Komplikasi akibat campak bisa mematikan, dan rubella sangat berbahaya bila menyerang ibu hamil. Edukasi vaksinasi MR perlu terus dilakukan.
Tahun 2017, dilaksanakan kampanye vaksinasi MR (measles dan rubella) di seluruh provinsi di Jawa. Tahun 2018, pada periode yang sama (Agustus – September) dilaksanakan kampanye fase 2 di luar Jawa. Selama kampanye, dilakukan vaksinasi MR (campak dan rubella) di sekolah (PAUD hingga SMP) dan luar lingkungan sekolah, untuk menjangkau anak usia 9 bulan hingga <15 tahun.
“Setelah kampanye, dilakukan vaksinasi rutin. Di usia 9 bulan yang awalnya vaksinasi campak, diganti MR,” ujar Prof. Dr. dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K), dalam diskusi bertajuk “Anak, Investasi Masa Depan” yang diselenggarakan FKUI di Jakarta. Nantinya, vaksinasi MR akan dilakukan pada anak usia 9 bulan, 18 bulan, dan kelas 1 SD. Fase 1 telah dilakukan di semua provinsi di Jawa Oktober 2018 dan di luar Jawa pada Oktober 2019.
Banyak masyarakat menganggap, campak hanya penyakit ringan yang menimbulkan bintik-bintik merah, pilek, mata merah, diare, dan demam. Padahal, komplikasi campak bisa mematikan. Mulai dari dehidrasi akibat diare, hingga pneumonia dan ensefalitis. Ini terutama mengintai anak-anak dengan imunitas tubuh rendah dan gizi buruk, seperti terjadi di Asmat beberapa waktu lalu.
Sepanjang 2006-2014, kerap terjadi KLB (kejadian luar biasa) campak. “Tiap kali KLB campak, sekian persennya adalah rubella berdasarkan konfirmasi lab,” ujar Prof. Sri. Memang gejala rubella mirip campak, dengan ruam merah. Bedanya, pada rubella demam tidak tinggi, jarang disertai pilek dan mata merah. Campak lebih sering mengenai anak kecil, sedangkan rubella biasanya mengenai anak yang lebih besar.
“Infeksi rubella pada trimester pertama kehamilan, dapat menyebabkan cacat pada janin, yang disebut sindrom rubella kongenital atau congenital rubella syndrome (CRS),” tuturnya. Janin yang terkena CRS bisa lahir dengan lingkar kepala kecil, penyakit jantung bawaan, kelainan pada mata (misalnya katarak), tuli, dan keterlambatan mental. Insiden CRS diperkirakan 0,2/1.000 kelahiran hidup.
Secara umum, vaksinasi campak 1x di usia 9 bulan sudah >80%, bahkan mencapai 100% pada 2012. Namun, masih saja terjadi KLB campak. Begitu diberi vaksinasi tambahan, terlihat kasus campak menurun. “Artinya, imunisasi satu kali di usia 9 bulan tidak cukup; antibodi turun hingga anak rentan lagi,” ujar Prof. Sri. Karenanya sejak 2014 dilakukan vaksinasi kedua usia 18 bulan. Namun, cakupan vaksinasi campak 2 masih rendah, meski cenderung naik. Pada 2017 menjadi 62,8%, dari 56% (2016).
Vaksin campak kini diganti MR. Vaksinasi MR kedua dilakukan di usia 18 bulan bersama DPT-4. Vaksinasi MR di kelas 1 SD adalah antisipasi, seandainya anak terlewat vaksinasi sebelumnya. Dengan jadwal vaksinasi MR seperti ini, diharapkan antibodi terhadap campak dan rubella terus terpelihara seumur hidup.
Disayangkan, kampanye MR fase 2 mendapat penolakan di beberapa daerah menyangkut masalah halal/haram. Akhirnya, MUI mengeluarkan Fatwa No. 33/2018 bahwa vaksin MR produksi SSI (Serum Institute of India) hukumnya mubah; dibolehkan karena belum ada vaksin yang halal dan suci. Sedangkan Fatwa MUI No. 04/2016, mendorong umat Islam untuk menjaga kesehatan dan melakukan upaya preventif dengan imunisasi. Namun, tetap ada sebagian masyarakat yang menolak.
Agar kampanye MR fase 2 berjalan lancar, masyarakat perlu terus diedukasi. Tidak hanya soal pentingnya mencegah campak dan rubella dengan vaksinasi, tapi juga mengenai makna bahan babi yang terkandung dalam vaksin.
Vaksin MR menggunakan virus hidup. Dalam proses kultur virus untuk pembuatan vaksin, diperlukan sel hidup. Digunakan enzim tripsin babi sebagai biokatalisator, untuk mempersiapkan media tanam. Pernah dicoba menggunakan enzim dari sapi, tapi hasilnya kurang baik, dan ada kekhawatiran akan penyakit sapi gila. “Memang yang paling cocok itu tripsin babi,” ungkap Prof. Sri.
Dalam produk akhir vaksin, tidak lagi terdapat unsur babi karena sudah dicuci ribuan kali, dengan teknologi ultrafiltrasi. “Kalau masih mengandung tripsin, tidak bisa bereaksi dengan bahan vaksin yang lain,” ujar Prof. Sri. Hasil pemeriksaan UPTD Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Riau mengonfirmasi, produk akhir vaksin MR bebas atau negatif babi. Artinya, tidak ada material babi pada vaksin MR.
Produsen vaksin dalam negeri PT Biofarma, berjanji akan membuat vaksin MR halal, yang tidak menggunakan bahan binatang sama sekali (animal free). “Membuat itu tidak mudah, bisa 10-15 tahun. Yang penting, sekarang kita harus menurunkan penyakitnya, sambil membuat vaksin yang halal,” pungkas Prof. Sri. (nid)