Ethicaldigest

Faktor Risiko IBS pada Remaja di Indonesia

Remaja adalah anak berusia antara 10–18 tahun. Periode ini merupa­kan masa dekade kedua setelah masa kanak-kanak. Pada masa ini terjadi perubahan yang besar,  baik pada fisik, kognitif, sosial, atau emosional. Di masa ini, remaja memerlukan perhatian khusus dari keluarga, guru, petugas kese­hatan, dan masyarakat, terutama ketika mereka mempunyai masalah kesehatan.

Irritable bowel syndrome (IBS) adalah nyeri perut berulang yang fungsional, arti­nya bukan disebabkan kelainan organik. Ber­dasarkan Kriteria Roma III yang dibuat di Eropa, IBS adalah keluhan sakit perut sekitar pusar yang terjadi minimal sekali seminggu dalam 2 bulan terakhir, dan di­iku­ti 2 atau lebih gejala berikut: perbaikan sete­lah BAB, perubahan frekuensi BAB, peru­bah­an konsistensi tinja antara diare dan sembelit.

Menurut Dr. dr. Yudianita Kesuma, SpA(K), M. Kes, 1 dari 3 remaja Indonesia mengalami nyeri perut berulang dengan gejala IBS. Ini berarti kejadian IBS tinggi pada remaja. Karena itu, perlu ada perha­ti­an khusus. Dr. Yudianita  melakukan pe­ne­litian untuk desertasi program Doktor Ilmu Kedokteran, yang dipertahankan di hadapan penguji, di FK Universitas Indonesia.

Penelitiannya bertujuan untuk menge­ta­hui epidemiologi IBS, peran infestasi Blas­tocystis hominis dan integritas mu­kosa usus dalam etiopatogenesis IBS, dam­pak IBS  terhadap kualitas hidup, mengetahui keberhasilan pengobatan me­tronidazol pada remaja IBS dengan in­festasi Blastocystis hominis, serta mem­bu­at sistim model prediksi IBS pada remaja.

Penelitian berbasis komunitas ini meng­gunakan pendekatan potong lintang komparatif dua kelompok remaja, dari enam SMA di Palembang. Kriteria Roma III digunakan untuk menegakkan diagnosis IBS dan kuisioner untuk menentukan faktor risiko. Secara multistage random sampling, 70 subyek IBS dibandingkan dengan 70 subyek non IBS.

Uji regresi logistik mendapatkan, faktor risiko utama IBS adalah dibully, pe­rempuan usia 14-16 tahun, riwayat kons­ti­pasi, makan tiga jenis kacang, minuman kemasan, dan riwayat diare (kisaran OR 1,81-2,86). Blastocystis hominis ditemu­kan pada masing-masing group sebesar 51,4% vs. 28,6%, dengan perbedaan ber­mak­na (p=0,006). Tidak ada hubungan ber­makna untuk kerusakan mukosa (p=0,734), tetapi bermakna dengan infla­masi usus (p=0,039). Terbukti IBS secara bermakna menyebabkan rendahnya kua­litas hidup (p=0,001).

Selain itu, didapatkan dua model sko­ring prediksi. Model 1 dapat diaplikasikan pa­da komunitas, sebagai uji tapis dengan me­nilai faktor risiko. Sistim skoring ini ter­diri dari 7 item yang meliputi: (1) jenis ke­la­min perempuan, (2) sering makan ka­cang, (3) mempunyai riwayat sembelit, (4) umur 14–16 tahun, (5) sering minum mi­numan ke­mas­an, (6) sering dibully dan (7) riwayat diare.

Apabila skornya lebih dari 4, dilaku­kan pemeriksaan lebih lanjut di Puskes­mas menggunakan Model 2, yang terdiri dari: (1) ditemukan parasit Blastocystis hominis, (2) ada inflamasi (peradangan) usus, (3) riwayat diare, (4) sering minum kemasan, (5) sering makan kacang. Apabila didapatkan parasit Blastocystis hominis pada tinja, diberikan obat metro­ni­dazol 3 x 500 mg selama 10 hari.

Dari 36 remaja dengan Blastocystis hominis, 80% menunjukkan perbaikan setelah pemberian metronidazol, yang di­tan­dai tidak dijumpai lagi infestasi Blas­to­cystis hominis pada tinja. Kriteria sem­buh pada penelitian ini adalah tidak dite­mu­kan gejala IBS, yang ditemukan pada 32 remaja. Dari 28 remaja yang menye­le­saikan pengobatan, semua meng­ala­mi kesembuhan. Empat remaja yang tidak menyelesaikan pengobatan, juga menga­lami kesembuhan. Ini kemungkinan karena ada faktor lain yang menyebabkan IBS.

Dampak IBS terhadap kualitas hidup sangat besar. Ini terbukti dari skor kualitas hidup yang rendah pada remaja dengan IBS, dibanding remaja sehat. Sebanyak 71,4% remaja IBS mengalami penurunan kualitas hidup berupa gangguan aktivitas, masalah kesehatan, penghindaran makan­an, reaksi sosial, hubungan pertemanan, dan citra diri. Setelah mendapat terapi me­tro­nidazol, kualitas hidup remaja dengan IBS membaik sebesar 96,9%.

Pada penelitian ini ditemukan keterli­bat­an organik (gangguan pada organ pen­cernaan), yaitu lebih dari 50% IBS pa­da remaja ditemukan parasit Blastocystis hominis dan peradangan usus. Untuk itu diperlukan pengobatan berbeda, untuk IBS di Indonesia. Perbedaan ini mengha­silkan satu algoritma pengobatan khusus untuk IBS pada remaja di Indonesia. Dalam algoritma tersebut, dibuat sistem rujukan sesuai dengan sistem yang ber­la­ku di Indonesia saat ini.

Yang menjadi perhatian di sini adalah kebiasaan makan kacang-kacangan dan minuman kemasan. Kacang yang dimak­sud adalah 3 jenis kacang yaitu kacang ta­nah, kacang mete, dan atau kacang almond. Ketiganya terbukti dapat menye­bab­kan IBS, yang lebih disebabkan faktor alergi terhadap kacang-kacang tersebut. Minum­an kemasan juga dapat menye­bab­kan IBS. Karena kandungan sorbitol / pemanis buatannya dapat menyebabkan gangguan pada usus, berupa diare dan nyeri perut.

Pengalaman psikologis dibully juga dapat menyebabkan terjadinya IBS pada re­maja, terkait adanya hubungan antara usus dan otak (brain-gut axis). Begitu pula de­ngan riwayat diare. Yang harus menjadi per­hatian, setiap kasus diare harus diobati de­ngan baik dan tepat agar tidak berlanjut menjadi IBS.