidak hanya mencegah terjadinya brocho dilatasi, obat ini juga mampu mencegah terjadinya eksaserbasi pasien PPOK. Prinsip utamanya adalah dengan memblokade reseptor muskarinik M1 dan M3.”

Dalam studi UPLIFT (the Understanding Potential Long-term Improvements in Function with Tiotropium), yang membandingkan peran tiotropium dan plasebo pada pasien PPOK yang dilakukan selama 4 tahun, kelompok yang diberi tiotropium menunjukkan perbaikan fungsi paru dibanding  kelompok yang hanya mendapat placebo. Perbaikan tersebut dilihat melalui nilai FEV1, FVC dan skor total SGRQ.

Dan dalam penelitian yang dilakukan Bedard ME dan kawa-kawan, yang dipublikasikan dalam European Respiratory Journal tahun 2012, penggunaan tiotropium mampu meningkatkan kemampuan beraktivitas pasien jika dibandingkan dengan kelompok yang hanya mendapat plasebo. “Perbedaan sudah terlihat sejak pemberian dosis pertama tiotropium, hingga minggu ketiga terapi,” kata dr. Dian. Rata-rata kejadian eksaserbasi pasien PPOK juga berkurang pada penggunaan tiotropium, dan mampu menunda onset eksaserbasi yang pertama. Dengan kata lain, obat ini bisa mencegah terjadinya eksaserbasi pasien PPOK, yang selanjutnya mampu meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK.

Dalam kesempatan yang sama Prof. dr. Hadiarto Mangunnegoro, SpP(K), dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK Universitas Indonesia, menjelaskan peran LAMA; dalam hal ini tiotropium dalam terapi pasien PPOK. “Studi pertama yang membandingkan secara head to head antara LAMA dan LABA (Long-acting beta-agonists) dalam penanganaan PPOK adalah POET-COPD,” jelasnya.

Dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa tiotropium secara signifikan lebih baik mengurangi risiko eksaserbasi pertama kali sebesar 28%, dibanding kelompok yang menggunakan LABA; dalam hal ini salmeterol. Studi yang dilakukan Vogelmeier dan kawa-kawan ini sudah dipublikasikan di New England Journal Medicine tahun 2011. Dalam studi yang sama diketahui, pemberhentian dosis ICS tidak meningkatkan risiko eksaserbasi pasien PPOK pada kelompok yang menggunakan tiotropium.

Belum lama ini Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) memberi persetujuan pada long-acting muscarinic antagonist tiotropium bromide (Spiriva Respimat), untuk terapi jangka panjang pasien asma usia diatas 12 tahun. Indikasi baru ini didasarkan pada efikasi dan keamanan Spiriva Respimat, yang dilakukan pada setidaknya 12 penelitian yang mengikutsertakan sekitar 5000 orang dengan asma ringgan hingga berat. Setidaknya, 3 penelitian dari 12 penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa obat ini secara signifikan mampu meningkatkan fungsi paru, dan menurunkan tingkat keparahan pasien asma dibandingkan dengan plasebo.