Ethicaldigest

Mengurangi Ketergantungan Bahan Baku Obat

Indonesia dihadapkan pada sejumlah masalah di bidang kesehatan, terkait dengan obat-obatan. Di antaranya kurang terjaminnya pasien terhadap ketersediaan obat-obatan yang ditanggung BPJS, tingginya impor bahan baku obat yang mencapai 90% dan beredarnya obat palsu.

Masalah ini bukan hanya tanggung jawab Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), tetapi  semua pihak yangterkait. PT Dexa Medica sebagai perusahaan farmasi di Indonesia, menurut Direktur Dexa Laboratories Biomolecular Science (DLBS) Dr. Raymon Tjandra Winata, “Kami ingin ikut berperan dalam mengatasi masalah ini.”

Perannya adalah dengan menyediakan bahan baku fitofarmaka, yang berasal dan diolah dari bahan alam asli Indonesia. Perusahaa*n ini selama sekitar 15 tahun telah mengembangkan produk fitofarmaka dan baru-baru ini mendapat penghargaan dari BPOM, karena telah mendukung pengembagan bahan baku ekstrak dan produk fitofarmaka. “Hal ini senada dengan program kerja Kementrian Kesehatan Republik Indonesia saat ini, dalam mengurangi ketergantungan impor bahan baku untuk produk obat,” katanya.

Menurut Dr. Raymond, bahan herbal di Indonesia cukup banyak dan bisa diperoleh dari tumbuhan maupun hewan. “Ada sekitar 30 ribu jumlahnya,” ia memaparkan. Pada beberapa herbal kemudian dilakukan riset oleh DLBS. Dari riset-riset ini kemudian dihasilkan bioactive fraction , yang merupakan sediaan fitofarmaka yang nantinya dapat dipasarkan di dalam negri dan luar negri. Diharapkan dengan ditemukannya bioactive fraction ini dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bahan baku obat dari luar.

Dari 30 ribu herbal yang ada di Indonesia, dapat ditapis beberapa jenis herbal yang baik digunakan sebagai bahan baku obat. “Caranya adalah dengan menggunakan gen-gen penyakit yang diteliti,” paparnya. Prosedur ini tidak berbeda dengan yang dilakukan untuk mendapatkan obat kimiawi, pada penyakit tertentu. “Sama caranya, hanya yang berbeda adalah bahannya. Kami disini menggunakan bahan alam atau herbal,” paparnya. Tahapan kemudian berlanjut pada penelitian di hewan coba dan juga pada manusia.

Beberapa produk fitofarmaka yang sudah melalui tahap ujicoba secara klinis adalah Inlacin, untuk terapi diabetes mellitus dan Polycistic Ovarian Syndrome (PCOS); Lavitens untuk terapi Hipertensi; Stimuno sebagai imunomodulator dan Residex untuk terapi diabetes mellitus.

Dexa Medica juga terus melakukan penelitian dan pengembangan bioactive fraction beberapa produk, di antaranya Disolf yang digunakan sebagai terapi paska stroke dan serangan jantung. Ada Dismeno yang digunakan untuk terapi dismenorea atau rasa sakit pada saat menstruasi. “Sudah banyak dokter spesialis obgyn di Indonesia yang meresepkan obat Dismeno,” paparnya. Obat ini juga dapat digunakan sebagai terapi endometriosis, yang banyak diderita wanita Indoensia. Selain didapatkan dari bahan alam Indonesia, obat ini sudah melalui studi baik pada hewan coba maupun pada manusia dan sudah dipublikasikan secara internasional.

Sampai saat ini PT Dexa Medica, sudah memiliki 4 fitofarmaka dari 8 yang sudah dikeluarkan oleh Badan POM. “Sebanyak 50% dari fitofarmaka adalah buatan dari kami,” ujar Dr. Raymond. Ia berharap, ke depan di Indonesia akan lebih banyak fitofarmaka seperti di negara Jerman dan Prancis. “Targetnya paling tidak ada 20 fitofarmaka dalam 2 sampai 3 tahun ke depan,” paparnya.

Yang disayangkan, dari 45 obat herbal terstandar dan 8 fitofarmaka yang ada di Indonesia, belum ada satupun yang masuk dalam Formularium Nasional Jaminan Kesehatan Nasional melalui BPJS Kesehatan. “Padahal obat ini telah melalui uji klinis untuk fitofarmaka sudah kita ekspor dan sudah digunakan  oleh para dokter di luar negeri,” jelasnya.