Ethicaldigest

Terapi Hepa B Kronis 2

Target pengobatan

Serokonversi HbeAg bukan menjadi endpoin pengobatan yang utama, dalam beberapa penelitian, karena serokonversi yang diinduksi oleh pengobatan itu kurang kuat. Bisa terjadi reaktifasi HbeAg negatif dalam 96 bulan pada 44% pasien. Sedangkan pada serokonversi spontan bisa terjadi reaktifasi pada 25% pasien. Sehingga, serokonvesri HbeAg tidak dianjurkan menjadi tujuan utama pengobatan.

Dikatakan oleh dr. Hariadi, tujuan pengobatan pada HbeAg positif adalah dipertahankannya supresi DNA virus, sampai kadar terrendah /tidak terdeteksi. Kadar ALT mencapai normal dan nekroinflamasi menurun. Baru, kemudian, serokonversi HbeAg. Sedangkan pada HbeAg negatif, tujuannya sama yaitu dipertahankannya supresi DNA virus hepatitis B sampai kadar terendah /tidak terdeteksi. Baru kemudian serokonversi HbeAg. Jadi, serokonversi HbeAg bukan tujuan utama.  

Interferon

Interferon tidak memiliki khasiat antivirus langsung, tetapi merangsang terbentuknya berbagai macam protein efektor yang mempunyai khasiat antivirus. Berdasarkan meta analisa, yang melibatkan 875 pasien hepatitis B kronis dengan HbeAg positif, serokonversi HbeAg terjadi pada 18%, penurunan DNS virus terjadi pada 37% dan normalisasi ALT terjadi pada 23%. Kekurangan interferon adalah efek samping dan pemberiannya harus melalui injeksi.

Lamivudin

Lamivudin merupakan antivirus melalui efek penghambatan transkripsi, selama siklus replikasi virus hepatitis B. Pemberian lamivudin 100mg/hari selama 1 tahun dapat menekan DNA virus, normalisasi ALT, serokonversi HbeAg dan mengurangi progresi fibrosis secara bermakna, dibanding plasebo. Namun, Lamivudin memicu resistensi.

Dilaporkan bahwa resistensi terhadap Lamivudin lebih dari 32% setelah terapi selama satu tahun, dan menjadi 57% setelah terapi selama 3 tahun. Risiko resistensi terhadap Lamivudin meningkat, dengan makin lamanya pemberian. Dalam suatu penelitian di Asia, resistensi genotip meningkat dari 14% pada tahun pertama pemberian Lamivudin, menjadi 38%, 49%, 66% dan 69%, masing-masing pada tahun ke 2, 3, 4 dan 5 terapi.

Adevofir

Adevofir merupakan analog asiklik dari deoxyadenosine monophosphate, yang sudah disetujui FDA untuk digunakan sebagai antivirus terhadap hepatitis B kronis. Cara kerjanya adalah dengan menghambat amplifikasi dari cccDNA virus. Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa adalah 10mg/hari oral, paling tidak selama satu tahun.

Marcellin dan kawan-kawan tahun 2003 melakukan penelitian pada 515 pasien hepatitis B kronis dengan HbeAg positif, yang diterapi dengan adevofir 10 mg dan 30 mg selama 48 minggu, dibanding plasebo. Disimpulkan bahwa Adefovir memberikan hasil lebih baik secara signifikan, dalam  respon histologis, normalisasi ALT, serokonversi HbeAg dan penurunan kadar DNA virus. Keamanan Adefovir 10 mg sama dengan plasebo.

Hadziyanmis dan kawan-kawan  memberikan Adefovir pada penderita hepatitis B kronis dengan HbeAg. Pada pasien yang mendapatkan 10 mg Adefovir, terjadi penurunan DNA virus secara bermakna dibandingkan plasebo. Tapi, efikasinya menghilang pada evaluasi minggu ke 48. Pada kelompok yang mendapat Adefovir selama 144 minggu efikasinya dapat dipertahankan dengan resistensi sebesar 5,9%. Kelebihan Adefovir dibanding Lamivudin, disamping risiko resistensinya lebih kecil,  juga dapat menekan YMDD mutan yang resisten terhadap Lamivudin.

Peginterferon

Lau dan kawan-kawan melakukan penelitian terapi Peginterferon tunggal, dibandingkan kombinasi pada 841 penderita hepatitis B kronis. Kelompok pertama mendapat Peginterferon alfa 2a 180 mikrogram/minggu + plasebo tiap hari. Kelompok kedua mendapat Peginterferon alfa 2 a 180 mikrogram + Lamivudin 100 mg/hari. Kelompok ketiga memperoleh Lamivudin 100mg/hari, selama 48 minggu.

Hasilnya, pada akhir minggu 48, serokonversi HbeAg tertinggi pada Peginterferon tanpa kombinasi, yaitu 27%, dibanding kombinasi (24%) dan Lamivudin tunggal  (20%). Respon virologi tertinggi pada Peginterferon + Lamivudin (86%). Normalisasi ALT tertinggi pada Lamivudin (62%).

Respon HbsAg pada minggu ke 72: Pegninterferon tunggal 8 pasien, terapi kombinasi 8 pasien dan Lamivudin tidak ad aserokonversi. Resistensi (mutasi YMDD) pada minggu 48 didapatkan pada 69 (27%) pasien dengan Lamivudin, 9 pasien (4%) pada kelompok kombinasi. Efek samping relatif minimal pada ketiga kelompok. Disimpulkan bahwa berdasar hasil kombinasi (serokonversi HbeAg, Normalisasi ALT, penurunan DNA virus dan supresi HbsAg), Peginterferon memberikan hasil lebih baik dari Lamivudin.

Analog Nukleotida lainnya

Berdasarkan studi acak buta, telbivudin 400-800 mg selama 52 minggu dapat menurunkan DNA virus sampai 6 log, dan risiko timbulnya mutasi YMDD turun sebesar 4,9%. Emtricitabine yang merupakan derivat Lamivudin, mempunyai potensi dan peluang yang hampir sama dengan Lamivudin, dalam memicu terjadinya mutasi YMDD.

Terapi Hepa B Kronis